Pementasan Perempuan Perempuan Chairil
A
A
A
JAKARTA - Sukses menggelar Bunga Penutup Abad, Titimangsa Foundation dan didukung Bakti Budaya Djarum Foundation kembali mempersembahkan sebuah pentas teater bertajuk Perempuan Perempuan Chairil.
Disutradarai Agus Noor dan produser Happy Salma, Perempuan Perempuan Chairil akan menampilkan aktor terbaik Indonesia Reza Rahadian sebagai Chairil Anwar, Marsha Timothy sebagai Ida Nasution, Chelsea Islan sebagai Sri Ajati, Tara Basro sebagai Sumirat, dan Sita Nursanti sebagai Hapsah Wiriaredja.
Cerita yang mengangkat sosok penyair besar Indonesia Chairil Anwar ini akan diselenggarakan dua hari, yaitu 11- 12 November, pukul 20.00 WIB, bertempat di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sutradara Agus Noor menyebut, lakon dalam Perempuan Perempuan Chairil ini sebagai ‘biografi puitik’, di mana adegan dan percakapan dihidupkan kembali berdasarkan puisi-puisi Chairil.
Sudah pasti percakapan itu tidaklah sebagaimana yang terjadi sesungguhnya karena tidak ada rujukannya antara Chairil dengan tokoh lainnya. Misalnya dengan Mirat, nyaris tak ada referensi yang bisa menjadi acuan, apa yang diperbicangkan, dipertentangkan antara Chairil dan Mirat? Tetapi dari puisi-puisi Chairil yang ditulis untuk Mirat, kita bisa membayangkan pergulatan batin sang penyair, yang kemudian menjadi dasar untuk membuat percakapan dan adegan.
“Dengan pendekatan biografi puitik ini, penulisan lakon menjadi memiliki fleksibilitas tafsir, karena tak terlalu terbebani untuk menginformasikan sebanyak mungkin fakta-fakta seputar Chairil. Fakta-fakta dirujuk untuk mempertegas adegan, percakapan dan konflik. Pergulatan batin dan kegelisahan Chairil (juga tokoh Ida, Sri, Mirat dan Hapsah) menjadi bisa di eksplorasi menjadi sebuah drama. Karena bagaimana pun, ini adalah pertunjukan teater yang mestilah memiliki bangunan dramatika atau dramaturgi yang diharapkan memikat,” terang Agus Noor dalam jumpa pers di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Selasa (31/10).
Di kesempatan yang sama, produser Happy Salma menyebutkan, Chairil Anwar melalui karya-karyanya merupakan cermin sejarah untuk memaknai apa arti kemerdekaan manusia, juga kemerdekaan sebuah bangsa. Setidaknya esensi itulah yang mendorong dirinya mewujudkan mimpi mementaskan perjalanan hidup Chairil Anwar.
“Dibantu oleh Agus Noor, cerpenis dan sutradara teater, saya merasa yakin beliau adalah orang yang tepat untuk menyutradarai sekaligus menyiapkan naskahnya. Setelah setahun kami intens menggodok rencana produksi, bertemulah kami dengan Hasan Aspahani. Dari buku biografi Chairil yang ditulisnya, apa yang telah kami bayangkan tentang pemanggungan Chairil semakin menemukan bentuk dan fokusnya,” kata Happy.
Menurut Happy, riset yang dilakukan Hasan Aspahani dalam proses penulisan bukunya sangat membantu timnya dalam memasuki dunia Chairil Anwar.
“Termasuk biografi Chairil yang berhubungan dengan sejumlah sosok perempuan yang hadir dalam puisinya, menjadi gerbang untuk memasuki dunia Chairil Anwar dengan kegelisahan hidup dan pemikirannya, serta pertaruhan yang dilakukan,” tutur Happy Salma.
Lakon Perempuan Perempuan Chairil mengisahkan tentang cinta dan perempuan bagi Chairil adalah inspirasi, juga tragedi yang membuat hidupnya terhempas, terlepas dan luput. Tersaji dalam empat babak, yang menggambarkan hubungan Chairil dengan empat perempuan, yakni Ida, Sri, Mirat dan Hapsah. Empat perempuan istimewa, mereka menggambarkan sosok perempuan pada jaman itu.
Ida Nasution adalah mahasiswi, penulis yang hebat, pemikir kritis dan bisa menyaingi intelektualisme Chairil ketika mereka berdebat. Sri Ajati, juga seorang mahasiswi, bergerak di tengah pemuda-pemuda hebat pada zamannya. Ikut main teater, jadi model lukisan, gadis ningrat yang tak membeda-bedakan kawan. Sumirat, juga seorang yang terdidik yang lincah. Tahu benar bagaimana menikmati keadaan, mengagumi keluasan pandangan Chairil, menerima dan membalas cinta Chairil dengan sama besarnya tapi akhirnya cinta itu kandas. Lalu akhirnya Chairil disadarkan oleh Hapsah, bahwa dia adalah lelaki biasa.
