Lolos dari Stigma Mooi Indie

Minggu, 07 Januari 2018 - 09:57 WIB
Lolos dari Stigma Mooi Indie
Lolos dari Stigma Mooi Indie
A A A
JAKARTA - Renungan tentang alam menyuruk lebih dalam dan melampaui keindahan yang hanya membangkitkan rasa senang. Tidak bisa dipastikan kapan dan bagaimana renungan yang diwarnai pemikiran ini berkembang.

Namun tanda-tanda itu bisa ditemukan pada lukisan-lukisan Bunawijaya, seorang pelukis tangguh serta pencinta alam, olahragawan, pebalet, dan pengusaha sukses sekaligus. Dua puluh tahun silam, Bunawijaya seorang anggota masyarakat biasa yang masuk dunia seni rupa dengan maksud menjadi pelukis.

Bunawijaya tidak pernah menjalani pendidikan formal di bidang seni rupa. Ia tidak bergaul dengan para seniman dan bukan pula kolektor yang biasanya dekat dengan para seniman. Mindset Bunawijaya dalam memahami seni dan karya seni juga tidak sama dengan mindset para seniman pada umumnya di dunia seni rupa.

Bunawijaya tidak mengenal berbagai wacana seni rupa yang memang tidak pernah meluas ke masyarakat (menunjukkan kesenjangan dunia seni rupa dan masyarakat). Dalam hal ini kedudukan Bunawijaya sebagai anggota masyarakat yang dikenal sebagai artworld public tidak bisa diabaikan.

”Karena itu apapun pandangan Bunawijaya tentang seni dan karya seni selayaknya di perhitungkan.

Apalagi ia bukan (bagian dari) publik yang pasif, yang mengambil posisi sebagai penonton. Ia anggota masyarakat yang melukis dan pada 20 tahun terakhir bekerja sebagai seniman,” demikian ulasan Jim Supangkat dalam kuratorialnya pada pameran tunggal lukisan karya Bunawijaya bertajuk ”Menghadapi Stigma Mooi Indie”.

Pameran yang berlangsung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia Jakarta dan berakhir pada 5 Januari lalu ini memajang 47 lukisan karya Bunawijaya. Sebagai kurator, Jim mengungkap bahwa biasanya ”para pendatang” seperti Bunawijaya tidak bertahan lama di dunia seni rupa hingga terdesak menyingkir.

Namun Bunawijaya bisa bertahan dan termasuk di antara sangat sedikit ”pendatang” yang tidak terpental. Bunawijaya bahkan bisa mempertahankan pandangan-pandangannya dan tidak terpengaruh wacana-wacana dominan di dunia seni rupa, termasuk stigma Mooi Indie (Hindia yang Molek).

Memang merunut sejarah, lukisan pemandangan alam seperti karya Bunawijaya sempat dicemooh sejak zaman kolonial sebagai lukisan Mooi Indie, yang di buat sekadar untuk memenuhi hasrat orang-orang Belanda membawa pulang kenangan tentang keindahan Hindia Belanda kala itu.

Pada zaman kemerdekaan, lukisan-lukisan pemandangan alam ini malah dicap sebagai lukis an pinggir jalan karena banyak dijajakan di taman-taman kota dan emperan toko. Menghadapi stigma Mooi Indie, Bunawijaya tak gentar. Ia tetap melukis pemandangan alam dengan caranya. Hal itu juga karena ia memang pencinta alam.

Dengan keyakinan yang tidak terdominasi ini, Buna wijaya ternyata bisa menampilkan karya-karya berkelas dan penuh makna. Misalnya dalam pameran kali ini ditunjukkan lukisan-lukisan representasi perkembangan kekaryaan Buna wijaya, juga kiprahnya di dunia seni rupa yang mampu bertahan hingga saat ini.

Mulai dari lukisan pemandangan alam atau landscape, idiom yang lazim digunakan untuk menyajikan keindahan yang membangkitkan rasa nyaman. Kemudian merambah ke sea scape, idiom yang sering digunakan untuk menampilkan misteri alam.

Lingkaran Kaki Langit, Bulan, Video Mapping
Bunawijaya tidak lagi harus menjelajahi alam untuk mencari objek lukisan. Kini ia juga menggunakan literatur dan hasil fotografi di jaringan internet. Kecenderungan baru itu membuat lukisan-lukisan Bunawijaya sesudah 2015 tidak lagi menyalin realitas alam. Lukisan-lukisannya menampilkan rekaan realitas alam yang tidak ada dalam kenyataan.

