Hipertensi Terkendali, Cegah komplikasi
A
A
A
KEBERHASILAN pengendalian hipertensi disinyalir dapat menurunkan komplikasi stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Namun, bagaimana mengendalikan hipertensi?
Kenaikan tekanan yang tidak terkendali atau hipertensi dapat menjadi faktor risiko utama terjadinya stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Berdasarkan data dari Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi hipertensi masih tinggi, yaitu sebesar 26,5.
Itu artinya setiap 1 dari 4 orang menderita hipertensi. Bahkan, pada orang usia lanjut (lebih dari 65 tahun) menunjukkan setiap 1 dari 2 orang menderita hipertensi. Artinya 1 dari 2 lansia berisiko tinggi terkena stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal bila tidak terdeteksi dini dan tidak terobati hipertensinya. Data menunjukkan sekitar 50% penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi.
Hipertensi menjadi faktor risiko penyakit yang menyebabkan kematian urutan pertama dan kedua, yaitu stroke dan penyakit jantung. Selain itu, hipertensi menjadi faktor risiko gagal ginjal dengan pembiayaan kesehatan yang besar seperti cuci darah. Kebanyakan penderita memang tidak merasakan gejala khusus yang membuat mereka sadar bahwa mereka menderita hipertensi. Biasanya mereka hanya melaporkan keluhan seperti sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinitus (dengung atau desis di dalam telinga), gangguan penglihatan atau pingsan.
Beberapa akan merasakan gejala seperti jantung berdebar-debar, sulit bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, wajah memerah, dan hidung berdarah. Keberhasilan pengendalian hipertensi akan menurunkan pula kejadian stroke, penyakit jantung, dan penyakit gagal ginjal. Hipertensi yang dikendalikan akan mengurangi beban ekonomi dan sosial bagi keluarga, masyarakat, pemerintah terhadap komplikasi yang diakibatkannya.
Beberapa kesimpulan ini dikemukakan dalam seminar Indonesian Society of Hypertension (InaSH ) 11th Asia Pacific Congress Of Hypertension (APCH) 2015 scientific meeting yang diadakan di Bali, beberapa waktu lalu. Pertemuan yang dihadiri para pakar hipertensi se-Asia Pasifik ini membicarakan perkembangan terbaru keilmuan hipertensi. Berdasarkan pemaparan dr Arieska Ann Soenarta SpJP FIHA, pakar hipertensi, dan salah seorang pendiri InaSH, terdapat pergeseran pola makan yang mengarah pada makanan cepat saji dan makanan diawetkan yang mengandung garam tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat.
Selain itu, makanan asli Indonesia juga diketahui banyak mengandung garam seperti kerupuk, kecap, sambal botol, dan sebagainya. “Selain itu, adanya gadget saat ini mengakibatkan anak lebih inaktif secara fisik dan kesemuanya akan mendorong ke arah obesitas dan pergeseran kejadian hipertensi pada usia yang lebih muda,” sebutnya.
Adapun Prof Dr dr Suhardjono SpPD KGH KGer FINASIM, pakar hipertensi, dan guru besar FKUI, menegaskan bahwa jika hipertensi tidak ditangani, maka akan berakibat fatal pada jantung, ginjal, dan otak, serta menimbulkan komplikasi dan beban biaya yang besar seperti cuci darah. Bukan hanya beban ekonomi yang ditimbulkan, juga menurunkan kualitas hidup penderita, keluarga, dan masyarakat.
Sebenarnya saat ini pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat akses faskes lebih terjangkau, masyarakat dapat datang sedini mungkin untuk mengecek tekanan darahnya sebelum datang gejala komplikasinya. Beratnya hipertensi tidak hanya berdasar tingginya tekanan darah, juga harus dilihat adanya faktor penyerta lainnya.
Risiko kerusakan target organ (otak, jantung, ginjal) sangat dipengaruhi tingginya tekanan darah, usia, kebiasaan merokok, dislipidemia, diabetes melitus, dan obesitas. “Pada intinya, pengobatan hipertensi bertujuan menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular, stroke, dan ginjal dengan cara mengendalikan maksimal semua faktor risiko kardiovaskular.
Tekanan darah diturunkan hingga <140/90 mmHg,” sebut Suhardjono. Hipertensi tidak hanya masalah dengan stroke, juga faktor risiko utama kepikunan atau demensia. Hipertensi dapat mempercepat proses penuaan otak. Selain itu, Dr dr Yuda Turana Sp.S Yuda mengatakan kondisi stres dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan kondisi emosi tidak stabil.
“Hipertensi sebenarnya tanpa gejala, hanya bisa diketahui bila dilakukan pengecekan tekanan darah. Pengobatan tidak akan efektif tanpa pola hidup sehat.
