Film Ngenest Angkat Keragaman Suku di Indonesia
A
A
A
YOGYAKARTA - Memiliki fisik yang berbeda dan tidak sama seperti manusia pribumi pada umumnya, tidak lantas menerima perlakuan yang semena-mena dan berbeda pula. Sebab bukan salah manusia juga ketika dirinya dilahirkan dengan fisik berbeda.
Pesan tersirat ini terungkap ketika film berjudul "Ngenest Kadang Hidup Perlu Ditertawakan" yang diputar secara premiere di Cinema XXI Plaza Ambarrukmo Yogyakarta belum lama ini.
Mengadopsi trilogi buku best seller karya Ernest Prakasa berjudul Ngenest Ngetawain Hidup ala Ernest, yang mengangkat isu asimilasi dan harmonisasi dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Film Ngenest menjadi salah satu hiburan penyegar yang wajib ditonton oleh masyarakat Indonesia yang majemuk.
Penyajian cerita yang sederhana, dengan ragam suku yang ditampilkan, dan kemasan balutan komedi, menjadi daya tarik film itu. Meskipun sebenarnya film yang menjalani proses produksi sekitar enam bulan ini, sekitar 70 persen menceritakan tentang kisah hidup Ernest yang merupakan keturunan China dan pernah dibully semasa kecil sampai dewasa karena perbedaan fisik.
"Justru sebagai orang China di Indonesia, merasa hal-hal seperti itu (terutama yang menyangkut SARA) tidak tabu lagi. Lihat konteks seperti dalam perfilman (ini tentang) kisah kehidupan saya, mau hidup gue terserah," ujar Ernest, Aktor, Penulis Skenario, sekaligus Sutradara Film kepada wartawan usai premiere film Ngenest, di Cinema XXI Plaza Ambarrukmo, Yogyakarta.
Meski demikian, dirinya mengaku ada semacam misi yang sengaja ingin diangkat. Terutama yang menyangkut tentang sensitivitas kata 'China', yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat kebanyakan.
"Banyak hal positif (yang bisa diambil dari film Ngenest). Generasi sekarang jadi bisa lihat dan bersyukur hal itu sudah tidak ada atau berkurang. Beda ketika (zaman orde baru), rasis masih terasa sekali. Meski bawa hal menyakitkan, namun dibahas dalam komedi dan buat saya itu semacam obat luka," jelasnya.
Sementara itu Arie Kriting, Comic sekaligus Comedy Coach dalam Tim Sutradara Film menambahkan, lewat film yang berdurasi sekitar 90 menit ini, pihaknya memasukkan beragam perwakilan karakter suku yang ada di Indonesia. Seperti Batak, Jawa, China, Makassar, hingga Indonesia Timur.
"(Kaitan) masalah SARA, kita fokus bukan itu tapi lebih ke Indonesia. Hampir semua perwakilan ada seperti Batak, China, Makassar, Jawa, dan Indonesia Timur. Indonesia itu kaya, jadi nggak perlu sensitif dengan adanya perbedaan. Berani tunjukkan perbedaan dan itu bukan hal yang perlu ditakuti," imbuh Arie yang juga berperan sebagai Preman dalam film Ngenest.
Dalam sinopsisnya, film yang akan diputar serentak di bioskop Indonesia pada 30 Desember 2015 ini, mengisahkan tentang tokoh Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) yang lahir dan besar di sebuah keluarga etnis China. Di mana pada masa Orde Baru masih terdapat perlakuan diskriminasi yang begitu kental, khususnya terhadap etnis China.
Ernest pun menghadapi masa kecil dan remaja yang cukup berat dan bullying menjadi makanan sehari-hari. Meski demikian, dirinya tetap berupaya untuk berbaur dengan teman-teman pribumi. Cara ini ditentang oleh sahabat karibnya Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey). Dan upaya yang dilakukan pun tidak berhasil, hingga pada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk bisa membaur dengan sempurna yakni dengan menikahi seorang perempuan pribumi.
Pesan tersirat ini terungkap ketika film berjudul "Ngenest Kadang Hidup Perlu Ditertawakan" yang diputar secara premiere di Cinema XXI Plaza Ambarrukmo Yogyakarta belum lama ini.
Mengadopsi trilogi buku best seller karya Ernest Prakasa berjudul Ngenest Ngetawain Hidup ala Ernest, yang mengangkat isu asimilasi dan harmonisasi dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Film Ngenest menjadi salah satu hiburan penyegar yang wajib ditonton oleh masyarakat Indonesia yang majemuk.
Penyajian cerita yang sederhana, dengan ragam suku yang ditampilkan, dan kemasan balutan komedi, menjadi daya tarik film itu. Meskipun sebenarnya film yang menjalani proses produksi sekitar enam bulan ini, sekitar 70 persen menceritakan tentang kisah hidup Ernest yang merupakan keturunan China dan pernah dibully semasa kecil sampai dewasa karena perbedaan fisik.
"Justru sebagai orang China di Indonesia, merasa hal-hal seperti itu (terutama yang menyangkut SARA) tidak tabu lagi. Lihat konteks seperti dalam perfilman (ini tentang) kisah kehidupan saya, mau hidup gue terserah," ujar Ernest, Aktor, Penulis Skenario, sekaligus Sutradara Film kepada wartawan usai premiere film Ngenest, di Cinema XXI Plaza Ambarrukmo, Yogyakarta.
Meski demikian, dirinya mengaku ada semacam misi yang sengaja ingin diangkat. Terutama yang menyangkut tentang sensitivitas kata 'China', yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat kebanyakan.
"Banyak hal positif (yang bisa diambil dari film Ngenest). Generasi sekarang jadi bisa lihat dan bersyukur hal itu sudah tidak ada atau berkurang. Beda ketika (zaman orde baru), rasis masih terasa sekali. Meski bawa hal menyakitkan, namun dibahas dalam komedi dan buat saya itu semacam obat luka," jelasnya.
Sementara itu Arie Kriting, Comic sekaligus Comedy Coach dalam Tim Sutradara Film menambahkan, lewat film yang berdurasi sekitar 90 menit ini, pihaknya memasukkan beragam perwakilan karakter suku yang ada di Indonesia. Seperti Batak, Jawa, China, Makassar, hingga Indonesia Timur.
"(Kaitan) masalah SARA, kita fokus bukan itu tapi lebih ke Indonesia. Hampir semua perwakilan ada seperti Batak, China, Makassar, Jawa, dan Indonesia Timur. Indonesia itu kaya, jadi nggak perlu sensitif dengan adanya perbedaan. Berani tunjukkan perbedaan dan itu bukan hal yang perlu ditakuti," imbuh Arie yang juga berperan sebagai Preman dalam film Ngenest.
Dalam sinopsisnya, film yang akan diputar serentak di bioskop Indonesia pada 30 Desember 2015 ini, mengisahkan tentang tokoh Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) yang lahir dan besar di sebuah keluarga etnis China. Di mana pada masa Orde Baru masih terdapat perlakuan diskriminasi yang begitu kental, khususnya terhadap etnis China.
Ernest pun menghadapi masa kecil dan remaja yang cukup berat dan bullying menjadi makanan sehari-hari. Meski demikian, dirinya tetap berupaya untuk berbaur dengan teman-teman pribumi. Cara ini ditentang oleh sahabat karibnya Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey). Dan upaya yang dilakukan pun tidak berhasil, hingga pada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk bisa membaur dengan sempurna yakni dengan menikahi seorang perempuan pribumi.
(nfl)