Perhiasan sebagai Identitas

Jum'at, 28 Agustus 2015 - 09:53 WIB
Perhiasan sebagai Identitas
Perhiasan sebagai Identitas
A A A
Happy Salma makin serius menekuni bisnis perhiasannya yang diberi label Tulola Jewelry. Usaha yang telah dilakoni selama beberapa tahun terakhir ini dilatarbelakangi kesukaan Happy terhadap perhiasan dan aksesori.

Bagi Happy, perhiasan adalah sebuah identitas. Apalagi jika perhiasan yang dipakainya itu bermotif etnik tradisional yang tidak memiliki dokumentasi resmi sehingga cara pelestariannya adalah dengan sering digunakan.

“Sejauh ini berada di Tulola Jewelry benarbenar menyenangkan. Bertemu banyak teman baru yang sebelumnya enggak saling kenal. Untung, teman-teman selebriti banyak yang mendukung bisnisku ini,” kata Happy kepada KORAN SINDO usai menghadiri jumpa pers peluncuran buku The Warrior Daughter di Jakarta, beberapa waktu lalu. Ketika disinggung mengenai perhiasan favoritnya, Happy mengaku suka yang berkesan cantik dan feminin. Lebih bagus lagi kalau perhiasan tersebut bisa dipakai sehari-hari.

Istri Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa ini rupanya tidak terlalu suka perhiasan dengan sentuhan etnik yang berlebihan. “Dalam bisnis ini, kami memang selalu berusaha mendesain perhiasan sendiri. Tapi, malah itu yang membuat sulit. Saya sih mencoba bangga dan berpromosi dengan cara memakai perhiasan dari Tulola,” beber Happy. Menurut Happy, salah satu hal yang menginspirasi dirinya dalam berbisnis adalah kisah hidup seniman multitalenta yang juga pengusaha dan desainer perhiasan etnik asal Bali, Desak Nyoman Suarti.

Agar sosok Desak dapat menginspirasi lebih banyak orang, perempuan asal Sukabumi ini mengangkat kisah pengusaha yang sudah go international sejak puluhan tahun silam itu ke dalam sebuah buku biografi berjudul The Warrior Daughter. Buku biografi yang ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris, itu bercerita tentang kisah Desak Nyoman Suarti dalam mengubah pandangan terhadap perempuan yang kerap dilarang untuk melukis.

“Saya rasa setiap orang punya kisah hidup. Saya melihat beliau punya banyak sekali cerita yang harus disampaikan. Bukan hanya soal karya, tapi bagaimana dirinya mencari jati diri,” tutur Happy, yang sebelumnya juga pernah meluncurkan buku kumpulan cerpen dan novel. Happy mengaku cukup sulit menyusun buku yang terdiri dari lima bab itu. Terlebih karena ia ingin menampilkan karya perhiasan perak milik Desak melalui foto-foto dan lengkap dengan keterangannya di buku tersebut. Tak pelak, penelitian kecil layaknya penyusunan disertasi pun harus ia lakoni.

“Aku seperti lulus kuliah, membuat sebuah disertasi karena butuh waktu empat tahun untuk menyelesaikannya. Proses penyusunannya menjadi lama karena aku harus mengumpulkan banyak data. Sementara Ibu Desak enggak memiliki arsipnya. Jadi, kami membentuk tim untuk mengumpulkan data dan mencari tahu segala informasi di balik motif perhiasan tersebut,” urai Happy.

Selain itu, Happy mengaku memiliki data yang minim mengenai perhiasan dan ragam hias Nusantara. Karenanya, ia butuh banyak waktu untuk mencari tahu. Beruntung kerja kerasnya itu tak sampai membuatnya kelelahan.

“Ada waktunya aku harus fokus menggarap buku ini, seperti untuk mengumpulkan data dan melakukan wawancara. Tapi, bila sudah mulai melebar atau ceritanya tidak fokus, kami pending dan edit dulu. Karena cerita hidup Ibu Desak itu panjang sekali dan semuanya menarik. Kalau lelah, ya istirahat dulu. Beberapa bulan kemudian, baru mulai lagi,” cerita Happy.

thomasmanggalla
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9853 seconds (0.1#10.140)