Cegah Difteri dengan Pemberian Vaksin
A
A
A
JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan bahwa difteri terjadi di 142 kota/kabupaten dengan 600 kasus dan 38 di antaranya meninggal dunia. Vaksin asi mutlak dilakukan untuk mencegah semakin banyaknya korban.
Difteri sempat menjadi epidemik di seluruh dunia saat abad ke-6. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukan vaksin, difteri mulai menghilang. Kini difteri kembali merajalela dan menjadi kejadian luar biasa (KLB).
“Masyarakat sudah lengah karena menyangka penyakit ini sudah tidak ada. Kalau kita tidak waspada, terjadilah kasus difteri seperti sekarang,” papar Dr dr Hindra Irawan Satari SpA(K).
Bahan vaksin difteri dibuat dari toksoid bakteri tersebut, yang akan memicu tubuh membentuk kekebalan terhadapnya. Infeksi difteri disebabkan bakteri Corynebacterium diphteriae .
Pada penderita difteri, dalam 2-3 hari akan terbentuk pseudo-membran putih di tenggorokan dan tonsil (amandel). “Lendir bisa menutup saluran napas sehingga napas sesak. Bila lendir terus turun ke saluran napas bawah, akan menimbulkan sakit berat, bahkan kematian,” tutur dokter yang akrab disapa dr Hinky ini.
Komplikasi terjadi akibat toksin yang dihasilkan bakteri difteri. Selama kuman masih ada, toksin akan terus dihasilkan, akhirnya menyerang jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung. Risiko kematian sebesar 5%- 10%.
Vaksin difteri sudah digunakan di Amerika Serikat sejak 1890. “Jadi, vaksin bukan barang baru. Lalu, kenapa sekarang jadi takut divaksin?” tandasnya.
Untuk menetralisasi racun yang sudah beredar, diberikan antitoksin. Namun, bila toksin sudah menempel di jantung, hanya bisa menunggu tubuh menetralisasi. Kalau tubuh gagal melakukannya, detak jantung bisa terganggu dan kematian bisa terjadi. Cakupan vaksin DPT secara nasional memang tinggi.
Namun, bila dilihat per kabupaten, kecamatan, dan kelurahan, masih terdapat kantong-kantong yang cakupannya sangat rendah. Inilah yang menyebabkan kasus difteri kembali merebak, bahkan meledak.
Difteri sudah mulai muncul sejak sembilan tahun lalu di Jawa timur. Penyakit ini tidak datang tibatiba, tetapi sudah ada lampu kuning sejak lama. Dr Hinky menegaskan, difteri tidak cukup dengan imunisasi dasar. “Kekebalan ada masanya sehingga harus diulang,” ujar dia. Setelah tiga dosis imunisasi dasar saat bayi, perlu dilakukan booster pada usia 18-24 bulan, 5 tahun, dan 10 tahun. “Setelah itu, idealnya divaksin lagi setiap tahun,” ucapnya.
Untuk dewasa, bisa mendapat vaksin Td (tetanus-difteri) di sektor swasta. Vaksin juga bisa diberikan kepada ibu hamil. Yang pasti, kampanye soal vaksin harus diulang terus. “Kita harus terus konsisten. Jangan malas dan bosan, karena itulah yang ditunggu kelompok antivaksin,” ujar dr Hinky. (Sri Noviarni)
Difteri sempat menjadi epidemik di seluruh dunia saat abad ke-6. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukan vaksin, difteri mulai menghilang. Kini difteri kembali merajalela dan menjadi kejadian luar biasa (KLB).
“Masyarakat sudah lengah karena menyangka penyakit ini sudah tidak ada. Kalau kita tidak waspada, terjadilah kasus difteri seperti sekarang,” papar Dr dr Hindra Irawan Satari SpA(K).
Bahan vaksin difteri dibuat dari toksoid bakteri tersebut, yang akan memicu tubuh membentuk kekebalan terhadapnya. Infeksi difteri disebabkan bakteri Corynebacterium diphteriae .
Pada penderita difteri, dalam 2-3 hari akan terbentuk pseudo-membran putih di tenggorokan dan tonsil (amandel). “Lendir bisa menutup saluran napas sehingga napas sesak. Bila lendir terus turun ke saluran napas bawah, akan menimbulkan sakit berat, bahkan kematian,” tutur dokter yang akrab disapa dr Hinky ini.
Komplikasi terjadi akibat toksin yang dihasilkan bakteri difteri. Selama kuman masih ada, toksin akan terus dihasilkan, akhirnya menyerang jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung. Risiko kematian sebesar 5%- 10%.
Vaksin difteri sudah digunakan di Amerika Serikat sejak 1890. “Jadi, vaksin bukan barang baru. Lalu, kenapa sekarang jadi takut divaksin?” tandasnya.
Untuk menetralisasi racun yang sudah beredar, diberikan antitoksin. Namun, bila toksin sudah menempel di jantung, hanya bisa menunggu tubuh menetralisasi. Kalau tubuh gagal melakukannya, detak jantung bisa terganggu dan kematian bisa terjadi. Cakupan vaksin DPT secara nasional memang tinggi.
Namun, bila dilihat per kabupaten, kecamatan, dan kelurahan, masih terdapat kantong-kantong yang cakupannya sangat rendah. Inilah yang menyebabkan kasus difteri kembali merebak, bahkan meledak.
Difteri sudah mulai muncul sejak sembilan tahun lalu di Jawa timur. Penyakit ini tidak datang tibatiba, tetapi sudah ada lampu kuning sejak lama. Dr Hinky menegaskan, difteri tidak cukup dengan imunisasi dasar. “Kekebalan ada masanya sehingga harus diulang,” ujar dia. Setelah tiga dosis imunisasi dasar saat bayi, perlu dilakukan booster pada usia 18-24 bulan, 5 tahun, dan 10 tahun. “Setelah itu, idealnya divaksin lagi setiap tahun,” ucapnya.
Untuk dewasa, bisa mendapat vaksin Td (tetanus-difteri) di sektor swasta. Vaksin juga bisa diberikan kepada ibu hamil. Yang pasti, kampanye soal vaksin harus diulang terus. “Kita harus terus konsisten. Jangan malas dan bosan, karena itulah yang ditunggu kelompok antivaksin,” ujar dr Hinky. (Sri Noviarni)
(nfl)