Hari Cuci Tangan Sedunia, Kemenkes Ingatkan Pentingnya Kebersihan Tangan
A
A
A
JAKARTA - Istilah masa depan ada di tangan kita memang benar karena masa depan kita memang tergantung pada kebersihan tangan kita. Tangan yang kotor akan menyebarkan penyakit, terutama diare dan infeksi saluran pernapasan (ISPA). Karena itulah, Tema Hari Cuci Tangan Sedunia pada 2017 adalah Tangan Kita, Masa Depan Kita.
Pada Sabtu, 21 Oktober 2017, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bermitra dengan Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia) menyelenggarakan peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia. Peringatan ini, dilaksanakan di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Teratai, Taman Honda Tebet, Jakarta Selatan.
Menurut penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO), cuci tangan pakai sabun mampu mengurangi angka diare dan ISPA sampai hampir setengahnya. Namun demikian CTPS baru dilakukan oleh 47 % orang Indonesia (data Riskesdas 2013). Bahkan di kalangan keluarga termiskin yang akses ke air bersihnya sulit, hanya 36,2 % yang melakukan CTPS.
Direktur Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stanting (PKGBM), MCA-Indonesia Iing Mursalin mengatakan CTPS harus dilakukan dengan sabun dan air besih yang mengalir. Terutama ketika sesudah buang air besar (BAB), sesudah membersihkan (BAB) anak, sebelum makan, sebelum memberikan makan anak, dan sebelum memasak.
“Menurut riset formatif MCA-Indonesia pada 2014, hanya sepertiga rumah tangga yang memiliki sabun. Akses terhadap air bersih baru dinikmati oleh 66,8% penduduk Indonesia (Riskesdas 2013). Di samping itu, lebih dari 50 juta orang Indonesia masih buang air besar sembarangan. Semua ini menyebabkan tingginya angka diare,” papar Iing di Taman Honda, Tebet.
Dia mengatakan balita yang sering menderita diare lebih berisiko terkena kekurangan gizi kronis atau stanting. Ini karena ketika anak diare asupan gizi banyak terbuang dan ususnya tidak optimal menyerap gizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang. Belum lagi, anak sakit cenderung turun selera makannya sehingga asupan gizinya pun semakin rendah.
Energi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang teralihkan untuk melawan penyakit. Ini semua berpengaruh terhadap status gizi anak. Semakin sering anak diare, semakin besar ancaman kekurangan gizi kronis pada dirinya. Berdasarkan data Riskedas 2013, sebanyak 9 juta atau 1 dari 3 Balita di Indonesia saat ini mengalami stunting.
Masalah stunting pada anak berimplikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa. Kekurangan gizi kronis atau stunting menghambat perkembangan otaknya, sehingga mempengaruhi kecerdasannya.
Potensinya tidak akan terpenuhi secara maksimal, dan mempengaruhi tingkat produktivtasnya di masa depan. Kelak ketika dewasa mereka lebih berisiko terkena penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes.
Untuk mengatasi stunting, masyarakat perlu akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Sayangnya, baru 32% penduduk Indonesia yang berperilaku hidup sehat (Riskesdas 2013). Akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi terhadap penurunan stunting sebesar 27%.
Pemerintah sudah melaksanakan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan pendekatan perubahan perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat. Program ini bertujuan mengurangi kejadian penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.
Pada Sabtu, 21 Oktober 2017, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bermitra dengan Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia) menyelenggarakan peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia. Peringatan ini, dilaksanakan di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Teratai, Taman Honda Tebet, Jakarta Selatan.
Menurut penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO), cuci tangan pakai sabun mampu mengurangi angka diare dan ISPA sampai hampir setengahnya. Namun demikian CTPS baru dilakukan oleh 47 % orang Indonesia (data Riskesdas 2013). Bahkan di kalangan keluarga termiskin yang akses ke air bersihnya sulit, hanya 36,2 % yang melakukan CTPS.
Direktur Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stanting (PKGBM), MCA-Indonesia Iing Mursalin mengatakan CTPS harus dilakukan dengan sabun dan air besih yang mengalir. Terutama ketika sesudah buang air besar (BAB), sesudah membersihkan (BAB) anak, sebelum makan, sebelum memberikan makan anak, dan sebelum memasak.
“Menurut riset formatif MCA-Indonesia pada 2014, hanya sepertiga rumah tangga yang memiliki sabun. Akses terhadap air bersih baru dinikmati oleh 66,8% penduduk Indonesia (Riskesdas 2013). Di samping itu, lebih dari 50 juta orang Indonesia masih buang air besar sembarangan. Semua ini menyebabkan tingginya angka diare,” papar Iing di Taman Honda, Tebet.
Dia mengatakan balita yang sering menderita diare lebih berisiko terkena kekurangan gizi kronis atau stanting. Ini karena ketika anak diare asupan gizi banyak terbuang dan ususnya tidak optimal menyerap gizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang. Belum lagi, anak sakit cenderung turun selera makannya sehingga asupan gizinya pun semakin rendah.
Energi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang teralihkan untuk melawan penyakit. Ini semua berpengaruh terhadap status gizi anak. Semakin sering anak diare, semakin besar ancaman kekurangan gizi kronis pada dirinya. Berdasarkan data Riskedas 2013, sebanyak 9 juta atau 1 dari 3 Balita di Indonesia saat ini mengalami stunting.
Masalah stunting pada anak berimplikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa. Kekurangan gizi kronis atau stunting menghambat perkembangan otaknya, sehingga mempengaruhi kecerdasannya.
Potensinya tidak akan terpenuhi secara maksimal, dan mempengaruhi tingkat produktivtasnya di masa depan. Kelak ketika dewasa mereka lebih berisiko terkena penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes.
Untuk mengatasi stunting, masyarakat perlu akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Sayangnya, baru 32% penduduk Indonesia yang berperilaku hidup sehat (Riskesdas 2013). Akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi terhadap penurunan stunting sebesar 27%.
Pemerintah sudah melaksanakan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan pendekatan perubahan perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat. Program ini bertujuan mengurangi kejadian penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.
(alv)