The Power of e-Commerce
A
A
A
Beberapa hari lalu saat saya sedang syuting bersama sahabat yang sudah saya anggap sebagai kakak, Fifi Aleyda Yahya, saya mendapat kunjungan surprise dari teman lama saya, Ratna dan Safir Senduk.
Mbak Fifi sempat bercanda dengan Mas Safir Senduk, kalau perempuan ngobrol sama Mas Safir, bisa stres karena tidak boleh shopping ini dan itu. Beda aliran banget kan sama Miss Jinjing.
Jika Mas Safir Senduk, pakar keuangan yang hits selalu menyarankan berhemat, cerdas, dan sangat selektif berkonsumsi, yang satu lagi, a.k.a Miss Jinjing, selalu menyarankan, berkonsumsilah agar membantu perekonomian negara yang sedang mengalami perlambatan dan konsumsi dan konsumtifnya orang Indonesia adalah satu-satunya yang masih membuat ekonomi negara ini belum ambruk. Kami berdua bagaikan angel dan demon .
Sudah pasti Mas Safir, angel- nya, saya demon -nya. Kami berdua, saya dan Mbak Fifi, lalu bertanya saran profesional dari Mas Safir untuk menghadapi situasi yang sudah sampai tahap bikin semua ibu rumah tangga baik-baik. Maksudnya bukan istri koruptor yang uangnya tidak berseri, “pusing pala Barbie”, mengatur keuangan rumah tangga.
Gaji tidak naik, tapi harga kebutuhan pokok dan biaya “lifestyling” yang sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Kalau sampai makan pun dihemat, sampai mau makan dengan lauk ayam saja susah, berarti ada kesalahan di negeri ini. Entah siapa yang harus bertanggung jawab. Saya sempat sedih mendengar bapak penjual ayam mengeluh, penjualan ayamnya menurun secara signifikan.
Entah apa penyebabnya, karena pasokan stabil dan tidak berlebihan, berarti ada pengendalian konsumsi secara besarbesaran. Ini sepertinya anomali karena biasanya menjelang Lebaran, bulan puasa, justru waktunya orang melonggarkan ikat pinggang dan banyak berkonsumsi berbarengan dengan acaraacara silaturahmi dengan keluarga, sahabat, dan rekan kerja.
Atas saran Mas Safir, saya dan Mbak Fifi berkesimpulan hanya ada dua pilihan, berhemat all out , atau memutar otak mencari cara cerdas untuk menambah penghasilan. Jika pilihan pertama rasanya sulit sekali, terpaksa harus menjalankan cara kedua, penghasilan tambahan. Nasihat ini sama dengan nasihat ayah saya yang sudah puluhan tahun putus asa melihat putri tertuanya ini tidak pandai berhemat dan mengatur keuangan.
Mungkin ini juga yang membuat saya, anak satusatunya yang tidak dikirim orang tua saya sekolah di Amerika, karena saya secara finansial selalu mengkhawatirkan. Karena tidak pernah bisa malah melihat kelakuan saya, ayah saya cuma mengurut dada sambil bilang, seumur hidup kamu harus kerja cerdas untuk membiayai gaya hidup kamu. Dan puluhan tahun kemudian itu terjadi.
Damn ! Malam harinya karena sulit tidur, saya browsing internet sambil menunggu kantuk datang. Tiba-tiba ada artikel yang sungguh membuat saya terhentak. Ternyata penjualan sebuah website tempat saya sering melakukan kenakalan tengah malam, senam jari alias online shopping . www.etsy.com , saya cinta berat sama website ini.
Barangbarangnya remeh-temeh banget ya, dari mulai benang jahit, kancing-kancing, kotak perhiasan, barang-barang vintage , batu permata sampai baju pengantin. Sekilas terlihat tidak penting tapi karena fotonya selalu cantik bikin mupeng , hati perempuan mana yang tidak tergoda?
Bahasan hari ini bukanlah mengenai lucunya barang-barang di etsy , tapi berita laporan keuangannya angka penjualan 2014, yang bikin hati maju tak gentar, yakni USD1,931 miliar. Omzet tahunan tertinggi seorang seller yang membuka lapak di website cantik itu, USD960.000.
Dari sekitar 1 juta seller , tarik rata-rata angka penjualan per seller , +/- USD1.000 per bulan. Waduhhhh ... kalau sudah pembahasan soal duit, penjualan, mata saya selalu berbinar-binar, dan sepertinya sesaat saya bertambah cerdas. Di negara-negara maju yang memang situasi geografis, gaya hidupnya jauh berbeda dari Indonesia, memang sudah sangat internet minded , electronic transaction minded .
