Memahami Selera Konsumen, Itu Wajib
A
A
A
Ceritanya nih, kemarin saya ke taman bermain saya, Rawa Bening, pusat penjualan batu mulia. Memang sudah niat sih, mau mengunjungi Pak Junaedi, sesepuh batu akik dan precious stones di Indonesia yang sudah mendunia.
Seperti yang saya tulis di buku Miss Jinjing Jakarta , Rawa Bening itu ada magisnya tersendiri. Siapa pun yang masuk ke sana, pasti terjebak sihir keindahan batu mulia Indonesia. Korbannya bukan hanya saya, juga orang asing. Bahkan, jauh sebelum demam akik melanda negeri ini. Meski demam itu membuat pasar ini jadi terlihat kotor dan jauh dari keteraturan, apalagi urusan perparkiran, tapi sihirnya masih saja kuat. Sekali terjerat, tidak akan bisa lepas lagi.
Sepertinya itu terbukti kemarin. Sewaktu saya lagi asyik mengobrol dengan Pak Juned, panggilan kesayangan saya, tiba-tiba datang satu rombongan turis yang sepertinya datang dari China daratan. Mereka datang dengan satu bus besar ditemani seorang guide . Mula-mula kita hanya memandang dari jendela kamar kerja Pak Juned. Berhubung sepertinya situasi semakin seru, “Suhu” terpaksa turun langsung agar transaksi berjalan lancar.
Saya yang selalu terkagumkagum dengan kepakaran Pak Juned, langsung ngintil , saya selalu ingin belajar tentang batu akik dan permata jika berada di dekatnya, termasuk belajar berjualan. Berjualan batu permata jelas lebih susah daripada berjualan komoditas lainnya yang sudah ada standar harganya. “Personal Touch” sangat dibutuhkan saat bernegosiasi permata. Itu jelas tidak ada sekolahnya meski ilmunya ada sampai tingkat dewa.
Di depan mata saya, saya menyaksikan bagaimana turis-turis China daratan ini memborong batu-batuan Indonesia yang sangat cantik. Mereka terlihat begitu bersemangat dan harga pun bukan masalah buat mereka. Proses tawar-menawar harga pun tidak begitu alot. Terlalu santai malah. Saya jadi curiga berat karena saya tahu betul karakter orang China daratan.
Lima tahun yang lalu saya menulis buku Miss Jinjing China dan untuk itu saya melakukan riset intensif selama dua tahun dan untuk itu saya puluhan kali berkunjung ke Guangzhou, Beijing, Shanghai, Shenzen, dan lain-lain. Berdasarkan pengalaman, kalau sampai orang China daratan berbelanja, terus tidak menawar alot, rasanya mesti ada yang kita curigai.
Kemungkinan barang itu terlalu murah, terlalu bagus, memiliki nilai investasi atau pikiran paling parno adalah mereka bermaksud meng-copy cat barang tersebut, seperti yang sudah sering terjadi di butik-butik high end brand di Paris, Milan atau New York. Mereka amat sangat profit oriented , beda banget dengan orang Indonesia yang sangat kompulsif dalam berkonsumsi.
Saya terkesima sekali melihat kelihaian Pak Juned bernegosiasi dengan mereka dan melihat pilihan batu mereka. Mungkin ini disebabkan jauh-jauh hari, ayah saya selalu mengingatkan saya dari kecil, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita pasti akan bersaing langsung atau tidak langsung dengan orang China daratan. Berhadapan dengan mereka, kita harus 5 langkah lebih pintar, 5 x lebih tekun, 5 x lebih waspada.
Hari itu saya memutuskan untuk berpikiran positif untuk tidak curiga melihat situasi ini karena saya fokus mengamati selera mereka dalam membeli batu-batuan Indonesia. Ternyata mereka suka sekali dengan batubatuan cantik yang bermotif gambar, seperti batu bacan yang bergambar Menara Eiffel, batu Garut yang bergambar ikan berwarna merah, batu bergambar kelinci, batu bermotif yin-yang sepertinya berasal dari Sumatera.
Sepertinya mereka suka segala sesuatu yang bisa merepresentasikan filosofi hidup mereka, seperti ikan mas yang melambangkan kemakmuran. Saat itu saya baru tahu kalau Anda memakai leontin yang ada gambar ikannya, kepala ikannya harus menghadap ke atas, katanya menggambarkan pertambahan kekayaan ke atas, bukan ke bawah.
