Menunda Usia Pernikahan Bisa Menekan Angka Stunting pada Anak
A
A
A
JAKARTA - Menunda usia perkawinan bisa menjadi langkah tercepat untuk menekan angka stunting. Jika angka usia pernikahan dimundurkan dari 16 tahun menjadi 20 tahun, maka banyak hal baik yang berpengaruh positif pada angka stunting.
“Bisa dibayangkan, dengan menunda usia perkawinan menjadi 20 tahun saja, bisa mengurangi stunting sekitar sepertiga,” kata pakar gizi Prof Fasli Jalal di acara Focus Grup Discussion (FGD) Jurnalis tentang Global Nutrition Report 2017 di kantor IMA World Health di Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Menurut Fasli, langkah terbaik untuk mendorong penundaan usia perkawinan adalah mengingatkan posisitioning bahwa penting menyiapkan generasi yang lebih baik, sehat dan berkualitas. “Saya kira kalau ini dipahami, maka banyak pihak yang akan setuju untuk menunda usia perkawinan menjadi paling cepat 20 tahun,” kata Fasli.
Fasli mengatakan, menunda usia perkawinan artinya memberikan kesempatan yang lebih baik pada calon ibu untuk menyiapkan dirinya secara fisik dan psikologi. Misalnya, dengan penyiapan pemberian tablet tambah daerah bagi anak perempuan remaja.
Selain itu, juga mengingatkan tentang pentingnya penyuluhan kesehatan pada anak remaja dan orangtua. Penyuluhan diberikan dengan materi gizi seimbang dan perilaku hidup sehat.
Fasli mengatakan, untuk menangani stunting diperlukan kontribusi gizi yang harus dilakukan dengan serius. Kontribusi gizi terdiri dari dua factor. Yakni, intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung.
Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. Kegiatannya antara lain imunisasi, pemberian makanan tambahan ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu. Sasarannya secara khusus kelompok 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) baik pada ibu Hamil, ibu Menyusui, dan anak 0—23 bulan.
Intervensi gizi sensitif adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung. Berbagai kegiatan pembangunan pada umumnya non-kesehatan, yang secara tidak langsung dapat menunjung kesehatan masyarakat. Kegiatannya antara lain penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan kesetaraan gender.
“Sayangnya, selama ini kita salah memahami. Kita bersusah payah di intervensi gizi spesifik, padahal ini hanya berkontribuksi gizi sebesar 30%. Sedangkan yang 70%, intervensi gizi sensitif sepertinya kita lupa,” kata Fasli.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengartikan stunting sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi tersebut, terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir tapi stunting baru tampak setelah anak berusia 2 tahun. Saat ini, ada 9 juta anak, atau lebih dari sepertiga balita Indonesia mengalami stunting.
TNP2K yang bekerja di bawah pimpinan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini mengungkapkan sejumlah alasan mengapa stunting sangat penting untuk ditangani. TNP2K menyadari, stunting dapat berdampak pada tingkat kecerdasan anak. Anak stunting rentan terhadap penyakit. Produktifitas anak stunting menurun, dan kemudian bisa berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Berangkat dari kesadaran kondisi anak bangsa yang memprihatinkan inilah, TNP2K sudah menetapkan 100 kabupaten prioritas percepatan penanganan stunting yang akan dilakukan mulai tahun 2018.
Targetnya, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2015-2019, prevalensi stunting pada 2019 menjadi 28%. “Semoga saja, apa yang direncanakan untuk dilakukan pada tahun depan, dapat dilakukan. Mengingat angka stunting Indonesia sepertinya tidak turun-turun,” kata Fasli.
“Bisa dibayangkan, dengan menunda usia perkawinan menjadi 20 tahun saja, bisa mengurangi stunting sekitar sepertiga,” kata pakar gizi Prof Fasli Jalal di acara Focus Grup Discussion (FGD) Jurnalis tentang Global Nutrition Report 2017 di kantor IMA World Health di Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Menurut Fasli, langkah terbaik untuk mendorong penundaan usia perkawinan adalah mengingatkan posisitioning bahwa penting menyiapkan generasi yang lebih baik, sehat dan berkualitas. “Saya kira kalau ini dipahami, maka banyak pihak yang akan setuju untuk menunda usia perkawinan menjadi paling cepat 20 tahun,” kata Fasli.
Fasli mengatakan, menunda usia perkawinan artinya memberikan kesempatan yang lebih baik pada calon ibu untuk menyiapkan dirinya secara fisik dan psikologi. Misalnya, dengan penyiapan pemberian tablet tambah daerah bagi anak perempuan remaja.
Selain itu, juga mengingatkan tentang pentingnya penyuluhan kesehatan pada anak remaja dan orangtua. Penyuluhan diberikan dengan materi gizi seimbang dan perilaku hidup sehat.
Fasli mengatakan, untuk menangani stunting diperlukan kontribusi gizi yang harus dilakukan dengan serius. Kontribusi gizi terdiri dari dua factor. Yakni, intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung.
Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. Kegiatannya antara lain imunisasi, pemberian makanan tambahan ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu. Sasarannya secara khusus kelompok 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) baik pada ibu Hamil, ibu Menyusui, dan anak 0—23 bulan.
Intervensi gizi sensitif adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung. Berbagai kegiatan pembangunan pada umumnya non-kesehatan, yang secara tidak langsung dapat menunjung kesehatan masyarakat. Kegiatannya antara lain penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan kesetaraan gender.
“Sayangnya, selama ini kita salah memahami. Kita bersusah payah di intervensi gizi spesifik, padahal ini hanya berkontribuksi gizi sebesar 30%. Sedangkan yang 70%, intervensi gizi sensitif sepertinya kita lupa,” kata Fasli.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengartikan stunting sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi tersebut, terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir tapi stunting baru tampak setelah anak berusia 2 tahun. Saat ini, ada 9 juta anak, atau lebih dari sepertiga balita Indonesia mengalami stunting.
TNP2K yang bekerja di bawah pimpinan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini mengungkapkan sejumlah alasan mengapa stunting sangat penting untuk ditangani. TNP2K menyadari, stunting dapat berdampak pada tingkat kecerdasan anak. Anak stunting rentan terhadap penyakit. Produktifitas anak stunting menurun, dan kemudian bisa berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Berangkat dari kesadaran kondisi anak bangsa yang memprihatinkan inilah, TNP2K sudah menetapkan 100 kabupaten prioritas percepatan penanganan stunting yang akan dilakukan mulai tahun 2018.
Targetnya, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2015-2019, prevalensi stunting pada 2019 menjadi 28%. “Semoga saja, apa yang direncanakan untuk dilakukan pada tahun depan, dapat dilakukan. Mengingat angka stunting Indonesia sepertinya tidak turun-turun,” kata Fasli.
(alv)