Pakai Duit APBN, Penyelenggara FFI Mesti Lebih Bijak
A
A
A
JAKARTA - Tekad Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) untuk merebut penyelengaraan Festival Film Indonesia (FFI), mendapat sambutan kritis dari pengamat film Bowo Leksono. Menurutnya, siapapun penyelenggara FFI, hendaknya bisa memanfaatkan anggaran FFI yang ternyata berasal dari APBN tersebut secara benar untuk kemajuan film tanah air.
“Ini duit rakyat. Kalau tidak bisa menyelenggarakan FFI, sebaiknya uang tersebut diberikan saja kepada komunitas film di seluruh Indonesia, yang sudah jelas berjuang untuk film nasional,” kata Bowo, yang juga Direktur Cinema Lovers Community (CLC) dalam rilisnya yang diterima Sindonews.
Dalam pengamatan Bowo, dengan anggaran sekitar Rp 8-9 miliar yang berasal dari APBN, sebenarnya mudah saja menyelenggarakan FFI. Hanya saja, lanjutnya, karena rawan didomplengi berbagai kepentingan, termasuk potensinya sebagai upaya bagi-bagi proyek. Maka penyelenggaraan bisa saja melenceng dari misi utama, yakni memajukan film nasional. “Jadi siapapun penyelenggaranya monggo saja. Tapi harus disertai niat yang lurus,” kata Bowo.
Sebelumnya, PPFI memang bertekad untuk menjadi penyelenggara FFI, yang selama dua penyelenggaraan terdahulu, lepas dari “genggaman” mereka. Pada kongres tersebut, Sys NS dengan tegas menyatakan, “FFI itu milik PPFI dan harus dikembalikan ke PPFI. Mari Bung rebut kembali!”
Di luar tekad tersebut, penyelenggaraan kongres ke-19 PPFI memang diwarnai dengan berbagai kericuhan dan kontroversi. Termasuk di antaranya, terkait dugaan gratifikasi kepada pejabat Kemenparekraf. Dugaan tersebut mengemuka, setelah seorang peserta kongres mempertanyakan tentang biaya yang dikeluarkan PPFI untuk pejabat Kemenparekraf sebesar Rp 36 juta.
Dugaan itu pula, yang menjadi salah satu alasan keluarnya dua anggota tim formatur, Ody Mulya Hidayat dan Chand Parwez Servia dari PPFI. Menurut Chand Parwez, sebenarnya pertanyaan peserta kongres, dipicu dari keterlambatan penyampaian bahan dan laporan pertanggungjawaban keuangan.
Laporan tersebut, menurut Chand Parwez baru diberikan pada hari kongres sehingga anggota tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk mempelajarinya. “Sangat mengkhawatirkan, apalagi pemberian kepada pejabat Kemenparekraf jelas-jelas merupakan perbuatan yang dilarang,” kata Parwez.
Tidak hanya pemberian kepada pejabat Kemenparekraf. Keterlambatan penyampaian bahan laporan keuangan, juga memicu pertanyaan lain seputar besarnya biaya entertainment lebih dari Rp 90 juta. Biaya tersebut, menurut Parwez, sebelumnya juga tidak pernah dibicarakan dengan anggota dan sesama pengurus lain.
Bukan cuma persoalan laporan keuangan. Hal lain yang memicu mundurnya Parwez dan Ody, adalah terkait mekanisme terpilihnya Firman Bintang, anggota lain tim formatur, sebagai Ketua Umum PPFI.
Menurut Ody, awalnya tercatat 46 pemilik hak suara pada voting pertama tentang mekanisme pemilihan formatur. Peserta kongres kemudian menyetujui bahwa hak suara yang tercatat adalah 46 votes dan tidak ada lagi tambahan hak suara untuk voting selanjutnya. Anehnya, pada saat voting dilakukan untuk memilih tim formatur, tiba-tiba jumlah suara menggelembung menjadi 49 tanpa penjelasan yang transparan kepada peserta kongres.
“Hal ini menunjukkan bahwa ada usaha yang ingin memaksakan kemenangan dalam pemilihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan berbudaya,” lanjut Ody.
Menurut Ody, di saat tim formatur sedang menyusun kepengurusan baru, tiba-tiba Firman Bintang yang juga Ketua Umum demisioner, menyampaikan laporan tim formatur kepada kongres. Setelah itu, secara sepihak Firman menyatakan, bahwa dirinya adalah Ketua Umum dalam kepengurusan yang baru dan meminta waktu satu pekan untuk menyusun ‘kabinet’-nya.
“Sebagai sesama tim formatur, kami tidak pernah menyepakati penunjukan beliau sebagai Ketua Umum. Kami hanya meminta waktu penyusunan pengurus dilakukan selambat-lambatnya Senin, 21 September 2015, yang praktis hanya satu hari kerja yaitu Jumat (18/9/2015), bukan satu pekan,” kata Ody.
