Waspadai Peredaran Obat Palsu
A
A
A
PATUT disayangkan bahwa penjual obat palsu masih sangat marak dan mudah dijangkau. Masyarakat perlu mewaspadai dalam pemakaian obat-obatan, baik jenis maupun dosisnya.
Alih-alih menyembuhkan, obat palsu bila dikonsumsi justru bisa membahayakan kesehatan. Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturing Group (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan, ada dua hal yang membuat seseorang yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya.
Pertama, bisa jadi kesalahan resep antara yang diajukan dokter dan yang diberikan apoteker akibat kekeliruan. Kedua, bisa jadi obat yang dikonsumsi adalah obat palsu. Parulian menjelaskan, obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar.
”Hal ini dapat terjadi pada obat bermerek dan generik,” ungkap Parulian Simanjuntak dalam Seminar Media Anti-Counterfeit Day 2015 yang diadakan berkat kerja sama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, International Manufacturer Pharmaceutical Group (IPMG), dan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mencatat bahwa pertumbuhan peredaran obat ilegal dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Terdapat peningkatan jumlah temuan obat palsu selama 3 tahun terakhir (sejak 2012 hingga 2014). Pada 2012 ditemukan 6 item , 2013 ditemukan 13 item, dan pada 2014 ditemukan 14 item .
Data pada 2014, diketahui bahwa jenis obat dari kelas terapi paling banyak dipalsukan, secara berturut-turut berasal dari kelas terapi anti-konvulsi, antitusif (opioid), dan anti-diabetes. Data sebaran wilayah lokasi tempat ditemukannya obat palsu paling banyak berada di Pulau Jawa. Persentase paling sering ditemukan berturut-turut, yakni di Provinsi DKI Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Dampak yang dirasakan konsumen terhadap penggunaan obat palsu dapat mengakibatkan kesehatan bertambah buruk dan dapat berakibat kematian, biaya pengobatan meningkat, pasien tidak membaik dan komplikasi. ”Sebagai contoh, konsumsi antibiotik palsu justru dapat menyebabkan mikroba menjadi kebal,” ujar Dr Arustiyono Apt MPH, Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT (Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
Mayoritas konsumen terdorong untuk membeli obat-obat ilegal atau palsu akibat faktor ketidaktahuan. ”Mereka sadar bahwa kualitas obat-obatan harus menjadi pertimbangan utama dalam membeli produk farmasi karena obat/produk farmasi palsu sangat berbahaya bagi diri sendiri dan keluarganya. Namun, sangat sulit untuk membedakan mana obat yang asli dan palsu,” kata Justisiari P Kusumah, perwakilan dari Masyarakat Anti Pemalsuan (MIAP).
Selain itu, faktor yang mendorong masyarakat membeli obat palsu, di antaranya harga yang jauh lebih murah. Kadang masyarakat berpikiran bahwa kualitas dan kegunaan hampir sama dengan asli. Harga yang mahal serta daya beli masyarakat terhadap obat asli juga membuat masyarakat lebih memilih obat yang belum terjamin keasliannya. ”Selain itu, kerangka hukum yang menjerat produsen dan pengedar obat palsu masih terbilang lemah,” tambah Tatok Sudjiarto, Penyidik Subdit Indag Ditipideksus Bareskrim Polri.
Secara khusus Benoit Martineau, General Manager Sanofi Group Indonesia mengungkapkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh seorang produsen obat palsu cukup menggiurkan. Obat palsu merupakan bisnis yang menjanjikan (profitable business ).
Perbedaan harga bisa mencapai 50%. Bahkan ada menggunakan teknologi yang sedemikian rupa sehingga menyerupai benar dan mereka bisa menjual dengan harga yang nyaris sama. Keuntungan yang lebih besar ini didapat karena tak memperhitungkan ongkos riset, keamanan, dan mengganti active ingredients dengan yang lebih murah dan tidak bermanfaat.
”Ditengarai keuntungannya lebih besar dibanding bisnis narkotik,” papar Benoit Martineau. ”Hal yang paling penting untuk menghindari penggunaan obat palsu adalah kita sudah patut menyadari dan mengakui bahwa obat palsu telah beredar di manapun, bahkan hingga saat ini. Dengan mengetahui, secara otomatis kita akan waspada dengan kecurigaan yang ada,” tambahnya.
Parulian Simanjuntak menegaskan, untuk memerangi pemalsuan secara berhasil, seluruh lapisan masyarakat harus dilibatkan. Undang-undang harus dibuat dan diperbaiki, dana untuk pelaksanaannya dan pengawasan harus disediakan. ”Pemalsuan ini melibatkan negaranegara lain, yang merupakan sumber obat-obatan ilegal, maka perlu ada kerja sama dengan mereka,” paparnya.
