Gurihnya Laksa Tangerang, Makanan Khas Rakyat di Zaman Kejepit
A
A
A
TANGERANG - Laksa Tangerang memang gurih. Tapi siapa sangka makanan khas rakyat di zaman kejepit alias sulit itu masih banyak belum dikenal orang.
Padahal, riwayat laksa Tangerang cukup panjang dan getir. Bewok, pedagang laksa Kawasan Kuliner Laksa Tangerang, mengatakan, sejarah laksa Tangerang dimulai saat zaman sulit. Saat itu masa panen, tapi tidak ada makanan dan banyak orang kelaparan.
Akhirnya, beras yang ada digiling menjadi tepung, lalu diolah menjadi laksa. Dengan sajian ala kadarnya, laksa yang sudah jadi dibagikan kepada seluruh warga Babakan yang sedang menderita kelaparan. Bahaya mati kelaparan pun akhirnya bisa terhindarkan.
Sejak itu warga Babakan tetap membuat laksa sebagai makanan, bahkan hingga saat ini. Kata laksa sendiri, menurut Bewok, diambil dari kata China. “Saya sendiri termasuk generasi kedua dari keluarga saya yang menjual laksa Tangerang,” kata Bewok, saat berbincang dengan KORAN SINDO, di Kawasan Kuliner Laksa Tangerang, Banten, Senin (6/11/2017).
Sejak peristiwa historis itu, mulai muncul pedagang laksa keliling di Kota Tangerang. Mertua Bewok termasuk generasi awal dari para pedagang laksa Babakan yang berdagang keliling Kota Tangerang. “Dagang laksa ini sudah dilakukan secara turun menurun, sampai sekarang sudah dua generasi.
Pertama, tahun 1986. Kedua, tahun 1992 sampai sekarang. Pertama laksa ini dijual keliling kampung,” ungkapnya. Selain keliling, mertua pria yang bernama asli Madsuro alias Ridho ini juga biasa berjualan mangkal di depan Lapas Wanita Tangerang.
Aktivitas berdagang ala kaki lima itu lalu diteruskan Bewok tahun 1992. Baru pada tahun 2010, atas prakarsa Pemerintah Kota Tangerang, akhirnya para pedagang laksa yang tersebar dan mangkal di sejumlah wilayah dilokalisasi di satu Kawasan Kuliner Laksa Tangerang, tepatnya berada di Jalan Muhammad Yamin, Babakan, Kecamatan Tangerang.
Tempat ini sengaja dipilih karena menjadi awal sejarah laksa Tangerang yang khas dan sangat strategis dari segi aksesnya. Kepala Bidang Pariwisata Kota Tangerang Rizal Ridallah mengatakan, Kawasan Kuliner Laksa Tangerang menampung 14 pedagang laksa di Kota Tangerang, dari yang sebelumnya terpencar menjadi satu.
“Melalui Kawasan Kuliner Laksa itu, kami ingin mengenalkan dan mempromosikan makanan khas Kota Tangerang kepada masyarakat luas. Bukan hanya di luar Kota Tangerang, tapi di luar negeri,” katanya.
Hingga kini pengunjung kawasan wisata kuliner itu sudah mencapai ribuan orang per hari dan mencapai ribuan lebih pengunjung saat hari libur Sabtu- Minggu dan hari-hari besar nasional lainnya.
“Kepada para pengunjung, kami juga telah menyiapkan sarana wifi gratis, dan area parkir motor serta mobil yang cukup luas sehingga tidak perlu takut berkunjung ke kawasan wisata kuliner ini,” ungkapnya. Di tempat seluas 5.000 meter persegi ini, para pedagang laksa berjualan 24 jam nonstop.
Makanan yang disajikan juga selalu mengutamakan kesegaran, kebersihan, dan keamanan pengunjung. “Untuk kebersihan dan keamanan laksa, kami juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan yang selalu mengawasi sajian laksanya. Jadi, bisa dipastikan aman untuk dikonsumsi keluarga,” sebutnya.
Sementara itu, Abdul Kholik, 28, salah seorang pedagang laksa mengatakan, laksa yang dijual dan bahan-bahan yang digunakannya dalam membuat laksa tidak ada yang menggunakan pengawet. “Laksanya kami buat sendiri dari beras yang digiling menjadi tepung alus, lalu dibuat adonan pakai air panas, dan dicetak lalu dikukus serta dicetak lagi.
