Waspadai, Trauma Psikologis Picu Tindakan Mutilasi
A
A
A
JAKARTA - Kasus pembunuhan dan mutilasi yang terjadi belakangan ini, seperti yang dilakukan Mutmainah atau Iin kepada anaknya yang masih bayi menjadi perhatian publik. Para ilmuwan menilai ada hubungan kesehatan mental dengan trauma psikologis. Dilansir Independent, para ilmuwan telah meneliti apa yang ada di benak pembunuh mutilasi dan pembunuh berantai. Para pelaku bisa melakukan tidak criminal itu karena ada hubungan antara masalah kesehatan mental dari autisme yang berhubungan dengan trauma psikologis.
Penelitian yang dilakukan di University of Glasgowini menemukan adanya hubungan yang kompleks antara masalah perkembangan saraf dan faktor psikososial.Ditemukan sekitar 28% dari pembunuh menderita gangguan spektrum autisme (ASD) dan 21% menderita cedera kepala yang terjadi di masa lalu. Tak hanya itu, sebanyak 55% pembunuh pernah mengalami peristiwa traumatis yang menyebabkan stres psikologis.
Namun pemimpin studi Dr Clare Allelydari Institute of Health and Wellbeing at the university mengatakan bukan berarti individu dengan ASD atau trauma kepala akan menjadi pembunuh berantai atau melakukan kejahatan serius. Sebaliknya, ada subkelompok individu yang bisa melakukan kejahatan serius ketika stres psikososial.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Violent and Aggressive Behaviourinimenunjukkan adanya hubungan antara gangguan perkembangan saraf seperti, ASD atau trauma kepala dan gangguan psikososial, misalnya terpapar kekerasan fisik atau seksual selama masa kanak-kanak. Tindakan ekstrem bisa didasari dengan tumbuh kembang yang salah.
"Kami akan merekomendasikan bahwa di masa depan, semua pembunuh berantai atau pelakumutilasiyang ditangkap harus benar-benar dinilai dengan menggunakan alat standar untuk menyelidiki gangguan perkembangan saraf," kata Allely.
Penelitian yang dilakukan di University of Glasgowini menemukan adanya hubungan yang kompleks antara masalah perkembangan saraf dan faktor psikososial.Ditemukan sekitar 28% dari pembunuh menderita gangguan spektrum autisme (ASD) dan 21% menderita cedera kepala yang terjadi di masa lalu. Tak hanya itu, sebanyak 55% pembunuh pernah mengalami peristiwa traumatis yang menyebabkan stres psikologis.
Namun pemimpin studi Dr Clare Allelydari Institute of Health and Wellbeing at the university mengatakan bukan berarti individu dengan ASD atau trauma kepala akan menjadi pembunuh berantai atau melakukan kejahatan serius. Sebaliknya, ada subkelompok individu yang bisa melakukan kejahatan serius ketika stres psikososial.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Violent and Aggressive Behaviourinimenunjukkan adanya hubungan antara gangguan perkembangan saraf seperti, ASD atau trauma kepala dan gangguan psikososial, misalnya terpapar kekerasan fisik atau seksual selama masa kanak-kanak. Tindakan ekstrem bisa didasari dengan tumbuh kembang yang salah.
"Kami akan merekomendasikan bahwa di masa depan, semua pembunuh berantai atau pelakumutilasiyang ditangkap harus benar-benar dinilai dengan menggunakan alat standar untuk menyelidiki gangguan perkembangan saraf," kata Allely.
(tdy)