Mereka tidak peduli tuh dan malah hanya tertawa waktu kita jelaskan bahwa batu bacan lagi ngetop banget di Indonesia dan benar-benar lagi diburu gara-gara batu ini dipakai Presiden SBY dan batu ini dihadiahkan Presiden SBY kepada Presiden AS Barrack Obama. Mereka suka, mereka coba tawar, mereka beli deh. Saking bersemangatnya, mereka sepertinya sampai kehabisan uang rupiah dan sisanya dibayar dengan yuan.
Total nilai transaksi grup turis itu, tentulah sangat menggiurkan. Apalagi buat para pelaku bisnis batu-batuan yang lagi sangat bergairah di Indonesia. Ini bukan terjadi hanya kemarin, juga satu hari sebelumnya. Satu hari sebelumnya, turis dari Taiwan juga membeli bongkahan amethyst seharga lima puluh juta rupiah. Ini cukup mengagetkan penjualnya sendiri karena turis itu tidak tertarik sama sekali dengan barang-barang yang sudah jadi yang ada di display -nya.
Dia malah tertarik dengan seonggok batu yang tergeletak di tokonya yang memang saat itu berantakan. Buat pengusaha ritel, baik besar maupun kecil, mempelajari selera konsumen itu wajib hukumnya, terlebih bila Anda memasukkan orang asing sebagai target Anda. Berbeda dengan selera dan kebutuhan orang Indonesia yang masih bisa dibentuk.
Di Indonesia suatu tren bisa “digoreng “ dan suatu kebutuhan bisa diciptakan. Ada bangsa yang jelas sangat investment oriented seperti China daratan. Semahal apa pun barang tetap akan dibeli sepanjang ada potensi keuntungan di sana. Ada bangsa yang personal style -nya sangat kuat seperti bangsa Jepang. Mempelajari selera konsumen itu tidaklah mudah dan membutuhkan kejelian mata dan waktu yang tidak singkat.
Banyak pelaku ritel Indonesia yang masih malas mempelajarinya. Itu karena masih berpikir pangsa pasar dalam negeri sendiri saja sudah cukup besar. Namun, apalah artinya jika Anda hanya jadi macan yang jago di kandang sendiri ? Happy Shopping Miss Jinjing .
Miss Jinjing
Konsultan Fashion
Seperti yang saya tulis di buku Miss Jinjing Jakarta , Rawa Bening itu ada magisnya tersendiri. Siapa pun yang masuk ke sana, pasti terjebak sihir keindahan batu mulia Indonesia. Korbannya bukan hanya saya, juga orang asing. Bahkan, jauh sebelum demam akik melanda negeri ini. Meski demam itu membuat pasar ini jadi terlihat kotor dan jauh dari keteraturan, apalagi urusan perparkiran, tapi sihirnya masih saja kuat. Sekali terjerat, tidak akan bisa lepas lagi.
Sepertinya itu terbukti kemarin. Sewaktu saya lagi asyik mengobrol dengan Pak Juned, panggilan kesayangan saya, tiba-tiba datang satu rombongan turis yang sepertinya datang dari China daratan. Mereka datang dengan satu bus besar ditemani seorang guide . Mula-mula kita hanya memandang dari jendela kamar kerja Pak Juned. Berhubung sepertinya situasi semakin seru, “Suhu” terpaksa turun langsung agar transaksi berjalan lancar.
Saya yang selalu terkagumkagum dengan kepakaran Pak Juned, langsung ngintil , saya selalu ingin belajar tentang batu akik dan permata jika berada di dekatnya, termasuk belajar berjualan. Berjualan batu permata jelas lebih susah daripada berjualan komoditas lainnya yang sudah ada standar harganya. “Personal Touch” sangat dibutuhkan saat bernegosiasi permata. Itu jelas tidak ada sekolahnya meski ilmunya ada sampai tingkat dewa.
Di depan mata saya, saya menyaksikan bagaimana turis-turis China daratan ini memborong batu-batuan Indonesia yang sangat cantik. Mereka terlihat begitu bersemangat dan harga pun bukan masalah buat mereka. Proses tawar-menawar harga pun tidak begitu alot. Terlalu santai malah. Saya jadi curiga berat karena saya tahu betul karakter orang China daratan.