Daya tahan laksa ini hanya 24 jam,” ungkap Kholik. Proses pembuatannya laksa memakan waktu enam jam. Dalam sehari, mulai Senin-Jumat, Kholik bisa membuat atau menghabiskan satu bakul laksa (satu bakul 12 liter beras, bisa untuk 200 porsi).
“Kalau Sabtu, bisa dua bakul dan Minggu tiga bakul. Libur nasional, bisa dua bakul laksa. Itu dibuat sendiri. Prosesnya hampir enam jam. Lima liter beras bisa untuk memenuhi laksa 50 porsi,” ucapnya.
Untuk bumbu, bahan yang digunakan juga alami, mulai dari kunyit, jahe, lengkuas, sereh, bawang putih, bawang merah, kemiri, penyedap, garam, dan cabai, semua digiling jadi satu. “Itu untuk penyajian kuahnya. Kuah laksa ini sama juga, hanya tahan 24 jam.
Tidak lebih. Kami di sini punya tiga rasa, pakai ayam, ati ampela, dan telur. Ayam dan ati ampelanya dari ayam kampung,” paparnya. Dalam sehari, Senin-Jumat, Kholik bisa memotong 25 ekor ayam kampung hidup, Sabtu 30 ekor, dan Minggu 50 ekor ayam.
Pemasok ayam kampungnya sendiri sudah langganan selama puluhan tahun. “Kalau ayam, pakai ayam kampung yang dibakar, kemudian ditumis, diungkep dengan kuah hingga meresap. Begitu pun dengan telur ayam, kami pakai telur ayam negeri dan ati ampela,” tuturnya.
Harga yang ditawarkan pun cukup murah dan terjangkau kantong. Satu porsi laksa pakai ayam dibanderol Rp22.000, pakai telur Rp13.000, pakai ati ampela Rp15.000, dan laksa polos tanpa apa-apa Rp10.000. “Kami juga menerima jasa panggilan untuk acaraacara tertentu,” sebut asisten Bewok ini,” sebut Kholik. (Hasan Kurniawan)
Padahal, riwayat laksa Tangerang cukup panjang dan getir. Bewok, pedagang laksa Kawasan Kuliner Laksa Tangerang, mengatakan, sejarah laksa Tangerang dimulai saat zaman sulit. Saat itu masa panen, tapi tidak ada makanan dan banyak orang kelaparan.
Akhirnya, beras yang ada digiling menjadi tepung, lalu diolah menjadi laksa. Dengan sajian ala kadarnya, laksa yang sudah jadi dibagikan kepada seluruh warga Babakan yang sedang menderita kelaparan. Bahaya mati kelaparan pun akhirnya bisa terhindarkan.
Sejak itu warga Babakan tetap membuat laksa sebagai makanan, bahkan hingga saat ini. Kata laksa sendiri, menurut Bewok, diambil dari kata China. “Saya sendiri termasuk generasi kedua dari keluarga saya yang menjual laksa Tangerang,” kata Bewok, saat berbincang dengan KORAN SINDO, di Kawasan Kuliner Laksa Tangerang, Banten, Senin (6/11/2017).
Sejak peristiwa historis itu, mulai muncul pedagang laksa keliling di Kota Tangerang. Mertua Bewok termasuk generasi awal dari para pedagang laksa Babakan yang berdagang keliling Kota Tangerang. “Dagang laksa ini sudah dilakukan secara turun menurun, sampai sekarang sudah dua generasi.
Pertama, tahun 1986. Kedua, tahun 1992 sampai sekarang. Pertama laksa ini dijual keliling kampung,” ungkapnya. Selain keliling, mertua pria yang bernama asli Madsuro alias Ridho ini juga biasa berjualan mangkal di depan Lapas Wanita Tangerang.
Aktivitas berdagang ala kaki lima itu lalu diteruskan Bewok tahun 1992. Baru pada tahun 2010, atas prakarsa Pemerintah Kota Tangerang, akhirnya para pedagang laksa yang tersebar dan mangkal di sejumlah wilayah dilokalisasi di satu Kawasan Kuliner Laksa Tangerang, tepatnya berada di Jalan Muhammad Yamin, Babakan, Kecamatan Tangerang.