Ody melanjutkan, itulah alasan mengapa dirinya bersama Chand Parwez keluar dari kepengurusan PPFI. “Kami ingatkan bahwa kongres mengamanatkan tim formatur untuk menyusun kepengurusan. Bukan disusun hanya oleh satu orang anggota tim formatur saja,” tandasnya.
“Ini duit rakyat. Kalau tidak bisa menyelenggarakan FFI, sebaiknya uang tersebut diberikan saja kepada komunitas film di seluruh Indonesia, yang sudah jelas berjuang untuk film nasional,” kata Bowo, yang juga Direktur Cinema Lovers Community (CLC) dalam rilisnya yang diterima Sindonews.
Dalam pengamatan Bowo, dengan anggaran sekitar Rp 8-9 miliar yang berasal dari APBN, sebenarnya mudah saja menyelenggarakan FFI. Hanya saja, lanjutnya, karena rawan didomplengi berbagai kepentingan, termasuk potensinya sebagai upaya bagi-bagi proyek. Maka penyelenggaraan bisa saja melenceng dari misi utama, yakni memajukan film nasional. “Jadi siapapun penyelenggaranya monggo saja. Tapi harus disertai niat yang lurus,” kata Bowo.
Sebelumnya, PPFI memang bertekad untuk menjadi penyelenggara FFI, yang selama dua penyelenggaraan terdahulu, lepas dari “genggaman” mereka. Pada kongres tersebut, Sys NS dengan tegas menyatakan, “FFI itu milik PPFI dan harus dikembalikan ke PPFI. Mari Bung rebut kembali!”
Di luar tekad tersebut, penyelenggaraan kongres ke-19 PPFI memang diwarnai dengan berbagai kericuhan dan kontroversi. Termasuk di antaranya, terkait dugaan gratifikasi kepada pejabat Kemenparekraf. Dugaan tersebut mengemuka, setelah seorang peserta kongres mempertanyakan tentang biaya yang dikeluarkan PPFI untuk pejabat Kemenparekraf sebesar Rp 36 juta.
Dugaan itu pula, yang menjadi salah satu alasan keluarnya dua anggota tim formatur, Ody Mulya Hidayat dan Chand Parwez Servia dari PPFI. Menurut Chand Parwez, sebenarnya pertanyaan peserta kongres, dipicu dari keterlambatan penyampaian bahan dan laporan pertanggungjawaban keuangan.
Laporan tersebut, menurut Chand Parwez baru diberikan pada hari kongres sehingga anggota tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk mempelajarinya. “Sangat mengkhawatirkan, apalagi pemberian kepada pejabat Kemenparekraf jelas-jelas merupakan perbuatan yang dilarang,” kata Parwez.
Tidak hanya pemberian kepada pejabat Kemenparekraf. Keterlambatan penyampaian bahan laporan keuangan, juga memicu pertanyaan lain seputar besarnya biaya entertainment lebih dari Rp 90 juta. Biaya tersebut, menurut Parwez, sebelumnya juga tidak pernah dibicarakan dengan anggota dan sesama pengurus lain.
Bukan cuma persoalan laporan keuangan. Hal lain yang memicu mundurnya Parwez dan Ody, adalah terkait mekanisme terpilihnya Firman Bintang, anggota lain tim formatur, sebagai Ketua Umum PPFI.
Menurut Ody, awalnya tercatat 46 pemilik hak suara pada voting pertama tentang mekanisme pemilihan formatur. Peserta kongres kemudian menyetujui bahwa hak suara yang tercatat adalah 46 votes dan tidak ada lagi tambahan hak suara untuk voting selanjutnya. Anehnya, pada saat voting dilakukan untuk memilih tim formatur, tiba-tiba jumlah suara menggelembung menjadi 49 tanpa penjelasan yang transparan kepada peserta kongres.
“Hal ini menunjukkan bahwa ada usaha yang ingin memaksakan kemenangan dalam pemilihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan berbudaya,” lanjut Ody.
Menurut Ody, di saat tim formatur sedang menyusun kepengurusan baru, tiba-tiba Firman Bintang yang juga Ketua Umum demisioner, menyampaikan laporan tim formatur kepada kongres. Setelah itu, secara sepihak Firman menyatakan, bahwa dirinya adalah Ketua Umum dalam kepengurusan yang baru dan meminta waktu satu pekan untuk menyusun ‘kabinet’-nya.
“Sebagai sesama tim formatur, kami tidak pernah menyepakati penunjukan beliau sebagai Ketua Umum. Kami hanya meminta waktu penyusunan pengurus dilakukan selambat-lambatnya Senin, 21 September 2015, yang praktis hanya satu hari kerja yaitu Jumat (18/9/2015), bukan satu pekan,” kata Ody.
Ody melanjutkan, itulah alasan mengapa dirinya bersama Chand Parwez keluar dari kepengurusan PPFI. “Kami ingatkan bahwa kongres mengamanatkan tim formatur untuk menyusun kepengurusan. Bukan disusun hanya oleh satu orang anggota tim formatur saja,” tandasnya.
(sbn)