Mungkin ini bukan sesuatu hal yang baru, tapi angka yang fantastis rasanya cukup mengguncang setiap orang yang membacanya. Cepat atau lambat meski Indonesia selalu tertinggal untuk urusan high technology dan internet yang lebih sering bolot , Indonesia pasti akan sampai pada suatu masa ketika semuanya akan jadi nyaris “paperless”.
Saat masa itu datang, sama dengan yang terjadi di Amerika, Indonesia sudah dikepung raksasa-raksasa e-retailers . Ini sudah terlihat dari grup-grup besar yang berlomba membuka e-commerce di Indonesia dengan berbagai macam format. Pada masanya nanti, uang tidak lagi mengenal batas negara, konversi mata uang hanyalah angka, waktu dan jarak bukan lagi masalah besar.
Mind set pelaku bisnis pun harus sudah mulai berubah, jauh berbeda dari 5 apalagi 10 tahun lalu. Pelaku usaha tidak bisa lagi setengah-setengah dalam menjalankan usahanya jika ingin berhasil. Itu karena dunia sudah ada di depan mata mereka. Pangsa pasar bukan lagi seperti cara nenek kita berjualan batik door to door , mengharapkan teman, saudara atau tetangga membeli, tapi sudah go global .
Jeli memperhatikan apa yang sedang tren di dunia, membaca selera pasar, komitmen bukan dagang tipu-tipu hit and run , inovasi tanpa henti, rasanya dagang apa pun pasti akan ada hasilnya.
Kreativitas memang harus selalu dikembangkan karena di situ akan bisa tercipta kebutuhan-kebutuhan baru yang sebelumnya kita tidak pernah butuhkan. 100 tahun lalu, tidak ada kebutuhan tisu toilet, 10 tahun lalu kita belum membutuhkan smartphone dengan sederet aksesorinya yang superimut, malah sampai ketergantungan kan.
Benar kata Mas Safir Senduk dan ayah saya, semakin hari kita harus semakin cerdas dan kreatif dalam mencari tambahan pendapatan buat keluarga. Kreativitas itu jelas mahal dan membuat sesuatu yang sebenarnya biasa banget, bisa dibanderol, mahal!
Mengeluh itu bukan saya banget dan hanya memberi aura negatif dalam keseharian. Berharap dolar turun kembali ke Rp9.000, untuk sampai sekarang, mimpi keleus ! Jangan sedih ya, dolar belum turun juga.
MISS JINJING
Konsultan Fashion
Mbak Fifi sempat bercanda dengan Mas Safir Senduk, kalau perempuan ngobrol sama Mas Safir, bisa stres karena tidak boleh shopping ini dan itu. Beda aliran banget kan sama Miss Jinjing.
Jika Mas Safir Senduk, pakar keuangan yang hits selalu menyarankan berhemat, cerdas, dan sangat selektif berkonsumsi, yang satu lagi, a.k.a Miss Jinjing, selalu menyarankan, berkonsumsilah agar membantu perekonomian negara yang sedang mengalami perlambatan dan konsumsi dan konsumtifnya orang Indonesia adalah satu-satunya yang masih membuat ekonomi negara ini belum ambruk. Kami berdua bagaikan angel dan demon .
Sudah pasti Mas Safir, angel- nya, saya demon -nya. Kami berdua, saya dan Mbak Fifi, lalu bertanya saran profesional dari Mas Safir untuk menghadapi situasi yang sudah sampai tahap bikin semua ibu rumah tangga baik-baik. Maksudnya bukan istri koruptor yang uangnya tidak berseri, “pusing pala Barbie”, mengatur keuangan rumah tangga.
Gaji tidak naik, tapi harga kebutuhan pokok dan biaya “lifestyling” yang sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Kalau sampai makan pun dihemat, sampai mau makan dengan lauk ayam saja susah, berarti ada kesalahan di negeri ini. Entah siapa yang harus bertanggung jawab. Saya sempat sedih mendengar bapak penjual ayam mengeluh, penjualan ayamnya menurun secara signifikan.
Entah apa penyebabnya, karena pasokan stabil dan tidak berlebihan, berarti ada pengendalian konsumsi secara besarbesaran. Ini sepertinya anomali karena biasanya menjelang Lebaran, bulan puasa, justru waktunya orang melonggarkan ikat pinggang dan banyak berkonsumsi berbarengan dengan acaraacara silaturahmi dengan keluarga, sahabat, dan rekan kerja.