Tempat ini sengaja dipilih karena menjadi awal sejarah laksa Tangerang yang khas dan sangat strategis dari segi aksesnya. Kepala Bidang Pariwisata Kota Tangerang Rizal Ridallah mengatakan, Kawasan Kuliner Laksa Tangerang menampung 14 pedagang laksa di Kota Tangerang, dari yang sebelumnya terpencar menjadi satu.
“Melalui Kawasan Kuliner Laksa itu, kami ingin mengenalkan dan mempromosikan makanan khas Kota Tangerang kepada masyarakat luas. Bukan hanya di luar Kota Tangerang, tapi di luar negeri,” katanya.
Hingga kini pengunjung kawasan wisata kuliner itu sudah mencapai ribuan orang per hari dan mencapai ribuan lebih pengunjung saat hari libur Sabtu- Minggu dan hari-hari besar nasional lainnya.
“Kepada para pengunjung, kami juga telah menyiapkan sarana wifi gratis, dan area parkir motor serta mobil yang cukup luas sehingga tidak perlu takut berkunjung ke kawasan wisata kuliner ini,” ungkapnya. Di tempat seluas 5.000 meter persegi ini, para pedagang laksa berjualan 24 jam nonstop.
Makanan yang disajikan juga selalu mengutamakan kesegaran, kebersihan, dan keamanan pengunjung. “Untuk kebersihan dan keamanan laksa, kami juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan yang selalu mengawasi sajian laksanya. Jadi, bisa dipastikan aman untuk dikonsumsi keluarga,” sebutnya.
Sementara itu, Abdul Kholik, 28, salah seorang pedagang laksa mengatakan, laksa yang dijual dan bahan-bahan yang digunakannya dalam membuat laksa tidak ada yang menggunakan pengawet. “Laksanya kami buat sendiri dari beras yang digiling menjadi tepung alus, lalu dibuat adonan pakai air panas, dan dicetak lalu dikukus serta dicetak lagi.
Daya tahan laksa ini hanya 24 jam,” ungkap Kholik. Proses pembuatannya laksa memakan waktu enam jam. Dalam sehari, mulai Senin-Jumat, Kholik bisa membuat atau menghabiskan satu bakul laksa (satu bakul 12 liter beras, bisa untuk 200 porsi).
“Kalau Sabtu, bisa dua bakul dan Minggu tiga bakul. Libur nasional, bisa dua bakul laksa. Itu dibuat sendiri. Prosesnya hampir enam jam. Lima liter beras bisa untuk memenuhi laksa 50 porsi,” ucapnya.
Untuk bumbu, bahan yang digunakan juga alami, mulai dari kunyit, jahe, lengkuas, sereh, bawang putih, bawang merah, kemiri, penyedap, garam, dan cabai, semua digiling jadi satu. “Itu untuk penyajian kuahnya. Kuah laksa ini sama juga, hanya tahan 24 jam.
Tidak lebih. Kami di sini punya tiga rasa, pakai ayam, ati ampela, dan telur. Ayam dan ati ampelanya dari ayam kampung,” paparnya. Dalam sehari, Senin-Jumat, Kholik bisa memotong 25 ekor ayam kampung hidup, Sabtu 30 ekor, dan Minggu 50 ekor ayam.
Pemasok ayam kampungnya sendiri sudah langganan selama puluhan tahun. “Kalau ayam, pakai ayam kampung yang dibakar, kemudian ditumis, diungkep dengan kuah hingga meresap. Begitu pun dengan telur ayam, kami pakai telur ayam negeri dan ati ampela,” tuturnya.
Harga yang ditawarkan pun cukup murah dan terjangkau kantong. Satu porsi laksa pakai ayam dibanderol Rp22.000, pakai telur Rp13.000, pakai ati ampela Rp15.000, dan laksa polos tanpa apa-apa Rp10.000. “Kami juga menerima jasa panggilan untuk acaraacara tertentu,” sebut asisten Bewok ini,” sebut Kholik. (Hasan Kurniawan)
(nfl)