Fortifikasi Cegah Defisiensi Mikronutrien
A
A
A
PEMBERIAN MPASI di Indonesia belum sesuai dengan rekomendasi WHO. Kemungkinan hal ini yang menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka malnutrisi.
“Berdasarkan kajian literatur, secara umum praktik pemberian MPASI pada anak belum optimal. Hal ini menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka malanutrisi pada anak di Indonesia,” ungkap dr Trevino dari Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia, Jakarta. Kekurangan asupan mikronutrien dalam jangka panjang dapat berakibat pada defisiensi zat gizi mikro sampai terjadi gejala klinis seperti anemia.
Head of Public Health Nutrition Department Dr Jorg Spieldenner, seorang staf ahli dari Nestlé Research Center di Lausanne, melakukan beberapa penelitian mengenai defisiensi mikronutrien. Dalam studi Nestlé Research Center yang diterbitkan tahun lalu, model ekonomi kesehatan digunakan untuk menghitung total biaya akibat kekurangan zat besi, vitamin A, dan zink pada kelompok anak-anak usia enam bulan sampai lima tahun di Filipina.
Hasil penelitian menunjukkan biaya medis yang dikeluarkan karena kekurangan zat besi, zink, dan vitamin A di Filipina mencapai USD30 juta atau sekitar Rp390 miliar per satu tahun untuk satu generasi. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian produktivitas kerja karena berkurangnya pendapatan seumur hidup. Di Indonesia angka kerugian mencapai miliaran dolar untuk kasus anemia saja.
Salah satu solusi untuk mencegah defisiensi mikronutrien adalah dengan fortifikasi pangan. Gera dkk (2012) mengkaji 60 penelitian percobaan fortifikasi yang dilakukan di Asia, Afrika, Eropa, Australia, dan Amerika pada negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Penelitian sebagian besar dilakukan pada anak-anak.
Hasilnya menunjukkan, konsumsi makanan dengan fortifikasi zat besi meningkatkan konsentrasi hemoglobin dan menurunkan risiko terjadinya anemia serta defisiensi besi. Fortifikasi dipandang cara yang efektif untuk mencegah terjadinya defisiensi zat besi dan anemia.
Sri noviarni
“Berdasarkan kajian literatur, secara umum praktik pemberian MPASI pada anak belum optimal. Hal ini menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka malanutrisi pada anak di Indonesia,” ungkap dr Trevino dari Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia, Jakarta. Kekurangan asupan mikronutrien dalam jangka panjang dapat berakibat pada defisiensi zat gizi mikro sampai terjadi gejala klinis seperti anemia.
Head of Public Health Nutrition Department Dr Jorg Spieldenner, seorang staf ahli dari Nestlé Research Center di Lausanne, melakukan beberapa penelitian mengenai defisiensi mikronutrien. Dalam studi Nestlé Research Center yang diterbitkan tahun lalu, model ekonomi kesehatan digunakan untuk menghitung total biaya akibat kekurangan zat besi, vitamin A, dan zink pada kelompok anak-anak usia enam bulan sampai lima tahun di Filipina.
Hasil penelitian menunjukkan biaya medis yang dikeluarkan karena kekurangan zat besi, zink, dan vitamin A di Filipina mencapai USD30 juta atau sekitar Rp390 miliar per satu tahun untuk satu generasi. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian produktivitas kerja karena berkurangnya pendapatan seumur hidup. Di Indonesia angka kerugian mencapai miliaran dolar untuk kasus anemia saja.
Salah satu solusi untuk mencegah defisiensi mikronutrien adalah dengan fortifikasi pangan. Gera dkk (2012) mengkaji 60 penelitian percobaan fortifikasi yang dilakukan di Asia, Afrika, Eropa, Australia, dan Amerika pada negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Penelitian sebagian besar dilakukan pada anak-anak.
Hasilnya menunjukkan, konsumsi makanan dengan fortifikasi zat besi meningkatkan konsentrasi hemoglobin dan menurunkan risiko terjadinya anemia serta defisiensi besi. Fortifikasi dipandang cara yang efektif untuk mencegah terjadinya defisiensi zat besi dan anemia.
Sri noviarni
(ftr)