Perempuan yang memberi anak pada Chairil ini begitu berani mengambil risiko mencintai Chairil, karena tahu lelaki itu akhirnya akan berubah. Meskipun itu terlambat, tapi ia tahu Chairil menyadari bahwa Hapsah benar. Empat perempuan yang tak sama, empat cerita yang berbeda. Tanpa mengecilkan arti dan peran perempuan lain, tapi lewat cerita empat perempuan ini kita bisa mengenal sosok Chairil juga dunia yang hendak ia jadikan, serta zaman yang menghidupi dan dihidupinya.
Tak dapat dibantah, Chairil Anwar merupakan sosok penting dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia modern, sekaligus juga dalam sejarah perjalanan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Lewat puisi-puisinya, Chairil Anwar telah mengambil peran yang tak kecil demi memberi tenaga dan makna pada semangat revolusi dan kemerdekaan negeri ini.
Di saat bangsa dan negeri ini sedang mengawali cita-citanya sebagai bangsa yang merdeka, dalam suasana yang penuh tekanan, Chairil Anwar maju menyuarakan semangat jamannya.
Semangat kebebasan juga keberanian memperjuangkannya, baik sebagai individu atau sebagai bangsa. Dengan semangat itulah sampai hari ini kita masih bisa mendengar deru dan gelora semangatnya di balik puisi-puisinya, seperti sajak Aku, Diponegoro, Perjanjian dengan Bung Karno, Krawang-Bekasi. Begitu pula dengan sejumlah sajaknya yang mengungkapkan harapan dan kecemasan manusia, Derai-derai Cemara, Senja di Pelabuhan Kecil atau Do’a.
Chairil Anwar mati muda, tetapi karya-karyanya melampaui jamannya. Ia seakan tak pernah mati. Semangatnya selalu ada dan terus hidup bersama kita. Disinilah Chairil menjadi penting. Ia menyuarakan situasi kemanusiaan di ruang masa silam yang gemanya masih bisa kita maknai sampai hari ini. Gema yang mengajak kita merenungi apa sebenarnya kebebasan itu, serta bagaimana pertaruhan di dalamnya, juga apa serta bagaimana sesungguhnya penderitaan dan harapan manusia itu, seperti gumamnya ‘Sebelum akhirnya kita menyerah’.
Disutradarai Agus Noor dan produser Happy Salma, Perempuan Perempuan Chairil akan menampilkan aktor terbaik Indonesia Reza Rahadian sebagai Chairil Anwar, Marsha Timothy sebagai Ida Nasution, Chelsea Islan sebagai Sri Ajati, Tara Basro sebagai Sumirat, dan Sita Nursanti sebagai Hapsah Wiriaredja.
Cerita yang mengangkat sosok penyair besar Indonesia Chairil Anwar ini akan diselenggarakan dua hari, yaitu 11- 12 November, pukul 20.00 WIB, bertempat di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sutradara Agus Noor menyebut, lakon dalam Perempuan Perempuan Chairil ini sebagai ‘biografi puitik’, di mana adegan dan percakapan dihidupkan kembali berdasarkan puisi-puisi Chairil.
Sudah pasti percakapan itu tidaklah sebagaimana yang terjadi sesungguhnya karena tidak ada rujukannya antara Chairil dengan tokoh lainnya. Misalnya dengan Mirat, nyaris tak ada referensi yang bisa menjadi acuan, apa yang diperbicangkan, dipertentangkan antara Chairil dan Mirat? Tetapi dari puisi-puisi Chairil yang ditulis untuk Mirat, kita bisa membayangkan pergulatan batin sang penyair, yang kemudian menjadi dasar untuk membuat percakapan dan adegan.
“Dengan pendekatan biografi puitik ini, penulisan lakon menjadi memiliki fleksibilitas tafsir, karena tak terlalu terbebani untuk menginformasikan sebanyak mungkin fakta-fakta seputar Chairil. Fakta-fakta dirujuk untuk mempertegas adegan, percakapan dan konflik. Pergulatan batin dan kegelisahan Chairil (juga tokoh Ida, Sri, Mirat dan Hapsah) menjadi bisa di eksplorasi menjadi sebuah drama. Karena bagaimana pun, ini adalah pertunjukan teater yang mestilah memiliki bangunan dramatika atau dramaturgi yang diharapkan memikat,” terang Agus Noor dalam jumpa pers di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Selasa (31/10).
