Bangun Kekebalan Spesifik dengan Vaksin

Jum'at, 15 Mei 2015 - 08:41 WIB
Bangun Kekebalan Spesifik dengan Vaksin
Bangun Kekebalan Spesifik dengan Vaksin
A A A
SETIAP orang tua selalu menginginkan anak-anaknya lahir normal dan tumbuh sehat dan optimal. Namun setelah lahir, bayi berpotensi tertular berbagai penyakit.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan orang tua agar kesehatan anak tetap terjaga. Di antaranya, dengan memberikan ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang. Selain itu, tidak lupa untuk menjaga kebersihan tangan, badan, pakaian, mainan, rumah, lingkungan, serta penyediaan air bersih untuk makanan dan minuman.

Meskipun begitu, anak tidak sertamerta bisa lepas dari risiko tertularnya berbagai penyakit. Menurut dr Soedjatmiko SpA(K) Msi, tubuh manusia memang mampu memproduksi antibodi dengan sendirinya.

Namun, waktu yang diperlukan tubuh dalam membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit relatif lama dan tidak spesifik. “Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi lengkap dan teratur pada anak sejak dini,” ujar dr Soedjatmiko SpA(K), anggota Satgas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Soedjatmiko menuturkan, dalam waktu 4–6 minggu setelah imunisasi akan timbul kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan penyakit. Dengan begitu, anak tidak mudah tertular penyakit berbahaya. Bila tertular pun tidak akan menjadi sakit berat, tidak menularkan pada bayi dan anak lain, sehingga tidak terjadi wabah serta tidak banyak kematian.

Namun, di Indonesia pemberian vaksin atau imunisasi pada bayi masih mengalami beberapa kendala akibat kesalahan persepsi masyarakat. Wacana yang beredar menyebutkan, imunisasi berbahaya yang dapat menyebabkan autisme dan dapat merusak otak. Anggapan tersebut dibantah oleh dr Soedjatmiko.

“Kadar antibodi (zat kekebalan) bayi dan anak yang telah diimunisasi bila diukur terbukti jauh lebih tinggi daripada bayi anak yang tidak diimunisasi. Berarti, imunisasi justru merangsang dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar sistem tersebut kelak mampu melawan kuman yang masuk ke dalam tubuh,” kata Soedjatmiko yang dijumpai dalam workshop bertajuk “School of Vaccine for Journalist” yang diadakan PT Bio Farma di Jogjakarta, beberapa waktu lalu.

Semua vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Bio Farma Bandung, pabrik vaksin yang telah berpengalaman selama lebih 120 tahun. Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahliahli vaksin dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Vaksin yang diproduksi oleh Bio Farma telah dijamin oleh dari WHO. Di samping itu, justru produksi vaksin dalam negeri ini telah memenuhi pasar Indonesia dan telah memenuhi kebutuhan lebih dari 123 negara di dunia termasuk 36 negara Islam,” ungkap M Rahman Roestan, selaku Corporate Secretary Bio Farma.

Para ahli di 194 negara yang mengawasi program imunisasi di negara masingmasing menyatakan, imunisasi terbukti bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, atau kematian akibat penyakit menular tertentu. Oleh karena itu, sampai saat ini imunisasi masih tetap dilakukan secara rutin di seluruh dunia, bahkan di negara-negara kaya yang bersih dengan gizi baik serta di negara-negara miskin dengan lingkungan yang kurang bersih.

Semua negara berusaha keras untuk mengimunisasi lebih dari 90% bayi dan balita, untuk mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan kematian. Di Indonesia, pemerintah menyediakan vaksin gratis melalui posyandu. Vaksin tersebut antara lain hepatitis B, polio, BCG, DPT, dan campak.

Imunisasi yang belum disediakan gratis oleh pemerintah, antara lain rotavirus, pneumokokus, influenza, MMR, demam tifoid, cacar air, hepatitis A, kanker leher rahim (HPV) vaksin antirabies, meningokokus, dan demam kuning (yellow fever). Kalau penyakitnya sudah jarang dan tidak mewabah, imunisasi masih tetap perlu diberikan agar cakupan tetap tinggi.

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menjadi sangat berkurang karena keberhasilan cakupan imunisasi yang tinggi (lebih dari 80%– 90% bayi balita diimunisasi) sehingga penularan terhenti, tidak dapat berkembang biak, tidak terjadi wabah. Kalau kemudian banyak bayi balita tidak diimunisasi, maka penyakit tersebut akan mewabah lagi dengan cepat menimbulkan cacat atau kematian.

Contohnya saja penyakit polio, lebih 90 % bayi balita diimunisasi sejak 2002 hingga 2005 sehingga angka penderita polio hampir tidak ditemukan lagi di Indonesia.

Larissa huda
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.6994 seconds (0.1#10.140)