Jangan Ragu periksa Status Hiv

Kamis, 20 Agustus 2015 - 09:40 WIB
Jangan Ragu periksa...
Jangan Ragu periksa Status Hiv
A A A
Sejak seseorang memutuskan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya, sebetulnya dia telah berisiko tertular human immunodeficiency virus atau HIV yang dapat menyebabkan penyakit acquired immune deficiency syndrome (AIDS).

Selama ini, kebanyakan orang tahu penularan HIV berisiko tinggi pada mereka yang berasal dari kelompok kunci, yakni pengguna napza (narkotika, psikotropika, dan zat aditif) suntik, pekerja seks perempuan (PSP), waria (PSW), hingga perilaku lelaki seks dengan lelaki (LSL).

Sampai saat ini, dari data yang ada, jumlah infeksi di antara pekerja seks transgender mencapai 22%, pekerja seks lakilaki 3,6%, dan 2,5% di antara lakilaki yang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lainnya (LSL). Peningkatan jumlah orang yang terinfeksi HIV dan merupakan bagian dari populasi kunci mengakibatkan potensi transmisi seksual pada pasangan seksnya (yang mempunyai risiko lebih rendah) juga meningkat.

Sebuah studi tentang jaringan seksual dari kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) di Indonesia menemukan, lebih dari 50% dari kelompok ini diperkirakan terinfeksi HIV, aktif secara seksual, dan jarang melakukan praktik seks yang aman. Angka-angka ini tanpa disadari turut meningkatkan risiko pada pasangan mereka yang belum terinfeksi HIV.

Potensi meningkatnya risiko ibu rumah tangga terhadap penularan HIV mulai terdeteksi sejak 2008 dan angka ini akan terus meningkat. “Biasanya mereka tertular bukan karena perilakunya sendiri, tapi justru mereka tertular dari suami mereka. Angka IRT yang mengidap HIV yang beredar selama ini hanya angka yang baru diketahui, masih banyak yang belum teridentifikasi,” kata Dr Asti Widihastuti yang dijumpai dalam acara Lecturer Seriesdengan tema pengembangan strategi notifikasi dan rujukan pasangan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sampai saat ini, program yang dicanangkan pemangku kebijakan masih fokus pada mereka yang sudah terjangkit. Sementara seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mereka yang berisiko rendah menjadi sama besar rasio risikonya jika diabaikan begitu saja. Pemerintah tidak memiliki program pendanaan khusus untuk preventif pada ibu rumah tangga, masih lebih banyak fokus kepada populasi khusus yang berisiko tinggi.

“Sasaran yang harus dijangkau adalah pencandu lakilaki yang memiliki pasangan. Namun, banyak tantangan yang dihadapi klien untuk mengajak pasangan melakukan tes atau membuka diri kepada pasangannya,” ungkap Chistine Mester, selaku Acting Coordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

Di Indonesia hingga saat ini belum ada panduan dan protokol terstandar yang fokus pada upaya untuk mengurangi risiko penularan pada kelompok pasangan dari populasi kunci. Pencegahan perluasan penyebaran HIV dari populasi kunci ke populasi dengan risiko yang lebih rendah akan sangat bergantung pada ketersediaan strategi pencegahan yang efektif dan menargetkan transmisi seksual HIV. “Ada perbedaan antara risiko dan rentan.

Risiko adalah dampak yang dirasakan oleh mereka akibat perilakunya sendiri. Sementara rentan adalah mereka yang terancam berdampak, tapi di luar kuasanya. Dalam kasus HIV saat ini, nilai kerentanan pada perempuan, khususnya IRT terus meningkat. Oleh karena itu, sudah saatnya tak hanya peduli kepada diri sendiri, juga kepada pasangan seks mereka,” ungkap Dr Asti Widihastuti. Lebih jauh, Dr Asti menjelaskan, secara biologis dan sosial wanita sangat rentan dalam penularan virus HIV.

Secara biologis, penampang vagina kontak langsung dengan selaput lendir. Selaput lendir pada vagina ini sangat mudah sekali terluka, apalagi saat vagina tidak menghasilkan pelumas secara alami. Luka yang dihasilkan dari vagina ini akan membuka atau merobek pembuluh darah. Pada saat kondisi luka, virus akan sangat mudah masuk.

Berbeda dengan penis pria yang terlindungi oleh lapisan kulit pelindung. Pada penis, selaput lendir hanya terdapat di ujungnya saja. Selain itu, bentuk vagina yang seperti mangkuk membuatnya masih tetap menampung cairan sperma meskipun berhubungan intim sudah usai. Jika pasangan membawa virus HIV, akan sangat rentan bagi wanita untuk tertular. Risiko akan lebih tinggi pada mereka yang melakukan seks oral dan seks lewat anus.

Bentuk usus yang dipenuhi selaput lendir membuatnya menampung sperma. Selain itu, anus tidak akan mengeluarkan pelumas yang menyebabkannya rentan luka. Sementara seks oral atau seks anal, risiko paling tinggi adalah mereka yang berada posisi dianal atau yang menerima anal.

Hal ini terjadi karena yang menerima menampung seluruh risiko yang terkandung dalam sperma dan oral rentan tertular karena mulut dikelilingi selaput lendir. Secara sosial, perempuan tidak mudah menolak saat diminta berhubungan intim atau kurang dapat bernegosiasi dengan pasangan seks mereka.

“Posisi perempuan dalam kondisi sosial dan biologis membuat mereka rentan. Oleh karena itu, sudah saatnya kelompok ini dilindungi, salah satunya memeriksakan status HIV pasangannya,” tambah Asti Widihastuti. Pada intinya, HIV bukan hanya masalah kesehatan, ini menyangkut pada permasalahan dan isu pembangunan.

Peran masyarakat umum, baik itu tokoh agama maupun pemerintah sama pentingnya. Butuh kerja sama dengan semua pihak, pemerintah dan LSM yang terlibat dalam isu-isu lain seperti pemberdayaan perempuan, HAM, dan sebagainya, karena muara dari permasalahan ini sangatlah kompleks.

“Jangan lihat ini masalah kesehatan saja, tapi juga masalah sosial dan bukan masalah moral. Karena semua berisiko terjangkit HIV. Jika dulu berpikir bahwa hanya wanita ‘nakal’ yang berisiko, tapi IRT juga rentan. Perbandingan pria dan wanita saat ini sama besarnya, yakni 1:1,” ungkap Chistine Mester.

Pada 2010 Pusat Penelitian HIV (PPH) Atma Jaya telah melakukan sebuah penelitian tahap pertama operasional yang bertujuan mengembangkan strategi pengurangan risiko penularan HIV pada kelompok pasangan dari populasi kunci. Tujuan dari penelitian, yaitu mengembangkan dan melakukan pilot terhadap protokol notifikasi dan rujukan pasangan untuk konseling dan tes HIV sukarela.

“Protokol ini akan digunakan sebagai strategi pencegahan yang dapat ditambahkan pada layanan penjangkauan serta konseling dan tes HIV sukarela di Indonesia, ” papar Asti Widihastuti.

Larissa Huda
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6136 seconds (0.1#10.140)