Penting! Skrining Lengkap, Jangan Sembarangan Donor ASI

Senin, 06 November 2017 - 12:45 WIB
Penting! Skrining Lengkap,...
Penting! Skrining Lengkap, Jangan Sembarangan Donor ASI
A A A
JAKARTA - Donor ASI di Indonesia sudah berjalan ke arah yang tidak terkendali. Era media sosial membuat komunikasi antara pendonor dan penerima ASI semakin mudah. Sering pencarian donor ASI beredar di grup-grup pesan instan atau media pertemanan sosial.

Seperti Diana Yunita Sari, ibu yang baru melahirkan sekitar enam bulan lalu merasakan bagaimana dia mudah sekali mendapatkan donor ASI. Diana melahirkan prematur di usia kehamilan 34 minggu dan harus langsung masuk ICU karena kondisi kesehatannya menurun.

Begitu dia mengunggah di media sosial, tidak lama datang tawaran ASI donor. Dokter perinatologi yang merawat bayi Diana sempat memberikan ASI donor, tetapi muncul reaksi bayi yang tidak diharapkan. “Akhirnya ASI donor tidak jadi diberikan,” ucap Diana.

Donor ASI memiliki keuntungan dan kerugian. Sebagai alternatif makanan bayi, ASI donor memang terbaik karena paling bisa ditoleransi. Tetapi, ada pula kerugiannya.

“Meskipun ASI itu adalah susu, ia sebenarnya adalah produk darah yang dapat mentransfer berbagai penyakit. Kasus yang paling sering ditemui adalah penularan virus CMV, hepatitis B dan C, dan HTLV (virus pemicu leukemia dan limfoma),” ungkap Ketua Satgas ASI IDAI dr Elizabeth Yohmi SpA IBCLC dalam acara Media Aturan Main Donor ASI.

Karena itu, tidak sembarangan mendonor ASI. Bahkan, Badan Pencegahan dan Penularan Penyakit Amerika Serikat (CDC) tidak merekomendasikan ASI donor tanpa didahului skrining. Skrining atau penapisan tidak hanya dilakukan pada ASI, tetapi pada ibu yang memproduksi ASI.

Jadi, sebelum mendonorkan ASI, ada serangkaian skrining yang harus dilakukan. Skrining ini dapat berupa pemeriksaan secara lisan (wawancara) atau tertulis, dilanjutkan skrining laboratorium.

Pertanyaan meliputi apakah ibu menerima transfusi dalam 12 bulan terakhir, apakah minum alkohol, sedang minum obat hormonal, dan apakah seorang vegetarian yang akan berdampak pada kualitas ASI. Pemeriksaan laboratorium untuk skrining hepatitis dan HIV sudah dapat dilakukan di sini dengan mudah. Sayangnya, pemeriksaan HTLV belum ada di Indonesia.

Selesai sampai di sini? Belum. Jika pun hasil skrining ibu terbukti sehat, dia masih belum layak menjadi donor. ASI donor harus diperas dan disimpan dengan cara yang benar, bahkan dipasturisasi.

“Jadi, tidak semudah itu memberikan donor ASI. Belum lagi bicara penyimpanan dan idealnya pengiriman harus diperlakukan seperti darah, yaitu disimpan dalam kotak pendingin khusus dan petugas pengelolanya menggunakan alat pelindung diri,” tutur dr Yohmi. Sayangnya, hal ini tidak banyak diketahui masyarakat, bahkan tenaga medis.

Seperti pengalaman Pradaningrum Mijarto, konsultan heritage. Kebetulan adiknya yang baru melahirkan meninggal dunia sehingga dia bertanggung jawab mengurus keponakannya yang kini sudah 3,5 tahun.

Perawat menganjurkan mencari donor ASI. Tanpa bekal informasi yang cukup, dia pasrah saja menerima ASI donor. Dani kebetulan beragama nasrani dan bayinya laki-laki. Tetapi, dia menerima donor ASI dari ibu yang muslim dan bayinya perempuan.

“Saya tidak tahu bahwa seharusnya donor ASI diberikan jika jenis kelamin anak sama. Tetapi, si ibu itu bilang tidak apa-apa dan justru dialah yang menjadi donor utama sampai 9 bulan,” kata Dani. Dr Yohmi mengatakan, pembentukan bank ASI di Indonesia masih terhambat persolan peraturan (terutama muslim), dana (untuk skrining), dan fasilitas penyimpanan ASI.

Edukasi paling penting adalah mengajak ibu hamil mempersiapkan proses pemberian ASI sejak dini, antara lain dengan mengikuti kelas laktasi minimal dua kali selama kehamilan.

“Ibu-ibu saat ini sudah sangat sadar untuk memberikan ASI kepada bayinya. Sayangnya, dengan mudahnya mendapatkan tawaran donor ASI, mereka jadi tidak mau berusaha memeras atau menyusui sendiri,” pungkas dr Yohmi. (Sri Noviarni)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4962 seconds (0.1#10.140)