Atas saran Mas Safir, saya dan Mbak Fifi berkesimpulan hanya ada dua pilihan, berhemat all out , atau memutar otak mencari cara cerdas untuk menambah penghasilan. Jika pilihan pertama rasanya sulit sekali, terpaksa harus menjalankan cara kedua, penghasilan tambahan. Nasihat ini sama dengan nasihat ayah saya yang sudah puluhan tahun putus asa melihat putri tertuanya ini tidak pandai berhemat dan mengatur keuangan.
Mungkin ini juga yang membuat saya, anak satusatunya yang tidak dikirim orang tua saya sekolah di Amerika, karena saya secara finansial selalu mengkhawatirkan. Karena tidak pernah bisa malah melihat kelakuan saya, ayah saya cuma mengurut dada sambil bilang, seumur hidup kamu harus kerja cerdas untuk membiayai gaya hidup kamu. Dan puluhan tahun kemudian itu terjadi.
Damn ! Malam harinya karena sulit tidur, saya browsing internet sambil menunggu kantuk datang. Tiba-tiba ada artikel yang sungguh membuat saya terhentak. Ternyata penjualan sebuah website tempat saya sering melakukan kenakalan tengah malam, senam jari alias online shopping . www.etsy.com , saya cinta berat sama website ini.
Barangbarangnya remeh-temeh banget ya, dari mulai benang jahit, kancing-kancing, kotak perhiasan, barang-barang vintage , batu permata sampai baju pengantin. Sekilas terlihat tidak penting tapi karena fotonya selalu cantik bikin mupeng , hati perempuan mana yang tidak tergoda?
Bahasan hari ini bukanlah mengenai lucunya barang-barang di etsy , tapi berita laporan keuangannya angka penjualan 2014, yang bikin hati maju tak gentar, yakni USD1,931 miliar. Omzet tahunan tertinggi seorang seller yang membuka lapak di website cantik itu, USD960.000.
Dari sekitar 1 juta seller , tarik rata-rata angka penjualan per seller , +/- USD1.000 per bulan. Waduhhhh ... kalau sudah pembahasan soal duit, penjualan, mata saya selalu berbinar-binar, dan sepertinya sesaat saya bertambah cerdas. Di negara-negara maju yang memang situasi geografis, gaya hidupnya jauh berbeda dari Indonesia, memang sudah sangat internet minded , electronic transaction minded .
Mungkin ini bukan sesuatu hal yang baru, tapi angka yang fantastis rasanya cukup mengguncang setiap orang yang membacanya. Cepat atau lambat meski Indonesia selalu tertinggal untuk urusan high technology dan internet yang lebih sering bolot , Indonesia pasti akan sampai pada suatu masa ketika semuanya akan jadi nyaris “paperless”.
Saat masa itu datang, sama dengan yang terjadi di Amerika, Indonesia sudah dikepung raksasa-raksasa e-retailers . Ini sudah terlihat dari grup-grup besar yang berlomba membuka e-commerce di Indonesia dengan berbagai macam format. Pada masanya nanti, uang tidak lagi mengenal batas negara, konversi mata uang hanyalah angka, waktu dan jarak bukan lagi masalah besar.
Mind set pelaku bisnis pun harus sudah mulai berubah, jauh berbeda dari 5 apalagi 10 tahun lalu. Pelaku usaha tidak bisa lagi setengah-setengah dalam menjalankan usahanya jika ingin berhasil. Itu karena dunia sudah ada di depan mata mereka. Pangsa pasar bukan lagi seperti cara nenek kita berjualan batik door to door , mengharapkan teman, saudara atau tetangga membeli, tapi sudah go global .
Jeli memperhatikan apa yang sedang tren di dunia, membaca selera pasar, komitmen bukan dagang tipu-tipu hit and run , inovasi tanpa henti, rasanya dagang apa pun pasti akan ada hasilnya.
Kreativitas memang harus selalu dikembangkan karena di situ akan bisa tercipta kebutuhan-kebutuhan baru yang sebelumnya kita tidak pernah butuhkan. 100 tahun lalu, tidak ada kebutuhan tisu toilet, 10 tahun lalu kita belum membutuhkan smartphone dengan sederet aksesorinya yang superimut, malah sampai ketergantungan kan.
Benar kata Mas Safir Senduk dan ayah saya, semakin hari kita harus semakin cerdas dan kreatif dalam mencari tambahan pendapatan buat keluarga. Kreativitas itu jelas mahal dan membuat sesuatu yang sebenarnya biasa banget, bisa dibanderol, mahal!
Mengeluh itu bukan saya banget dan hanya memberi aura negatif dalam keseharian. Berharap dolar turun kembali ke Rp9.000, untuk sampai sekarang, mimpi keleus ! Jangan sedih ya, dolar belum turun juga.
MISS JINJING
Konsultan Fashion
(ftr)