Lima tahun yang lalu saya menulis buku Miss Jinjing China dan untuk itu saya melakukan riset intensif selama dua tahun dan untuk itu saya puluhan kali berkunjung ke Guangzhou, Beijing, Shanghai, Shenzen, dan lain-lain. Berdasarkan pengalaman, kalau sampai orang China daratan berbelanja, terus tidak menawar alot, rasanya mesti ada yang kita curigai.
Kemungkinan barang itu terlalu murah, terlalu bagus, memiliki nilai investasi atau pikiran paling parno adalah mereka bermaksud meng-copy cat barang tersebut, seperti yang sudah sering terjadi di butik-butik high end brand di Paris, Milan atau New York. Mereka amat sangat profit oriented , beda banget dengan orang Indonesia yang sangat kompulsif dalam berkonsumsi.
Saya terkesima sekali melihat kelihaian Pak Juned bernegosiasi dengan mereka dan melihat pilihan batu mereka. Mungkin ini disebabkan jauh-jauh hari, ayah saya selalu mengingatkan saya dari kecil, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita pasti akan bersaing langsung atau tidak langsung dengan orang China daratan. Berhadapan dengan mereka, kita harus 5 langkah lebih pintar, 5 x lebih tekun, 5 x lebih waspada.
Hari itu saya memutuskan untuk berpikiran positif untuk tidak curiga melihat situasi ini karena saya fokus mengamati selera mereka dalam membeli batu-batuan Indonesia. Ternyata mereka suka sekali dengan batubatuan cantik yang bermotif gambar, seperti batu bacan yang bergambar Menara Eiffel, batu Garut yang bergambar ikan berwarna merah, batu bergambar kelinci, batu bermotif yin-yang sepertinya berasal dari Sumatera.
Sepertinya mereka suka segala sesuatu yang bisa merepresentasikan filosofi hidup mereka, seperti ikan mas yang melambangkan kemakmuran. Saat itu saya baru tahu kalau Anda memakai leontin yang ada gambar ikannya, kepala ikannya harus menghadap ke atas, katanya menggambarkan pertambahan kekayaan ke atas, bukan ke bawah.
Mereka tidak peduli tuh dan malah hanya tertawa waktu kita jelaskan bahwa batu bacan lagi ngetop banget di Indonesia dan benar-benar lagi diburu gara-gara batu ini dipakai Presiden SBY dan batu ini dihadiahkan Presiden SBY kepada Presiden AS Barrack Obama. Mereka suka, mereka coba tawar, mereka beli deh. Saking bersemangatnya, mereka sepertinya sampai kehabisan uang rupiah dan sisanya dibayar dengan yuan.
Total nilai transaksi grup turis itu, tentulah sangat menggiurkan. Apalagi buat para pelaku bisnis batu-batuan yang lagi sangat bergairah di Indonesia. Ini bukan terjadi hanya kemarin, juga satu hari sebelumnya. Satu hari sebelumnya, turis dari Taiwan juga membeli bongkahan amethyst seharga lima puluh juta rupiah. Ini cukup mengagetkan penjualnya sendiri karena turis itu tidak tertarik sama sekali dengan barang-barang yang sudah jadi yang ada di display -nya.
Dia malah tertarik dengan seonggok batu yang tergeletak di tokonya yang memang saat itu berantakan. Buat pengusaha ritel, baik besar maupun kecil, mempelajari selera konsumen itu wajib hukumnya, terlebih bila Anda memasukkan orang asing sebagai target Anda. Berbeda dengan selera dan kebutuhan orang Indonesia yang masih bisa dibentuk.
Di Indonesia suatu tren bisa “digoreng “ dan suatu kebutuhan bisa diciptakan. Ada bangsa yang jelas sangat investment oriented seperti China daratan. Semahal apa pun barang tetap akan dibeli sepanjang ada potensi keuntungan di sana. Ada bangsa yang personal style -nya sangat kuat seperti bangsa Jepang. Mempelajari selera konsumen itu tidaklah mudah dan membutuhkan kejelian mata dan waktu yang tidak singkat.
Banyak pelaku ritel Indonesia yang masih malas mempelajarinya. Itu karena masih berpikir pangsa pasar dalam negeri sendiri saja sudah cukup besar. Namun, apalah artinya jika Anda hanya jadi macan yang jago di kandang sendiri ? Happy Shopping Miss Jinjing .
Miss Jinjing
Konsultan Fashion
(ftr)