Larissa huda
Kenaikan tekanan yang tidak terkendali atau hipertensi dapat menjadi faktor risiko utama terjadinya stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Berdasarkan data dari Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi hipertensi masih tinggi, yaitu sebesar 26,5.
Itu artinya setiap 1 dari 4 orang menderita hipertensi. Bahkan, pada orang usia lanjut (lebih dari 65 tahun) menunjukkan setiap 1 dari 2 orang menderita hipertensi. Artinya 1 dari 2 lansia berisiko tinggi terkena stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal bila tidak terdeteksi dini dan tidak terobati hipertensinya. Data menunjukkan sekitar 50% penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi.
Hipertensi menjadi faktor risiko penyakit yang menyebabkan kematian urutan pertama dan kedua, yaitu stroke dan penyakit jantung. Selain itu, hipertensi menjadi faktor risiko gagal ginjal dengan pembiayaan kesehatan yang besar seperti cuci darah. Kebanyakan penderita memang tidak merasakan gejala khusus yang membuat mereka sadar bahwa mereka menderita hipertensi. Biasanya mereka hanya melaporkan keluhan seperti sakit kepala (terutama di bagian belakang kepala pada pagi hari), serta pusing, vertigo, tinitus (dengung atau desis di dalam telinga), gangguan penglihatan atau pingsan.
Beberapa akan merasakan gejala seperti jantung berdebar-debar, sulit bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, wajah memerah, dan hidung berdarah. Keberhasilan pengendalian hipertensi akan menurunkan pula kejadian stroke, penyakit jantung, dan penyakit gagal ginjal. Hipertensi yang dikendalikan akan mengurangi beban ekonomi dan sosial bagi keluarga, masyarakat, pemerintah terhadap komplikasi yang diakibatkannya.
Beberapa kesimpulan ini dikemukakan dalam seminar Indonesian Society of Hypertension (InaSH ) 11th Asia Pacific Congress Of Hypertension (APCH) 2015 scientific meeting yang diadakan di Bali, beberapa waktu lalu. Pertemuan yang dihadiri para pakar hipertensi se-Asia Pasifik ini membicarakan perkembangan terbaru keilmuan hipertensi. Berdasarkan pemaparan dr Arieska Ann Soenarta SpJP FIHA, pakar hipertensi, dan salah seorang pendiri InaSH, terdapat pergeseran pola makan yang mengarah pada makanan cepat saji dan makanan diawetkan yang mengandung garam tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat.
Selain itu, makanan asli Indonesia juga diketahui banyak mengandung garam seperti kerupuk, kecap, sambal botol, dan sebagainya. “Selain itu, adanya gadget saat ini mengakibatkan anak lebih inaktif secara fisik dan kesemuanya akan mendorong ke arah obesitas dan pergeseran kejadian hipertensi pada usia yang lebih muda,” sebutnya.
Adapun Prof Dr dr Suhardjono SpPD KGH KGer FINASIM, pakar hipertensi, dan guru besar FKUI, menegaskan bahwa jika hipertensi tidak ditangani, maka akan berakibat fatal pada jantung, ginjal, dan otak, serta menimbulkan komplikasi dan beban biaya yang besar seperti cuci darah. Bukan hanya beban ekonomi yang ditimbulkan, juga menurunkan kualitas hidup penderita, keluarga, dan masyarakat.
Sebenarnya saat ini pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat akses faskes lebih terjangkau, masyarakat dapat datang sedini mungkin untuk mengecek tekanan darahnya sebelum datang gejala komplikasinya. Beratnya hipertensi tidak hanya berdasar tingginya tekanan darah, juga harus dilihat adanya faktor penyerta lainnya.
Risiko kerusakan target organ (otak, jantung, ginjal) sangat dipengaruhi tingginya tekanan darah, usia, kebiasaan merokok, dislipidemia, diabetes melitus, dan obesitas. “Pada intinya, pengobatan hipertensi bertujuan menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular, stroke, dan ginjal dengan cara mengendalikan maksimal semua faktor risiko kardiovaskular.
Tekanan darah diturunkan hingga <140/90 mmHg,” sebut Suhardjono. Hipertensi tidak hanya masalah dengan stroke, juga faktor risiko utama kepikunan atau demensia. Hipertensi dapat mempercepat proses penuaan otak. Selain itu, Dr dr Yuda Turana Sp.S Yuda mengatakan kondisi stres dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan kondisi emosi tidak stabil.
“Hipertensi sebenarnya tanpa gejala, hanya bisa diketahui bila dilakukan pengecekan tekanan darah. Pengobatan tidak akan efektif tanpa pola hidup sehat.
Larissa huda
(ars)