Cegah Bakteri Resistensi dengan Kendalikan Penggunaan Antibiotik
A
A
A
JAKARTA - Resistensi antimikroba (AMR) telah muncul sebagai salah satu tantangan dan menjadi isu kesehatan masyarakat yang semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan kesehatan di seluruh dunia. Penggunaan antibiotik yang bijak dapat mengurangi khususnya komplikasi infeksi akibat bakteri multi resisten.
Penggunaan antibiotik secara bebas di masyarakat yang tidak sesuai indikasi, mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan. Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Hari Paraton, Sp.OG(K) mengatakan, penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai indikasi, jenis, dosis dan lamanya, serta kurangnya kepatuhan penggunaan antibiotik merupakan penyebab timbulnya resistensi.
"Selain itu, penyebab banyaknya kasus resistensi antibiotik dipicu pula mudahnya masyarakat membeli antibiotik tanpa resesp dokter di apotek, kios atau warung. Seharusnya, antibiotik tidak dijual bebas dan harus berdasarkan resep dokter," ujar Hari dalam keterangan resmi yang diterima Sindonews.
Menyimpan antibiotik cadangan di rumah ternyata tidak bagus. Sebab akan meningkatkan jumlah resistensi antibiotik.
"Memberi antibiotik kepada keluarga, tetangga atau teman merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di masyarakat. Ini dapat mendorong terjadinya resistensi antibiotik," katanya
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2014 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia. 700.000 kematian pertahun akibat bakteri resisten.
Selain itu, berdasarkan laporan the Review on Antimicrobial Resistance, memperkirakan bahwa jika tidak ada tindakan global yang efektif, AMR akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya pada tahun 2050.
Angka tersebut melebihi kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun dan bisa mengakibatkan total kerugian global mencapai USD 100 triliun. Data ini menunjukkan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan dan perlu adanya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai resistensi antibiotik.
Penggunaan antibiotik secara bebas di masyarakat yang tidak sesuai indikasi, mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotika secara signifikan. Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Hari Paraton, Sp.OG(K) mengatakan, penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai indikasi, jenis, dosis dan lamanya, serta kurangnya kepatuhan penggunaan antibiotik merupakan penyebab timbulnya resistensi.
"Selain itu, penyebab banyaknya kasus resistensi antibiotik dipicu pula mudahnya masyarakat membeli antibiotik tanpa resesp dokter di apotek, kios atau warung. Seharusnya, antibiotik tidak dijual bebas dan harus berdasarkan resep dokter," ujar Hari dalam keterangan resmi yang diterima Sindonews.
Menyimpan antibiotik cadangan di rumah ternyata tidak bagus. Sebab akan meningkatkan jumlah resistensi antibiotik.
"Memberi antibiotik kepada keluarga, tetangga atau teman merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di masyarakat. Ini dapat mendorong terjadinya resistensi antibiotik," katanya
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2014 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia. 700.000 kematian pertahun akibat bakteri resisten.
Selain itu, berdasarkan laporan the Review on Antimicrobial Resistance, memperkirakan bahwa jika tidak ada tindakan global yang efektif, AMR akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya pada tahun 2050.
Angka tersebut melebihi kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun dan bisa mengakibatkan total kerugian global mencapai USD 100 triliun. Data ini menunjukkan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan dan perlu adanya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai resistensi antibiotik.
(nfl)