MPASI Tidak Optimal Picu Anemia
A
A
A
PEMBERIAN MPASI yang belum optimal membuat kekurangan asupan mikronutrien yang menjurus pada gejala klinis, seperti anemia. Kondisi ini menyebabkan penurunan kognitif dan anak mudah terkena infeksi.
Lepas usia enam bulan, bayi kemudian mendapatkan makanan pendamping ASI (MPASI) untuk mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang. Namun, jangan hanya berpatokan yang penting si kecil kenyang ketika memberi makan. Akibatnya, sumber-sumber nutrisi di makanan yang diberikan menjadi kurang bervariasi sehingga anak kekurangan nutrisi.
Untuk mencukupi kebutuhan zat gizi mikronutrien, seperti vitamin dan zat besi, dr Trevino A Pakasi MS PhD dari Kedokteran Komunitas FKUI mengingatkan, agar MPASI dibuat dengan bahan-bahan bervariasi. Mengingat defisiensi zat besi kerap menimbulkan anemia pada anak. Prinsip pemberian MPASI adalah bernutrisi, bersih, aman, dan diberikan dalam jumlah yang tepat.
“Sayuran hijau harus selalu ada, sementara untuk pemenuhan zat besi, bisa didapat dari sumber makanan hewani,” beber Trevino dalam acara Changing a Child’s Life: The Importance of Fortification beberapa waktu lalu. Dia melanjutkan, sayuran lebih banyak mengandung vitamin dibandingkan zat besi. Maka untuk memenuhi kebutuhan zat besi anak dan mencegah anemia, lebih cocok diberikan makanan yang bersumber dari hewan seperti daging merah atau hati.
Memang benar anggapan MPASI buatan sendiri lebih baik. Namun, pemberian MPASI yang difortifikasi seperti sereal, bubur, atau biskuit bayi bisa menjadi salah satu solusi untuk mencegah terjadinya defisiensi mikronutrien. “Tapi harus dipastikan makanan tersebut sudah mendapat izin edar dari Badan POM dan memiliki kandungan nutrisi yang memang dibutuhkan anak,” katanya mengingatkan.
Masalahnya, sebagian orang tua sering tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi karena kurang optimal dalam memberikan MPASI. Akibatnya, anakanak mengalami kekurangan mikronutrien seperti vitamin-vitamin tertentu atau zat besi. Hal ini dibenarkan oleh staf ahli dari Nestle Research Center Jorg Speildenner.
Dikatakannya, kekurangan asupan mikronutrien dalam jangka panjang dapat berakibat pada defisiensi zat gizi mikro sampai terjadi gejala klinis seperti anemia. “Sejumlah penelitian sudah menunjukkan, konsumsi makanan dengan fortifikasi zat besi dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin dan menurunkan risiko anemia,” ungkap Jorg.
Fortifikasi merupakan upaya meningkatkan mutu gizi pangan dengan menambahkan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu pada makanan tersebut. Fortifikasi memang mendesak kehadirannya. Jika melihat data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terjadi peningkatan balita penderita anemia di Indonesia dibanding tahun sebelumnya.
Prevalensi anemia pada balita usia 12-59 bulan di Indonesia sebesar 28,1%, yang artinya 1 dari 4 balita di Indonesia menderita anemia. Data yang sama juga menunjukkan, 1 dari 3 balita di Indonesia menderita stunting (pendek). Anemia selama ini identik dengan kondisi kekurangan zat besi. Sehingga saat anak terlihat pucat atau lemas, lantas dicurigai mengalami anemia dan diberi asupan zat besi.
Padahal, anemia pada anak bukan melulu karena kekurangan zat besi. “Apakah kalau anemia sudah pasti cuma karena kekurangan zat besi? Belum tentu, walaupun memang yang paling sering karena itu,” ujar Trevino.
Penyebab anemia pada anak, sambung dia, ada beberapa. Selain akibat kekurangan zat besi, anemia bisa juga karena infeksi kecacingan atau bakteri. “Sebagian kecil sekali juga karena faktor genetik seperti talasemia. Yang pasti harus dicek dulu penyebabnya. Diintervensi secara spesifik,” lanjutnya.
Karena itu, jangan terburu-buru memberikan vitamin atau suplemen penambah zat besi. Karena upaya ini tidak akan banyak berguna bila penyebab sesungguhnya tidak diatasi terlebih dahulu. Pada anak-anak, anemia atau kurang darah bisa memengaruhi prestasi belajar.
Kurangnya aliran darah menyebabkan suplai oksigen ke otak juga berkurang sehingga anak lebih susah konsentrasi saat belajar. Jika tidak segera ditangani dengan tepat, anemia pada anak akan berdampak negatif. Di antaranya penurunan kognitif dan anak mudah terkena infeksi.
