Pariwisata Itu Mirip Angsa Emas
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomi UI dan Pendiri Rumah Perubahan Dr Rhenald Kasali punya pendapat yang sangat meyakinkan. Pariwisata itu dia sebut sebagai lokomotif, yang akan menarik gerbong-gerbong sektor ekonomi lainnya. Seperti industri kuliner, hiburan, properti, bahan bangunan, hotel baru dibangun pasti bahan bangunan dan seni menanjak permintaannya. Begitu juga tenaga listrik, barang elektronika, bisnis-bisnis berskala UMKM, pertanian, perikanan, peternakan, dan lainnya.
Menurut Rhenald, dalam dunia bisnis ada ungkapan, “Jangan bunuh angsa yang bertelur emas.” Siapa pun yang pernah belajar ilmu ekonomi dan bisnis tentu mengenal betul ungkapan tersebut.
Kisah angsa bertelur emas ini sebetulnya cerita tentang keserakahan. Cerita tentang seorang petani tamak yang tak sabar menunggu angsanya bertelur emas setiap hari. Maka, ia memotong sang angsa agar bisa mendapatkan seluruh telurnya sekaligus. Malangnya setelah angsa dipotong dan dibelah isi perutnya, di dalamnya tak ada sebutir telur pun. Ia pun menyesal setengah mati.
Tapi, apa gunanya? Sang angsa toh tak bisa hidup kembali. "Saya anggap industri pariwisata kita bak angsa tadi. Kini, karena masalah fiskal, Menteri Keuangan sudah memerintahkan semua kementerian/lembaga untuk memotong anggaran belanjanya. Nilai pemotongannya mencapai Rp65 triliun. Lalu, anggaran lain yang dipotong adalah dana transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun. Jadi total anggaran yang dipotong Rp133,8 triliun," sebutnya yang sudah ditulis Rhenal Kasali di banyak media online.
Itu angka sementara. Kalau target perolehan dana dari tax amnesty tak mencapai target, besaran anggaran bakal dipotong lagi.
"Betul, saya setuju. Kita tak selayaknya lagi hidup dengan kondisi lebih besar pasak daripada tiang. Hanya tentu kurang bijak kalau semuanya main pukul rata. Jadi, perlu dipilah. Dilihat lagi paretonya. Menurut saya, pariwisata adalah angsa petelur emas. Jangan sampai kita salah sembelih. Kalau anggarannya bersifat konsumtif, dan tidak memberikan imbal hasil, silakan dipotong. Sebaliknya kalau sifatnya investasi, yang kelak menghasilkan, ya jangan. Sayang bukan kalau kita tak bisa menikmati telur emasnya?" kata Rhenald Kasali.
Angsa Emas itu oleh Menpar Arief Yahya dibahasakan sebagai portofolio bisnis, yang --siapa tahu---, itu juga yang dimaksud Presiden Joko Widodo sebagai core ekonomi negara. Tetapi akan menjadi core business atau bukan, naturaly, pariwisata memang sedang bertumbuh dan bergairah.
"Dalam bisnis, kita harus menempatkan seluruh resources ke portofolio bisnis yg kita yakini akan memberi benefit paling bagus. Ukurannya 3S, size, spread, sustainable. Ukurannya besar, menghasilkan benefit atau laba yang besar dan pertumbuhannya juga besar berkelanjutan. Dan itu semua ada di pariwisata," jelas Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI.
Jika dilihat dari perolehan devisa saat ini, Migas, Coal (batibara) dan CPO (kelapa sawit) masih di atas. size nya berurutan terbesar, tiga komoditi itu. Bagaimana dengan spread dan sustainable? "Bisnis jangan hanya melihat size saja! Tanpa melihat sustainability, maka saya khawatir kita memilih jalan yang keliru. Ingat, proyeksi lebih penting daripada performancy. Hanya melihat hasil saat ini tanpa memandang ke depan, bisa berbahaya," kata Arief.
Seperti diketahui, setelah kunjungan kerja (kunker) dalam rangkaian menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dan ASEAN ke China dan Laos, Presiden Joko Widodo punya kesan yang sangat tegas dan masuk akal. Bahwa Indonesia harus punya core ekonomi yang diunggulkan dan menjadi sektor utama pendulang devisa. Di Shanghai sendiri saat bertatap muka dengan masyarakat Indonesia di sana menyebut pariwisata itu sangat penting. Karena itu, presiden meminta warga di sana untuk membantu mempromosikan Wonderful Indonesia kapada calon wisatawan asal China.
