Waspada Saraf Kejepit di Usia Produktif

Sabtu, 06 Mei 2017 - 08:09 WIB
Waspada Saraf Kejepit di Usia Produktif
Waspada Saraf Kejepit di Usia Produktif
A A A
JAKARTA - Hernia Nucleus Pulposus (HNP) atau saraf kejepit, rentan dialami pria maupun wanita yang berusia 30-50 tahun. Berat badan berlebih, gaya hidup sedentary, serta faktor usia merupakan beberapa faktor risiko yang melatarbelakangi gangguan ini.

Anda mungkin acap kali mengalami nyeri pinggang, terlebih bagi yang telah berusia. Namun jangan khawatir, pada dasarnya nyeri pinggang dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu dua minggu, cukup dengan berisitirahat.

Dr Muki Partono Sp OT dari Rumah Sakit Pondok Indah menjelaskan hanya 1% kasus nyeri pinggang yang akhirnya berujung serius.

"Sebagian besar sembuh dengan sendirinya," kata dr Muki dalam acara diskusi media Teknologi Laser Atasi Nyeri Saraf Kejepit belum lama ini.

Namun, nyerin pinggang ini lain halnya dengan Hernia Nucleus Pulposus (HNP) atau saraf kejepit. HNP adalah adanya penonjolan inti dari diskus yang menjadi bantalan tulang belakang sehingga penonjolan tersebut menekan saraf sebagai akibatnya timbullah rasa sakit, kesemutan, dan kelemahan pada anggota gerak yang dipersarafi bisa punggung, pinggang, lengan atau tungkai.

Boleh dibilang HNP merupakan penyebab paling umum kecacatan akibat kerja pada mereka yang berusia di bawah 45 tahun. Ada beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan HNP, di antaranya berat badan yang berlebihan, gaya hidup bermalas-malasan, dan postur tubuh yang tidak diposisikan secara benar.

Faktor lainnya adalah perubahan degeneratif yang mengurangi kekuatan dan stabilitas tulang belakang sehingga menyebabkan tulang belakang rentan terhadap cedera.

Seiring pertambahan usia, diskus tulang belakang makin kehilangan beberapa kadar airnya. Hal ini mengakibatkannya kurang fleksibel dan lebih rentan untuk robek atau pecah. Selain itu juga dikarenakan teknik mengangkat dan memindahkan barang yang tidak benar, serta pergerakan tiba-tiba dan bertenaga/traumatik yang memindahkan gaya dalam jumlah beaar ke tulang belakang.

"Hati-hati juga bagi Anda yang suka bermain golf. Olahraga yang menempatkan gaya berputar pada tulang belakang juga bisa berisiko HNP," kata dr Muki.

Disamping golf, basebal dan tenis juga sama berisikonya. Nyeri yang disebabkan oleh HNP dikenal sebagai iskhialgia diskogenik atau siatika, yaitu nyeri sepanjang perjalanan nervus ischiadikus.

Level segmen tulang belakang yang terkena akan mempengaruhi daerah nyeri sesuai distribusi dermatom (area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis). Nyeri yang dirasakan penderita sendiri, digambarkan sebagai nyeri yang tajam, berpangkal pada bagian bawah pinggang dan menjalar ke lipatan bokong tepat di pertengahan garis tersebut.

Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi defisit motorik dan melemahnya refleks. Sakit pinggang yang diderita pun akan semakin parah jika duduk, membungkuk, mengangkat beban, batuk, meregangkan badan, dan bergerak.

Adapun penerapan terapi pada pasien HNP dapat berupa konservatif, yakni istirahat mutlak di tempat tidur, terapi farmakologis, fisioterapi, latihan, traksi, dan korset pinggang. Terapi operatif dilakukan jika ditemukan indikasi yang serius.

Dr Muki mengatakan penderita umumnya takut terhadap operasi, namun PLDD (Percutaneus Laser Disc decompression) berbeda dengan operasi konvensional. Tindakan yang tergolong minimal invansif ini adalah suatu alternatif pengobatan pada kasus saraf terjepit pada usia muda (HNP) dan saraf terjepit pada usia tua(Spinal stenosis) dengan metode penciutan bantalan tulang (Disc), yakni dengan menggunakan sinar laser yang disuntikan pada bantalan tulang yang megalami penonjolan.

Metode ini mulai dikembangkan di era tahun 1990, tapi untuk di Indonesia baru berkembang di tahun 2000.

"Pada saat ini di Indonesia sedang booming karena banyak penderita HNP tidak mau dioperasi secara langsung pada kesempatan pertama berobat ke dokter tulang, apalagi lagi prosedur PLDD sangat sederhana tidak membutuhkan pembiusan," beber dr Muki.
PLDD juga tidak membutuhkan pembiusan, tidak perlu puasa, dan perawatan di RS juga hanya 8-12 jam. "Ada juga pasien yang tetap ingin langsung pulang sehabis tindakan, tidak masalah tapi tetap saya pantau," kata dr Muki.

Untuk pasien yang mengkonsumsi obat pengencer dianjurkan untuk menyetop obatnya 7 hari sebelum pelaksanaan tindakan PLDD. Angka keberhasilan PLDD mencapai 80%. "Operasi itu aman bila indikasinya tepat," pungkasnya.
(tdy)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1598 seconds (0.1#10.140)