Nonton TV Berlebihan Perburuk Fungsi Kognitif
A
A
A
MENGHABISKAN waktu berlama-lama di depan televisi disertai dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik pada usia yang sangat muda dapat meningkatkan risiko melemahnya fungsi kognitif pada masa mendatang.
Pola hidup bermalasmalasan telah lama diketahui dapat memengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang. Tak jarang mereka yang terlena dengan pola hidup seperti itu berisiko tinggi terhadap diabetes dan gangguan fungsi jantung. Namun, ternyata ada risiko lain yang dapat mengancam fungsi organ lain dalam tubuh.
Asisten peneliti Tina Hong, dari Northern California Institute of Research and Education (NCIRE) di San Francisco seperti dilansir dalam situs Medical News Today, memaparkan temuan mereka dalam Alzheimer’s Association International Conference (AAIC) 2015 di Washington. Dalam Pedoman Aktivitas Fisik atau Physical Activity Guidelines 2008 bagi masyarakat Amerika dinyatakan, orang dewasa berusia 18–64 harus terlibat dalam setidaknya aktivitas aerobik selama 150 menit intensitas sedang atau 75 menit aktivitas aerobik dengan intensitas yang lebih tinggi setiap minggunya.
Namun, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), hanya sekitar 1 dari 5 orang dewasa yang memenuhi hal tersebut. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa kurangnya aktivitas fisik dan perilaku malas (sedentary) dapat memiliki implikasi negatif bagi kesehatan. Kebiasaan ini bisa mengakibatkan kelebihan berat badan dan obesitas, berisiko terkena diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Namun, lebih jauh penelitian telah menyatakan bahwa perilaku tersebut dapat juga memengaruhi fungsi otak. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan, aktivitas fisik di kemudian hari dapat melindungi otak terhadap penurunan kognitif dan demensia. Namun, Hoang dan rekan-rekannya mencatat bahwa sedikit yang mengetahui tentang peran aktivitas fisik pada masa dewasa awal dalam memainkan fungsi otak pada masa tua. “Memahami keterkaitan ini pada awal masa dewasa mungkin sangat penting karena data global menunjukkan, tingkat aktivitas fisik dan perilaku malas terus meningkat,” ungkap Hoang.
Penelitian yang dilakukan tim ini melibatkan lebih dari 3.200 orang dewasa berusia 18–30 yang merupakan bagian dari penelitian Coronary Artery Risk Development in Young Adults (CARDIA). Lebih dari 25 tahun, para peneliti mencatat aktivitas menonton televisi para partisipan dan tingkat aktivitas fisik melalui minimal tiga penilaian. Dalam studi tersebut, intensitas menonton televisi yang tinggi didefinisikan yang lebih dari 4 jam sehari.
Sementara aktivitas fisik yang rendah didefinisikan yang aktivitas di bawah 300 kcal per 50 menit setiap sesi, tiga kali seminggu. Jika partisipan memenuhi definisi tersebut lebih dari dua per tiga dari penilaian, mereka dianggap memiliki pola menonton televisi yang sangat panjang dengan intensitas tinggi dan aktivitas fisik yang rendah.
Pada akhir masa penelitian yang dilakukan selama periode 25 tahun, partisipan mengambil bagian dalam tes yang akan mengukur fungsi kognitif mereka, termasuk memori, fungsi eksekutif, dan kecepatan pemrosesan. Sebanyak 17% dari peserta yang memiliki pola aktivitas fisik yang rendah dalam jangka waktu yang panjang selama 25 tahun, 11% memiliki pola menonton televisi tinggi dalam jangka waktu yang panjang, dan 3% memiliki pola keduanya.
Para peneliti menemukan, partisipan yang menonton televisi dengan intensitas tinggi dan aktivitas fisik yang rendah secara independen berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk secara signifikan pada pertengahan kehidupan. Sementara partisipan yang menjalani kedua faktor, hampir dua kali lebih mungkin untuk memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk pada pertengahan kehidupan mereka.
“Temuan kami menunjukkan, sejak awal dan pertengahan masa dewasa merupakan periode penting untuk meningkatkan aktivitas fisik untuk pengembangan kognitif yang sehat. Perilaku malas, seperti menonton TV, bisa menjadi sangat relevan untuk generasi masa depan orang dewasa karena meningkatnya penggunaan teknologi berbasis layar. Karena penelitian menunjukkan, alzheimer dan demensia lainnya berkembang selama beberapa dekade.