Mantan Gubernur DKI ini pun dengan lugas membuat kesimpulan dan rencana yang khas seperti seorang CEO, Chief Executive Officer. Terutama soal core business, atau core ekonomi negara ke dapan, bidang apa yang akan dijadikan andalan.
Menurut Rhenald, dalam dunia bisnis ada ungkapan, “Jangan bunuh angsa yang bertelur emas.” Siapa pun yang pernah belajar ilmu ekonomi dan bisnis tentu mengenal betul ungkapan tersebut.
Kisah angsa bertelur emas ini sebetulnya cerita tentang keserakahan. Cerita tentang seorang petani tamak yang tak sabar menunggu angsanya bertelur emas setiap hari. Maka, ia memotong sang angsa agar bisa mendapatkan seluruh telurnya sekaligus. Malangnya setelah angsa dipotong dan dibelah isi perutnya, di dalamnya tak ada sebutir telur pun. Ia pun menyesal setengah mati.
Tapi, apa gunanya? Sang angsa toh tak bisa hidup kembali. "Saya anggap industri pariwisata kita bak angsa tadi. Kini, karena masalah fiskal, Menteri Keuangan sudah memerintahkan semua kementerian/lembaga untuk memotong anggaran belanjanya. Nilai pemotongannya mencapai Rp65 triliun. Lalu, anggaran lain yang dipotong adalah dana transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun. Jadi total anggaran yang dipotong Rp133,8 triliun," sebutnya yang sudah ditulis Rhenal Kasali di banyak media online.
Itu angka sementara. Kalau target perolehan dana dari tax amnesty tak mencapai target, besaran anggaran bakal dipotong lagi.
"Betul, saya setuju. Kita tak selayaknya lagi hidup dengan kondisi lebih besar pasak daripada tiang. Hanya tentu kurang bijak kalau semuanya main pukul rata. Jadi, perlu dipilah. Dilihat lagi paretonya. Menurut saya, pariwisata adalah angsa petelur emas. Jangan sampai kita salah sembelih. Kalau anggarannya bersifat konsumtif, dan tidak memberikan imbal hasil, silakan dipotong. Sebaliknya kalau sifatnya investasi, yang kelak menghasilkan, ya jangan. Sayang bukan kalau kita tak bisa menikmati telur emasnya?" kata Rhenald Kasali.
Angsa Emas itu oleh Menpar Arief Yahya dibahasakan sebagai portofolio bisnis, yang --siapa tahu---, itu juga yang dimaksud Presiden Joko Widodo sebagai core ekonomi negara. Tetapi akan menjadi core business atau bukan, naturaly, pariwisata memang sedang bertumbuh dan bergairah.
"Dalam bisnis, kita harus menempatkan seluruh resources ke portofolio bisnis yg kita yakini akan memberi benefit paling bagus. Ukurannya 3S, size, spread, sustainable. Ukurannya besar, menghasilkan benefit atau laba yang besar dan pertumbuhannya juga besar berkelanjutan. Dan itu semua ada di pariwisata," jelas Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI.
Jika dilihat dari perolehan devisa saat ini, Migas, Coal (batibara) dan CPO (kelapa sawit) masih di atas. size nya berurutan terbesar, tiga komoditi itu. Bagaimana dengan spread dan sustainable? "Bisnis jangan hanya melihat size saja! Tanpa melihat sustainability, maka saya khawatir kita memilih jalan yang keliru. Ingat, proyeksi lebih penting daripada performancy. Hanya melihat hasil saat ini tanpa memandang ke depan, bisa berbahaya," kata Arief.
Seperti diketahui, setelah kunjungan kerja (kunker) dalam rangkaian menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dan ASEAN ke China dan Laos, Presiden Joko Widodo punya kesan yang sangat tegas dan masuk akal. Bahwa Indonesia harus punya core ekonomi yang diunggulkan dan menjadi sektor utama pendulang devisa. Di Shanghai sendiri saat bertatap muka dengan masyarakat Indonesia di sana menyebut pariwisata itu sangat penting. Karena itu, presiden meminta warga di sana untuk membantu mempromosikan Wonderful Indonesia kapada calon wisatawan asal China.
Mantan Gubernur DKI ini pun dengan lugas membuat kesimpulan dan rencana yang khas seperti seorang CEO, Chief Executive Officer. Terutama soal core business, atau core ekonomi negara ke dapan, bidang apa yang akan dijadikan andalan.
(nfl)