Efek Tembakau Gorila Tak Segalak Ganja
A
A
A
JAKARTA - Efek tembakau Cap Gorila yang diduga dikonsumsi mantan pilot Citylink, Tekad Purna, ternyata tidak segalak selinting ganja. Namun, Badan Narkotika Nasional (BNN) curiga ada campuran cannabinoid sintetis di dalamnya.
Bagaimana soal rasa yang ditawarkan Gorila ? Sekali isap, satu linting papirus baru memberikan aroma nikmat kembang gula. Tapi, memasuki isapan kelima, rasa rileks, happy, dan tertawa-tawa mulai dirasakan si pengguna.
Sejauh ini peredaran Gorila memang belum begitu segencar ganja meski sekarang sudah mewabah. Konsumen yang ingin mencicipi 'digandoli' Gorila biasanya bisa memperolehnya melalui pembelian secara online.
Penjualnya pun memanfaatkan jejaring sosial seperti Twitter dan Instagram. Blog milik Octa Rendra jadi salah satu rujukan para pencari sensasi. Dari sana pula terungkap jika Gorila sedang jadi tren di kalangan mahasiswa dan pelajar sejak pertengahan tahun ini.
Bicara harga, Gorila sebagai 'barang baru' terbilang mahal. Dari akun @petanicapgorila, misalnya, untuk paket seberat 10 gram tembakau dihargai Rp450 ribu. Akun Instagram @herbs_of_the_gods bahkan menjual merek lain tembakau super, seperti Hanoman dan Nataradja. Efeknya diklaim lebih dahsyat ketimbang Gorila. "Parah mas, enggak bisa gerak. Ketawanya saja dalam hati saking enggak kuatnya," tulis testimoni dalam akun tersebut.
Setidaknya, hingga kini, BNN sempat menahan dua orang karena mengisap Gorila. Seorang di Yogyakarta dan lainnya di Bali. Di Bali, BNN mendapati Roby Geisha sudah mengalami kecanduan Gorila. Setiap pekan, Roby mengonsumsi enam kali. "Karena tingkat kecanduannya, dia kami rehabilitasi," kata Kepala BNN Bali, Komisaris Besar I Putu Gede Suastawa.
Namun demikian, polisi tak bisa memidanakan para pengedar dan pecandu Gorila. Undang-Undang (UU) Narkotika tak mencantumkan Gorila dalam daftar hitamnya. Demikian pula Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2014. Walhasil, meski mengakui efeknya mirip ganja, bahkan kerap menyebutnya ganja Gorila.
Selain racikan tembakau dan cengkih layaknya rokok kretek konvensional, Gorila mengandung bahan utama wild dagga atau yang tenar disebut 'ekor singa', jenis tumbuhan mint asal Afrika Selatan. Leonotis leonorus, nama Latinnya, tumbuh liar di antara singkapan bebatuan di padang rumput Afrika Selatan.
Tanaman tersebut secara tradisional kerap digunakan untuk mengobati luka akibat gigitan ular, bisul, dan gatal-gatal. Ia juga kerap menjadi campuran dalam racikan obat herbal untuk mengatasi tekanan darah tinggi, hepatitis, wasir, disentri, demam, sakit kepala, asma, batuk, dan flu.
Akan tetapi, manfaat pengobatan di atas kalah tersohor dengan efek senang-senang si ekor singa. Penduduk Afrika Selatan sudah lama mengonsumsi wild dagga layaknya ganja. Bahkan, kata ‘dagga’ dianggap bersinonim dengan kata ‘weed’ dan ‘marijuana’ yang berarti ganja dalam bahasa Inggris. Ekor singa juga kerap dikeringkan untuk diseduh menjadi teh.
Dianggap sebagai pengganti paling layak bagi ganja yang ilegal di banyak negara, wild dagga ternyata tak sedahsyat seniornya. Dalam sejumlah forum, penikmat ganja merasa ekor singa lebih lembut. Efek telernya pun tak berlangsung lama, cuma sekitar 10 menit. Untuk menyamai level ganja, mereka harus menambah dosisnya.
Hanya keuntungannya, aroma yang dihasilkan wild dagga tak semencolok ganja. Walhasil, si pecandu merasa aman mengisapnya di tengah banyak orang. Karena itu, banyak pecandu ganja menyebut ekor singa sebagai 'a clean and mild alternative to weed'. "Tembakau ini tidak memiliki bau khusus seperti ganja, bahkan plastiknya berbau manis seperti cokelat," tulis Octa.
Karena efek wild dagga yang tak sekeras ganja itulah, BNN curiga Cap Gorila tak semata berbahan utama si ekor singa. Kepala Laboratorium BNN, Komisaris Besar Kus Wardani, mengatakan bahwa zat kimia cannabinoid sintetis disemprotkan kepada tembakau tersebut. 'Ada cannabinoid sintetis berbentuk apesiminika yang bisa disemprotkan,' jelasnya. Kus memastikan BNN sudah meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memasukkan Cap Gorila ke dalam daftar pengawasannya. (Irman Abdurrahman, Fahmi W. Bahtiar, Ferdi Christian, Budi Yuni Harto, Debi Abdullah, dan Fikri Kurniawan)
Bagaimana soal rasa yang ditawarkan Gorila ? Sekali isap, satu linting papirus baru memberikan aroma nikmat kembang gula. Tapi, memasuki isapan kelima, rasa rileks, happy, dan tertawa-tawa mulai dirasakan si pengguna.