Pada perkembangan baru ini, ungkapannya berpangkal pada ide dan imajinasi di mana keindahan bisa lebih intensif bersentuhan dengan renungan, bahkan pemikiran. ”Akan tetapi ia tidak mengubah teknik melukis dan mempertahankan teknik melukis realistik dimana teknik melukis realistik tidak lagi berkaitan dengan upaya menyalin realitas.

Teknik ini harus dilihat sebagai upaya menggunakan bahasa ungkap yang komunikatif,” ujar Jim Supangkat. Misalnya pada lukisan Horizon (2016). Dalam lukisan ini bisa ditemukan kerangka ungkap Bunawijaya, yaitu in teraksi langit, laut, dan horizon. Langit dan laut pada lukisan ini bisa segera di rasakan kehadirannya.

Masing-masing menguasai separuh bidang kanvas. Berikutnya dua lukisan Bunawijaya, Lingkaran Kaki Langit I dan II (2016), memperlihatkan keputusan sang pelukis menampilkan rekaan realitas yang tidak ada dalam kenyataan. Lukisan-lukisan bundar bergaris tengah dua meter ini menampilkan langit, laut, dan horizon yang tidak lagi memanjang, tapi melingkar.

Muncul sea scape yang bundar, yang ditengahnya menampilkan sebuah pulau yang dikelilingi laut. Ditengahnya lagi mencuat sebuah bukit karang tiga dimensi dari pecahan batu akik yang dipancangkan di pusat kanvas. Bunawijaya juga masih menampilkan perkembangan lukisan eksperimental itu dan menyajikan Lingkaran Kaki Langit III, IV dan V (2017).

Tidak hanya bundar, permukaan kanvas pada lukisan-lukisan ini cembung. Kendati Bunawijaya sendiri tidak sepenuhnya sadar, ketiga lukisan ini menunjukkan bahwa keutamaan seni lukisan Lingkaran Kaki Langit terletak pada ide atau gagasan walau muncul kebetulan dan bukan lagi pada ungkapan dalam bentuk lukisan (painterly).

”Gambaran pada seri Lingkaran Kaki Langit bisa dilihat sebagai karya instalasi, bukan lagi lukisan langit, lukisan laut atau horizon. Tapi tanda-tanda langit, laut, dan horizon yang berkaitan dengan komunikasi, pemahaman, dan kesadaran pada pelihat.

Ini kecenderungan yang biasanya diperlihatkan dalam karya-karya pada perkembangan seni rupa kontemporer,” papar Jim Supangkat. Untuk menegaskan perkembangan tersebut, pameran tunggal Bunawijaya kali ini dilengkapi pula interaksi dengan Eldwin Pradipta yang dikenal sebagai seniman video mapping andal.

Dalam karya videonya ini, Eldwin mengangkat gambaran seascape lukisan Lingkaran Kaki Langit dengan program CGI (com pu tergenerated image). Eldwin menggerakkan awan, riak-riak laut, dan ombak yang menerpa batu karang di pusat seascape. ”Hemat saya, hal ini juga menunjukkan keterbukaan seorang Bunawijaya terhadap kolaborasi dan hal-hal baru.

Semangatnya untuk terus menatap kedepan membuatnya selalu penuh energi saat melukis dan tidak mau mengalah dengan waktu,” ujar Sunaryo, Direktur Selasar Sunaryo Art Space. Hal menarik lain di pa meran nya kali ini juga tentang bagaimana Bunawijaya menceritakan fenomena bulan yang dibuatnya sepanjang 2016-2017.

Bahkan lukisan bertema bulan yang mendominasi lukisan-lukisannya yang dipajang kali ini tampil sebagai bulan berukuran besar yang mendominasi bidang kanvas. Misalnya dilukisan Bulan dan Horizon, Bunawijaya menampilkan dialog bulan seperti ini dengan permukaan laut yang tenang.

Bulan dalam warna putih terang ini tampil seperti lampu dengan sinar cahaya yang kuat. Lalu Bulan di Atas Jakarta, Bulan di Atas Kota hingga untuk pertama kalinya ia menampilkan sikap kritis melalui lukisann ya Vulgar.

Dalam lukisan ini Bunawijaya menampilkan sebuah sky scraper berupa menara kembar yang menjulang tinggi sen dirian tanpa malu di koridor kawasan hijau Bukit Dago, Bandung, yang dibalut cahaya temaram rembulan. Juga di lukisannya Bulan Menghampiri Gedung MPR-DPR yang di dalamnya Bunawijaya ingin menceritakan bahwa saat ini pada gedung wakil rakyat terhormat itu nyaris tidak ada sudut tempat rakyat bisa melihat kehadiran bulan yang memesona. (Hendri Irawan)

(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4581 seconds (0.1#10.140)