The Post dan Kredibilitas Tinggi Media Cetak

Sabtu, 10 Maret 2018 - 07:28 WIB
The Post dan Kredibilitas...
The Post dan Kredibilitas Tinggi Media Cetak
A A A
WASHINGTON - Seorang staf bagian redaksi terkesiap di meja kerjanya. Dalam kotak sepatu yang baru saja diserahkan oleh seorang perempuan tak dikenal, ditemukannya harta karun tak ternilai. Bukan berlian, apalagi perhiasan bernilai sejarah tinggi. Namun lembaran-lembaran kertas yang merupakan dokumen sangat rahasia berisi kebohongan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam Perang Vietnam.

Dokumen tersebut setidaknya berisi tentang hasil riset bahwa AS sesungguhnya sudah tahu bahwa mereka tak akan menang dalam perang tersebut. Tapi toh presiden Richard Nixon tetap mengirim tentara ke medan perang. Bagi seorang wartawan, mendapatkan dokumen yang akhirnya dikenal sebagai kasus Pentagon Papers itu adalah satu lompatan dalam karier jurnalistiknya.

Namun dalam film The Post yang menjadi nomine film terbaik Academy Awards 2018, dokumen tersebut tak serta merta muncul dalam headline koran The Washington Post keesokan harinya. Bagi mereka, itu adalah data mentah. Bagaimana mengolahnya untuk menjadi laporan berseri yang bernas dan akurat, itu tantangan berikutnya.

Di sinilah film garapan sutradara kawakan Steven Spielberg dan dibintangi Tom Hanks serta Meryl Streep tersebut memperlihatkan proses panjang kerja jurnalisme, dari mendapatkan data hingga akhirnya berita bisa dicetak di koran dan dibaca masyarakat luas. Proses itu melibatkan rapat-rapat penuh argumentasi, meneliti seabrek dokumen, dan pengecekan ulang fakta oleh editor.

Dalam tradisi media cetak, proses itu masih berlanjut di tangan editor bahasa, yang mengecek ejaan dan pilihan diksi yang digunakan dalam tulisan. Tradisi ini belum sepenuhnya dijalankan oleh semua media daring (online), setidaknya di Indonesia dan untuk saat ini.

Kerja rumit nan panjang tersebut tak hanya digambarkan dalam The Post. Dalam Spotlight, film yang memenangkan film terbaik dan skenario asli terbaik dalam Academy Awards 2016, juga menggambarkan betapa koran The Boston Globes tak buru-buru menerbitkan temuan tentang dugaan pelecehan seksual oleh para pendeta, meski mereka punya data primernya. Tim investigasi koran ini bahkan memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menerbitkan laporan tersebut, melibatkan kerja keras mencari dokumen pendukung, mewawancarai puluhan narasumber, termasuk setia menunggui narasumber penting di kantornya meski sudah ditolak berkali-kali.

Dua film tersebut berhasil menggambarkan betapa teliti dan panjangnya perjalanan tim redaksi surat kabar, agar informasi yang didapat layak menjadi berita yang benar dan pantas dibaca. Di tengah gencarnya kelahiran media daring yang mendewakan kecepatan, tradisi ini masih dipelihara dengan baik oleh media cetak.

Sistem kerja yang mendukung, yaitu tenggat waktu (deadline) yang lebih panjang, membuat tulisan di media cetak bisa melewati proses normal, yaitu dikerjakan tanpa terburu-buru oleh reporter, disunting dengan baik oleh editor, disunting lagi oleh editor bahasa, lalu dibaca oleh redaktur pelaksana. Untuk kasus berita-berita mahapenting, pemimpin redaksi bahkan turut mengoreksi tulisan.

Dengan proses yang memberi jeda lebih panjang untuk memikirkan dengan matang sebuah tulisan sebelum diterbitkan, media cetak hingga saat ini masih menjadi yang terdepan soal kredibilitas.

Perlu juga disebut, bahwa media cetak juga tak perlu membuat tulisan clickbait, yaitu tulisan dengan judul bombastis yang kadang menyesatkan, hanya demi meningkatkan rating. Dalam industri media cetak, pembaca membeli produknya, koran atau majalah secara utuh, bukan hanya sekadar meng-klik sebuah judul berita.

Soal kredibilitas media cetak juga sudah ditegaskan oleh sebuah penelitian yang dilakukan Nielsen Consumer & Media Review pada kuartal III tahun 2017. Dari 17.000 responden yang ditemui secara langsung, 56% dari mereka memilih membaca koran karena beritanya yang bisa dipercaya. Para responden diambil dari 11 kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Makassar, dan Banjarmasin.

Hasil survei juga menyebut bahwa 74% dari total pembaca media cetak adalah generasi muda usia 20-49 tahun, 54% adalah kalangan menengah atas, dan 32% menjadi pekerja kantoran.

Yang menarik, para pembaca media cetak ini juga adalah mereka yang terpapar internet dengan skala sangat tinggi. Frekuensi menggunakan internetnya mencapai 86% atau di atas rata-rata yang sebesar 61%.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Inggris. Dalam laporan yang dibuat Deloitte, perusahaan multinasional di bidang jasa dan perekonomian, pada 2015 disebut bahwa 60% orang Inggris masih membaca media cetak, dan hanya 40% yang membaca majalah daring.

Sementara dikutip dari The Guardian, artikel yang ditulis Edward Amory dari perusahaan komunikasi Freuds, menyebut keuntungan Mail Online, portal berita paling sukses di Inggris adalah sebesar 62 juta poundsterling pada 2014. Angka ini masih kalah jauh dengan yang didapat oleh edisi cetaknya, yaitu The Daily Mail dan Mail on Sunday yang mendapat 536 juta poundsterling. (Herita Endriana)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0956 seconds (0.1#10.140)