Sejauh ini peredaran Gorila memang belum begitu segencar ganja meski sekarang sudah mewabah. Konsumen yang ingin mencicipi 'digandoli' Gorila biasanya bisa memperolehnya melalui pembelian secara online.
Penjualnya pun memanfaatkan jejaring sosial seperti Twitter dan Instagram. Blog milik Octa Rendra jadi salah satu rujukan para pencari sensasi. Dari sana pula terungkap jika Gorila sedang jadi tren di kalangan mahasiswa dan pelajar sejak pertengahan tahun ini.
Bicara harga, Gorila sebagai 'barang baru' terbilang mahal. Dari akun @petanicapgorila, misalnya, untuk paket seberat 10 gram tembakau dihargai Rp450 ribu. Akun Instagram @herbs_of_the_gods bahkan menjual merek lain tembakau super, seperti Hanoman dan Nataradja. Efeknya diklaim lebih dahsyat ketimbang Gorila. "Parah mas, enggak bisa gerak. Ketawanya saja dalam hati saking enggak kuatnya," tulis testimoni dalam akun tersebut.
Setidaknya, hingga kini, BNN sempat menahan dua orang karena mengisap Gorila. Seorang di Yogyakarta dan lainnya di Bali. Di Bali, BNN mendapati Roby Geisha sudah mengalami kecanduan Gorila. Setiap pekan, Roby mengonsumsi enam kali. "Karena tingkat kecanduannya, dia kami rehabilitasi," kata Kepala BNN Bali, Komisaris Besar I Putu Gede Suastawa.
Namun demikian, polisi tak bisa memidanakan para pengedar dan pecandu Gorila. Undang-Undang (UU) Narkotika tak mencantumkan Gorila dalam daftar hitamnya. Demikian pula Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2014. Walhasil, meski mengakui efeknya mirip ganja, bahkan kerap menyebutnya ganja Gorila.
Selain racikan tembakau dan cengkih layaknya rokok kretek konvensional, Gorila mengandung bahan utama wild dagga atau yang tenar disebut 'ekor singa', jenis tumbuhan mint asal Afrika Selatan. Leonotis leonorus, nama Latinnya, tumbuh liar di antara singkapan bebatuan di padang rumput Afrika Selatan.
Tanaman tersebut secara tradisional kerap digunakan untuk mengobati luka akibat gigitan ular, bisul, dan gatal-gatal. Ia juga kerap menjadi campuran dalam racikan obat herbal untuk mengatasi tekanan darah tinggi, hepatitis, wasir, disentri, demam, sakit kepala, asma, batuk, dan flu.
Akan tetapi, manfaat pengobatan di atas kalah tersohor dengan efek senang-senang si ekor singa. Penduduk Afrika Selatan sudah lama mengonsumsi wild dagga layaknya ganja. Bahkan, kata ‘dagga’ dianggap bersinonim dengan kata ‘weed’ dan ‘marijuana’ yang berarti ganja dalam bahasa Inggris. Ekor singa juga kerap dikeringkan untuk diseduh menjadi teh.
Dianggap sebagai pengganti paling layak bagi ganja yang ilegal di banyak negara, wild dagga ternyata tak sedahsyat seniornya. Dalam sejumlah forum, penikmat ganja merasa ekor singa lebih lembut. Efek telernya pun tak berlangsung lama, cuma sekitar 10 menit. Untuk menyamai level ganja, mereka harus menambah dosisnya.
Hanya keuntungannya, aroma yang dihasilkan wild dagga tak semencolok ganja. Walhasil, si pecandu merasa aman mengisapnya di tengah banyak orang. Karena itu, banyak pecandu ganja menyebut ekor singa sebagai 'a clean and mild alternative to weed'. "Tembakau ini tidak memiliki bau khusus seperti ganja, bahkan plastiknya berbau manis seperti cokelat," tulis Octa.
Karena efek wild dagga yang tak sekeras ganja itulah, BNN curiga Cap Gorila tak semata berbahan utama si ekor singa. Kepala Laboratorium BNN, Komisaris Besar Kus Wardani, mengatakan bahwa zat kimia cannabinoid sintetis disemprotkan kepada tembakau tersebut. 'Ada cannabinoid sintetis berbentuk apesiminika yang bisa disemprotkan,' jelasnya. Kus memastikan BNN sudah meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memasukkan Cap Gorila ke dalam daftar pengawasannya. (Irman Abdurrahman, Fahmi W. Bahtiar, Ferdi Christian, Budi Yuni Harto, Debi Abdullah, dan Fikri Kurniawan)
(bbk)