Mengenal Lebih Jauh Penyakit Difteri dan Cara Pencegahannya
A
A
A
JAKARTA - Beberapa waktu belangan ini merebak wabah dan kejadian luar biasa (KLB) difteri di beberapa daerah di Indonesia. Hingga saat ini masih banyak orang yang belum mengerti benar apa itu penyakit difteri dan bagaimana cara mencegah badan kita agar tak terjangkit difteri.
Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman Corynebacterium diphterioe. Kuman ini menghasilkan racun (toksin) yang menyebabkan gangguan di dalam tubuh.
“Penyebarannya melalui kontak dengan percikan atau cairan yang diproduksi dari saluran napas atau dari lesi kulit,” kata dr Dave Anderson SpA dari Siloam Hospital Asri Jakarta, saat berbicara di acara Media Gathering di Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Menurut Dave, gejala penyakit biasanya muncul dalam dua hingga lima hari setelah terinfeksi. Kuman menyerang sistem pernapasan, juga dapat merusak jantung, sistem saraf, dan ginjal.
“Keluhan awal yang umum dirasakan adalah batuk, suara serak, nyeri menelan atau sakit tenggorok, badan berasa lemas, dan demam yang tidak tinggi,” ujar Dave.
Pada pemeriksaan fisik, jelas Dave, terlihat lapisan berwarna abu-abu dengan berak putih (pseudomembran). Lapisan ini melekat erat dengan jaringan di bawahnya dan bila dilepas akan berdarah.
Bila menyebar luas akan mengakibatkan kelenjar getah bening sekitar leher bengkak. Leher menjadi bengkak seperti leher banteng (bull neck). Tak lama, membran akan menyumbat saluran pernapasan sehingga terdengar bunyi napas seperti orang mengorek. “
“Bila gangguan napas ini tidak teratasi maka akan menyumbat saluran napas dan bisa berakhir pada kematian,” kata Dave.
Kalau sudah terkena difteri, bagaimana mengatasinya dan terapi apa yang dilakukan? Dave mengatakan, pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian obat antibiotik (penisilin atau eriboromisin) dan toksin antidifteri.
“Penanganan gangguan jalan napas dan pemantuan gangguan jantung, saraf dan ginjal,” ujar Dave.
Menurut Dave, mereka yang telah kontak dengan penderita difteri, apakah itu orang yang berada di rumah, tenaga kesehatan yang telah terpapar dengan sekret pernapasan pasien harus segera diperiksa dan iika perlu diberikan terapi antibiotik pencegahan.
Lantas bagaimana cara mencegah agar tidak terkena difteri? Dave mengatakan, imunisasi difteri saat ini adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi difteri.
“Imunisasi sebaiknya diberikan sesuai waktu yang dijadwalkan. Atau jika ada program imunisasi massal dari pemerintah melalui puskesmas maka warga sebaiknya mengikutinya. Tujuannya agar mendapatkan perlindungan yang maksimal dari paparan infeksi difteri,” papar Dave.
Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman Corynebacterium diphterioe. Kuman ini menghasilkan racun (toksin) yang menyebabkan gangguan di dalam tubuh.
“Penyebarannya melalui kontak dengan percikan atau cairan yang diproduksi dari saluran napas atau dari lesi kulit,” kata dr Dave Anderson SpA dari Siloam Hospital Asri Jakarta, saat berbicara di acara Media Gathering di Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Menurut Dave, gejala penyakit biasanya muncul dalam dua hingga lima hari setelah terinfeksi. Kuman menyerang sistem pernapasan, juga dapat merusak jantung, sistem saraf, dan ginjal.
“Keluhan awal yang umum dirasakan adalah batuk, suara serak, nyeri menelan atau sakit tenggorok, badan berasa lemas, dan demam yang tidak tinggi,” ujar Dave.
Pada pemeriksaan fisik, jelas Dave, terlihat lapisan berwarna abu-abu dengan berak putih (pseudomembran). Lapisan ini melekat erat dengan jaringan di bawahnya dan bila dilepas akan berdarah.
Bila menyebar luas akan mengakibatkan kelenjar getah bening sekitar leher bengkak. Leher menjadi bengkak seperti leher banteng (bull neck). Tak lama, membran akan menyumbat saluran pernapasan sehingga terdengar bunyi napas seperti orang mengorek. “
“Bila gangguan napas ini tidak teratasi maka akan menyumbat saluran napas dan bisa berakhir pada kematian,” kata Dave.
Kalau sudah terkena difteri, bagaimana mengatasinya dan terapi apa yang dilakukan? Dave mengatakan, pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian obat antibiotik (penisilin atau eriboromisin) dan toksin antidifteri.
“Penanganan gangguan jalan napas dan pemantuan gangguan jantung, saraf dan ginjal,” ujar Dave.
Menurut Dave, mereka yang telah kontak dengan penderita difteri, apakah itu orang yang berada di rumah, tenaga kesehatan yang telah terpapar dengan sekret pernapasan pasien harus segera diperiksa dan iika perlu diberikan terapi antibiotik pencegahan.
Lantas bagaimana cara mencegah agar tidak terkena difteri? Dave mengatakan, imunisasi difteri saat ini adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi difteri.
“Imunisasi sebaiknya diberikan sesuai waktu yang dijadwalkan. Atau jika ada program imunisasi massal dari pemerintah melalui puskesmas maka warga sebaiknya mengikutinya. Tujuannya agar mendapatkan perlindungan yang maksimal dari paparan infeksi difteri,” papar Dave.
(alv)