Fransiska Kurniawan, Mojang Bandung yang Kembangkan Obat Kanker

Selasa, 25 Juli 2017 - 14:30 WIB
Fransiska Kurniawan,...
Fransiska Kurniawan, Mojang Bandung yang Kembangkan Obat Kanker
A A A
JAKARTA - Tidak mudah dan tidak semua orang bisa menciptakan obat untuk bisa meningkatkan harapan hidup bagi penderita kanker yang menjadi salah satu penyakit mematikan.

Namun, Fransiska Kurniawan, Mojang Bandung kelahiran 30 Agustus 1991 ini mencurahkan pikiran dan waktunya untuk membantu penderita kanker.

Selama menggeluti dunia kanker, salah satu mahasiswa terbaik Sekolah Farmasi, program studi Sains dan Teknologi Farmasi, ITB ini melihat ada dua fase kesakitan yang diderita penderita kanker.

Pertama menahan sakit karena kanker itu sendiri dan kedua sebagai dampak kemotherapi.

“Saya sedang mencoba mengembangkan jenis obat agar kedua fase ini tidak terjadi lagi,” kata Fransiska.

Siska, sapaan Fransiska ini pun berharap penelitiannya rampung dan
cepat diaplikasikan di masyarakat. Namun hal itu tidak semudah membalik tangan. Bukan karena tidak ada semangat juang atau keterbatasan laboratorium.

Jalan terjal pertama pengiriman bahan material seperti zat kimia organik yang sering datang telat, bahkan tidak terkirim sama sekali. Padahal, permintaan zat kimia itu sudah dilampiri surat izin penggunaan bahan untuk penelitian.

“Saya tidak tahu lagi harus nunggu sampai kapan. Ya, meskipun saya tahu, alasan pemerintah menahan barang pesanan saya demi alasan keamanan, tapi ya, mestinya ada proses screening barang yang jelas. Biar tahu, mana bahan yang akan dipakai penelitian dan mana yang akan dipake buat kejahatan!” jelas Siska yang menyelesaikan studi S1 dengan cumlaude 3,62.

Dijelaskannya, pihak bea cukai selalu menahan bahan materi miliknya dan itu membuat penelitian terancam tidak selesai sesuai target dan khawatir penelitiannya gagal.

Namun Siska tidak menyerah. Sembari menunggu barang pesannya, dia membaca jurnal dan mencari metode lain untuk diujicobakan.

“Kalau sudah kelamaan nunggu biasanya saya merasa kesal dan menyesal. Cuma, kadang saya mikir lagi. Kan yang milih farmasi saya? Kenapa saya harus kesal sama diri saya sendiri dan menyesali keadaan ini?” ujarnya dengan tawa.

Siska membandingkan regulasi di Indonesia dengan Jepang. Pada 2013, dia mendapat beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) untuk join research dengan dosen dan peneliti di sana.

Kemudian, dia mengikuti sandwich, pendidikan penelitian wajib di luar negeri bagi penerima PMDSU pada 2015. Siska menekankan, PMDSU merupakan jalan terbaik membangun keilmuan di Indonesia.

Selama melakukan penelitian di Jepang, dia melihat sistem regulasinya berbeda dengan Indonesia sehingga para peneliti lebih mudah berhasil. Misalnya, material dasar yang wajib ada untuk penelitian yang di Indonesia sulit didapatkan, sementara di Jepang justru dengan sangat mudah sampai ke tangan peneliti.

“Saya hanya butuh 2-3 untuk mendapat bahan yang dibutuhkan. Kalau di Indonesia saya harus menunggu setahun hanya untuk mendapat satu bahan penelitian,” paparnya.

Siska pun berharap penelitiannnya, Desain dan Sintesis Senyawa Obat demi menghasilkan produk obat minim efek samping cepat diaplikasikan ke masyarakat.
(tdy)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0929 seconds (0.1#10.140)