Dalam melakukan aktivitas fisik, kebugaran anak juga terpengaruh sehingga sering menyebabkan anak mudah pingsan saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik lainnya.
Sri noviarni
Lepas usia enam bulan, bayi kemudian mendapatkan makanan pendamping ASI (MPASI) untuk mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang. Namun, jangan hanya berpatokan yang penting si kecil kenyang ketika memberi makan. Akibatnya, sumber-sumber nutrisi di makanan yang diberikan menjadi kurang bervariasi sehingga anak kekurangan nutrisi.
Untuk mencukupi kebutuhan zat gizi mikronutrien, seperti vitamin dan zat besi, dr Trevino A Pakasi MS PhD dari Kedokteran Komunitas FKUI mengingatkan, agar MPASI dibuat dengan bahan-bahan bervariasi. Mengingat defisiensi zat besi kerap menimbulkan anemia pada anak. Prinsip pemberian MPASI adalah bernutrisi, bersih, aman, dan diberikan dalam jumlah yang tepat.
“Sayuran hijau harus selalu ada, sementara untuk pemenuhan zat besi, bisa didapat dari sumber makanan hewani,” beber Trevino dalam acara Changing a Child’s Life: The Importance of Fortification beberapa waktu lalu. Dia melanjutkan, sayuran lebih banyak mengandung vitamin dibandingkan zat besi. Maka untuk memenuhi kebutuhan zat besi anak dan mencegah anemia, lebih cocok diberikan makanan yang bersumber dari hewan seperti daging merah atau hati.
Memang benar anggapan MPASI buatan sendiri lebih baik. Namun, pemberian MPASI yang difortifikasi seperti sereal, bubur, atau biskuit bayi bisa menjadi salah satu solusi untuk mencegah terjadinya defisiensi mikronutrien. “Tapi harus dipastikan makanan tersebut sudah mendapat izin edar dari Badan POM dan memiliki kandungan nutrisi yang memang dibutuhkan anak,” katanya mengingatkan.
Masalahnya, sebagian orang tua sering tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi karena kurang optimal dalam memberikan MPASI. Akibatnya, anakanak mengalami kekurangan mikronutrien seperti vitamin-vitamin tertentu atau zat besi. Hal ini dibenarkan oleh staf ahli dari Nestle Research Center Jorg Speildenner.
Dikatakannya, kekurangan asupan mikronutrien dalam jangka panjang dapat berakibat pada defisiensi zat gizi mikro sampai terjadi gejala klinis seperti anemia. “Sejumlah penelitian sudah menunjukkan, konsumsi makanan dengan fortifikasi zat besi dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin dan menurunkan risiko anemia,” ungkap Jorg.
Fortifikasi merupakan upaya meningkatkan mutu gizi pangan dengan menambahkan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu pada makanan tersebut. Fortifikasi memang mendesak kehadirannya. Jika melihat data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terjadi peningkatan balita penderita anemia di Indonesia dibanding tahun sebelumnya.
Prevalensi anemia pada balita usia 12-59 bulan di Indonesia sebesar 28,1%, yang artinya 1 dari 4 balita di Indonesia menderita anemia. Data yang sama juga menunjukkan, 1 dari 3 balita di Indonesia menderita stunting (pendek). Anemia selama ini identik dengan kondisi kekurangan zat besi. Sehingga saat anak terlihat pucat atau lemas, lantas dicurigai mengalami anemia dan diberi asupan zat besi.
Padahal, anemia pada anak bukan melulu karena kekurangan zat besi. “Apakah kalau anemia sudah pasti cuma karena kekurangan zat besi? Belum tentu, walaupun memang yang paling sering karena itu,” ujar Trevino.
Penyebab anemia pada anak, sambung dia, ada beberapa. Selain akibat kekurangan zat besi, anemia bisa juga karena infeksi kecacingan atau bakteri. “Sebagian kecil sekali juga karena faktor genetik seperti talasemia. Yang pasti harus dicek dulu penyebabnya. Diintervensi secara spesifik,” lanjutnya.
Karena itu, jangan terburu-buru memberikan vitamin atau suplemen penambah zat besi. Karena upaya ini tidak akan banyak berguna bila penyebab sesungguhnya tidak diatasi terlebih dahulu. Pada anak-anak, anemia atau kurang darah bisa memengaruhi prestasi belajar.
Kurangnya aliran darah menyebabkan suplai oksigen ke otak juga berkurang sehingga anak lebih susah konsentrasi saat belajar. Jika tidak segera ditangani dengan tepat, anemia pada anak akan berdampak negatif. Di antaranya penurunan kognitif dan anak mudah terkena infeksi.
Dalam melakukan aktivitas fisik, kebugaran anak juga terpengaruh sehingga sering menyebabkan anak mudah pingsan saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik lainnya.
Sri noviarni
(ftr)