Meningkatkan aktivitas fisik dan mengurangi perilaku malas yang dimulai pada awal masa dewasa akan memberikan peluang kesehatan masyarakat yang signifikan,” kata Hoang.
Larissa huda
Pola hidup bermalasmalasan telah lama diketahui dapat memengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang. Tak jarang mereka yang terlena dengan pola hidup seperti itu berisiko tinggi terhadap diabetes dan gangguan fungsi jantung. Namun, ternyata ada risiko lain yang dapat mengancam fungsi organ lain dalam tubuh.
Asisten peneliti Tina Hong, dari Northern California Institute of Research and Education (NCIRE) di San Francisco seperti dilansir dalam situs Medical News Today, memaparkan temuan mereka dalam Alzheimer’s Association International Conference (AAIC) 2015 di Washington. Dalam Pedoman Aktivitas Fisik atau Physical Activity Guidelines 2008 bagi masyarakat Amerika dinyatakan, orang dewasa berusia 18–64 harus terlibat dalam setidaknya aktivitas aerobik selama 150 menit intensitas sedang atau 75 menit aktivitas aerobik dengan intensitas yang lebih tinggi setiap minggunya.
Namun, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), hanya sekitar 1 dari 5 orang dewasa yang memenuhi hal tersebut. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa kurangnya aktivitas fisik dan perilaku malas (sedentary) dapat memiliki implikasi negatif bagi kesehatan. Kebiasaan ini bisa mengakibatkan kelebihan berat badan dan obesitas, berisiko terkena diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Namun, lebih jauh penelitian telah menyatakan bahwa perilaku tersebut dapat juga memengaruhi fungsi otak. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan, aktivitas fisik di kemudian hari dapat melindungi otak terhadap penurunan kognitif dan demensia. Namun, Hoang dan rekan-rekannya mencatat bahwa sedikit yang mengetahui tentang peran aktivitas fisik pada masa dewasa awal dalam memainkan fungsi otak pada masa tua. “Memahami keterkaitan ini pada awal masa dewasa mungkin sangat penting karena data global menunjukkan, tingkat aktivitas fisik dan perilaku malas terus meningkat,” ungkap Hoang.
Penelitian yang dilakukan tim ini melibatkan lebih dari 3.200 orang dewasa berusia 18–30 yang merupakan bagian dari penelitian Coronary Artery Risk Development in Young Adults (CARDIA). Lebih dari 25 tahun, para peneliti mencatat aktivitas menonton televisi para partisipan dan tingkat aktivitas fisik melalui minimal tiga penilaian. Dalam studi tersebut, intensitas menonton televisi yang tinggi didefinisikan yang lebih dari 4 jam sehari.
Sementara aktivitas fisik yang rendah didefinisikan yang aktivitas di bawah 300 kcal per 50 menit setiap sesi, tiga kali seminggu. Jika partisipan memenuhi definisi tersebut lebih dari dua per tiga dari penilaian, mereka dianggap memiliki pola menonton televisi yang sangat panjang dengan intensitas tinggi dan aktivitas fisik yang rendah.
Pada akhir masa penelitian yang dilakukan selama periode 25 tahun, partisipan mengambil bagian dalam tes yang akan mengukur fungsi kognitif mereka, termasuk memori, fungsi eksekutif, dan kecepatan pemrosesan. Sebanyak 17% dari peserta yang memiliki pola aktivitas fisik yang rendah dalam jangka waktu yang panjang selama 25 tahun, 11% memiliki pola menonton televisi tinggi dalam jangka waktu yang panjang, dan 3% memiliki pola keduanya.
Para peneliti menemukan, partisipan yang menonton televisi dengan intensitas tinggi dan aktivitas fisik yang rendah secara independen berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk secara signifikan pada pertengahan kehidupan. Sementara partisipan yang menjalani kedua faktor, hampir dua kali lebih mungkin untuk memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk pada pertengahan kehidupan mereka.
“Temuan kami menunjukkan, sejak awal dan pertengahan masa dewasa merupakan periode penting untuk meningkatkan aktivitas fisik untuk pengembangan kognitif yang sehat. Perilaku malas, seperti menonton TV, bisa menjadi sangat relevan untuk generasi masa depan orang dewasa karena meningkatnya penggunaan teknologi berbasis layar. Karena penelitian menunjukkan, alzheimer dan demensia lainnya berkembang selama beberapa dekade.
Meningkatkan aktivitas fisik dan mengurangi perilaku malas yang dimulai pada awal masa dewasa akan memberikan peluang kesehatan masyarakat yang signifikan,” kata Hoang.
Larissa huda
(ars)