Di kesempatan yang sama, produser Happy Salma menyebutkan, Chairil Anwar melalui karya-karyanya merupakan cermin sejarah untuk memaknai apa arti kemerdekaan manusia, juga kemerdekaan sebuah bangsa. Setidaknya esensi itulah yang mendorong dirinya mewujudkan mimpi mementaskan perjalanan hidup Chairil Anwar.
“Dibantu oleh Agus Noor, cerpenis dan sutradara teater, saya merasa yakin beliau adalah orang yang tepat untuk menyutradarai sekaligus menyiapkan naskahnya. Setelah setahun kami intens menggodok rencana produksi, bertemulah kami dengan Hasan Aspahani. Dari buku biografi Chairil yang ditulisnya, apa yang telah kami bayangkan tentang pemanggungan Chairil semakin menemukan bentuk dan fokusnya,” kata Happy.
Menurut Happy, riset yang dilakukan Hasan Aspahani dalam proses penulisan bukunya sangat membantu timnya dalam memasuki dunia Chairil Anwar.
“Termasuk biografi Chairil yang berhubungan dengan sejumlah sosok perempuan yang hadir dalam puisinya, menjadi gerbang untuk memasuki dunia Chairil Anwar dengan kegelisahan hidup dan pemikirannya, serta pertaruhan yang dilakukan,” tutur Happy Salma.
Lakon Perempuan Perempuan Chairil mengisahkan tentang cinta dan perempuan bagi Chairil adalah inspirasi, juga tragedi yang membuat hidupnya terhempas, terlepas dan luput. Tersaji dalam empat babak, yang menggambarkan hubungan Chairil dengan empat perempuan, yakni Ida, Sri, Mirat dan Hapsah. Empat perempuan istimewa, mereka menggambarkan sosok perempuan pada jaman itu.
Ida Nasution adalah mahasiswi, penulis yang hebat, pemikir kritis dan bisa menyaingi intelektualisme Chairil ketika mereka berdebat. Sri Ajati, juga seorang mahasiswi, bergerak di tengah pemuda-pemuda hebat pada zamannya. Ikut main teater, jadi model lukisan, gadis ningrat yang tak membeda-bedakan kawan. Sumirat, juga seorang yang terdidik yang lincah. Tahu benar bagaimana menikmati keadaan, mengagumi keluasan pandangan Chairil, menerima dan membalas cinta Chairil dengan sama besarnya tapi akhirnya cinta itu kandas. Lalu akhirnya Chairil disadarkan oleh Hapsah, bahwa dia adalah lelaki biasa.
Perempuan yang memberi anak pada Chairil ini begitu berani mengambil risiko mencintai Chairil, karena tahu lelaki itu akhirnya akan berubah. Meskipun itu terlambat, tapi ia tahu Chairil menyadari bahwa Hapsah benar. Empat perempuan yang tak sama, empat cerita yang berbeda. Tanpa mengecilkan arti dan peran perempuan lain, tapi lewat cerita empat perempuan ini kita bisa mengenal sosok Chairil juga dunia yang hendak ia jadikan, serta zaman yang menghidupi dan dihidupinya.
Tak dapat dibantah, Chairil Anwar merupakan sosok penting dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia modern, sekaligus juga dalam sejarah perjalanan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Lewat puisi-puisinya, Chairil Anwar telah mengambil peran yang tak kecil demi memberi tenaga dan makna pada semangat revolusi dan kemerdekaan negeri ini.
Di saat bangsa dan negeri ini sedang mengawali cita-citanya sebagai bangsa yang merdeka, dalam suasana yang penuh tekanan, Chairil Anwar maju menyuarakan semangat jamannya.
Semangat kebebasan juga keberanian memperjuangkannya, baik sebagai individu atau sebagai bangsa. Dengan semangat itulah sampai hari ini kita masih bisa mendengar deru dan gelora semangatnya di balik puisi-puisinya, seperti sajak Aku, Diponegoro, Perjanjian dengan Bung Karno, Krawang-Bekasi. Begitu pula dengan sejumlah sajaknya yang mengungkapkan harapan dan kecemasan manusia, Derai-derai Cemara, Senja di Pelabuhan Kecil atau Do’a.
Chairil Anwar mati muda, tetapi karya-karyanya melampaui jamannya. Ia seakan tak pernah mati. Semangatnya selalu ada dan terus hidup bersama kita. Disinilah Chairil menjadi penting. Ia menyuarakan situasi kemanusiaan di ruang masa silam yang gemanya masih bisa kita maknai sampai hari ini. Gema yang mengajak kita merenungi apa sebenarnya kebebasan itu, serta bagaimana pertaruhan di dalamnya, juga apa serta bagaimana sesungguhnya penderitaan dan harapan manusia itu, seperti gumamnya ‘Sebelum akhirnya kita menyerah’.
(tdy)