Larissa huda
Alih-alih menyembuhkan, obat palsu bila dikonsumsi justru bisa membahayakan kesehatan. Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturing Group (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan, ada dua hal yang membuat seseorang yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya.
Pertama, bisa jadi kesalahan resep antara yang diajukan dokter dan yang diberikan apoteker akibat kekeliruan. Kedua, bisa jadi obat yang dikonsumsi adalah obat palsu. Parulian menjelaskan, obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar.
”Hal ini dapat terjadi pada obat bermerek dan generik,” ungkap Parulian Simanjuntak dalam Seminar Media Anti-Counterfeit Day 2015 yang diadakan berkat kerja sama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, International Manufacturer Pharmaceutical Group (IPMG), dan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mencatat bahwa pertumbuhan peredaran obat ilegal dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Terdapat peningkatan jumlah temuan obat palsu selama 3 tahun terakhir (sejak 2012 hingga 2014). Pada 2012 ditemukan 6 item , 2013 ditemukan 13 item, dan pada 2014 ditemukan 14 item .
Data pada 2014, diketahui bahwa jenis obat dari kelas terapi paling banyak dipalsukan, secara berturut-turut berasal dari kelas terapi anti-konvulsi, antitusif (opioid), dan anti-diabetes. Data sebaran wilayah lokasi tempat ditemukannya obat palsu paling banyak berada di Pulau Jawa. Persentase paling sering ditemukan berturut-turut, yakni di Provinsi DKI Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Dampak yang dirasakan konsumen terhadap penggunaan obat palsu dapat mengakibatkan kesehatan bertambah buruk dan dapat berakibat kematian, biaya pengobatan meningkat, pasien tidak membaik dan komplikasi. ”Sebagai contoh, konsumsi antibiotik palsu justru dapat menyebabkan mikroba menjadi kebal,” ujar Dr Arustiyono Apt MPH, Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT (Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
Mayoritas konsumen terdorong untuk membeli obat-obat ilegal atau palsu akibat faktor ketidaktahuan. ”Mereka sadar bahwa kualitas obat-obatan harus menjadi pertimbangan utama dalam membeli produk farmasi karena obat/produk farmasi palsu sangat berbahaya bagi diri sendiri dan keluarganya. Namun, sangat sulit untuk membedakan mana obat yang asli dan palsu,” kata Justisiari P Kusumah, perwakilan dari Masyarakat Anti Pemalsuan (MIAP).
Selain itu, faktor yang mendorong masyarakat membeli obat palsu, di antaranya harga yang jauh lebih murah. Kadang masyarakat berpikiran bahwa kualitas dan kegunaan hampir sama dengan asli. Harga yang mahal serta daya beli masyarakat terhadap obat asli juga membuat masyarakat lebih memilih obat yang belum terjamin keasliannya. ”Selain itu, kerangka hukum yang menjerat produsen dan pengedar obat palsu masih terbilang lemah,” tambah Tatok Sudjiarto, Penyidik Subdit Indag Ditipideksus Bareskrim Polri.
Secara khusus Benoit Martineau, General Manager Sanofi Group Indonesia mengungkapkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh seorang produsen obat palsu cukup menggiurkan. Obat palsu merupakan bisnis yang menjanjikan (profitable business ).
Perbedaan harga bisa mencapai 50%. Bahkan ada menggunakan teknologi yang sedemikian rupa sehingga menyerupai benar dan mereka bisa menjual dengan harga yang nyaris sama. Keuntungan yang lebih besar ini didapat karena tak memperhitungkan ongkos riset, keamanan, dan mengganti active ingredients dengan yang lebih murah dan tidak bermanfaat.
”Ditengarai keuntungannya lebih besar dibanding bisnis narkotik,” papar Benoit Martineau. ”Hal yang paling penting untuk menghindari penggunaan obat palsu adalah kita sudah patut menyadari dan mengakui bahwa obat palsu telah beredar di manapun, bahkan hingga saat ini. Dengan mengetahui, secara otomatis kita akan waspada dengan kecurigaan yang ada,” tambahnya.
Parulian Simanjuntak menegaskan, untuk memerangi pemalsuan secara berhasil, seluruh lapisan masyarakat harus dilibatkan. Undang-undang harus dibuat dan diperbaiki, dana untuk pelaksanaannya dan pengawasan harus disediakan. ”Pemalsuan ini melibatkan negaranegara lain, yang merupakan sumber obat-obatan ilegal, maka perlu ada kerja sama dengan mereka,” paparnya.
Larissa huda
(ftr)