Burgo, Sarapan Kenyal Berkuah Santan
A
A
A
PALEMBANG - Berbicara mengenai kuliner khas Palembang tentu mendorong ingatan kita pada pempek, tekwan dan turunannya serta pindang. Namun patut diketahui dan dicoba, ada kuliner yang juga legendaris serta layak dicicipi ketika menginjakkan kaki di Bumi Sriwijaya. Namanya burgo. Dibuat dari adonan tepung beras dan sagu yang di masak mirip telur dadar, kemudian digulung.
Sebelum penyajian, burgo di potong-potong lalu disiram dengan kuah yang terbuat dari santan dan aneka bumbu. Di antaranya ketumbar, lengkuas, kencur, kunyit, kemiri, dan bawang putih. Satu hal lagi, kendati adonan burgo tidak menggunakan ikan, bahan tersebut tetap di tambahkan pada kuahnya yang gurih.
Burgo mudah dijumpai pada bulan Ramadan karena di Palembang kuliner satu ini kerap disajikan sebagai menu berbuka puasa. Namun, jangan khawatir, di luar bulan puasa pun burgo tetap tersedia karena biasanya disajikan sebagai menu sarapan.
Sejumlah tempat makan ada yang terus menyajikannya seperti di kawasan Pasar Cinde di Jalan Sudirman Palembang, kawasan Pasar 26 Ilir, kawasan Pasar Kuto, areal sarapan pagi sekitar Tugu KB Kertapati, Jalan Jepang KM 11 Palembang, dan tempat-tempat pusat sarapan lain. Ketika menyantap burgo, awalnya orang akan mengira itu lontong karena penampilannya mirip.
Namun perbedaannya akan langsung terasa ketika dicoba lantaran burgo menggunakan kuah nangurih bercampur daging ikan gabus atau belida. “Dia ini mirip nian dengan lontong, tapi sebenarnya beda,” ujar Wak Uban, penjual burgo di Jalan Jepang, Palembang.
Ciri khas burgo terletak pada kuah gurih serta penampilannya yang putih. Sementara adonannya tidak memiliki rasa yang dominan karena hanya berisi tepung beras dan sagu. Sebagai pelengkap rasa dapat di tambahkan sambal bagi penyuka pedas plus taburan bawang goreng.
Perlu diketahui, meskipun penampilan burgo mirip lontong, saat di sajikan menu ini tidak menggunakan kerupuk seperti lontong kuah pada umumnya. Untuk harga, jangan khawatir. Kendati menggunakan daging ikan pada kuahnya, satu porsi burgo hanya dipatok harga Rp4.000.
Sebuah harga yang pas untuk sarap an sehingga patut dicoba. Apalagi burgo merupakan salah satu makanan legendaris di Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya. Bahkan pada perayaan atau hari besar tertentu, burgo kerap disajikan kepada tamu-tamu istimewa ataupun yang datang dari jauh.
Misalnya saat hajatan ngunduh mantu, khitanan anak, dan pernikahan. Wak Uban yang telah belasan tahun membuat dan memasok burgo ke pedagang-pedagang menu sarapan di Kecamatan Sukarami dan Alang-Alang Lebar tidak mengetahui sejarah pasti kemunculan burgo.
Namun, menurutnya, burgo yang tak begitu populer layaknya pempek sudah lama digunakan dalam hajatan tertentu. “Kadang ada yang mau menentukan tanggal dan hari pernikahan, kan itu mengundang tetangga dan kerabat dekat. Nah, makanannya burgo, pesan sama kita,” kata dia.
Bagi Wak Uban, burgo memiliki nilai yang sangat berarti karena dengan menjadi pembuat burgo, dia membantu suami membiayai pendidikan anak hingga perguruan tinggi. “Kalau mau cari burgo di pedagang sarapan ada. Kalau mau pesan, ya ke Jalan Jepang,” ucapnya sedikit berpromosi. (Berli Zulkanedi)
Sebelum penyajian, burgo di potong-potong lalu disiram dengan kuah yang terbuat dari santan dan aneka bumbu. Di antaranya ketumbar, lengkuas, kencur, kunyit, kemiri, dan bawang putih. Satu hal lagi, kendati adonan burgo tidak menggunakan ikan, bahan tersebut tetap di tambahkan pada kuahnya yang gurih.
Burgo mudah dijumpai pada bulan Ramadan karena di Palembang kuliner satu ini kerap disajikan sebagai menu berbuka puasa. Namun, jangan khawatir, di luar bulan puasa pun burgo tetap tersedia karena biasanya disajikan sebagai menu sarapan.
Sejumlah tempat makan ada yang terus menyajikannya seperti di kawasan Pasar Cinde di Jalan Sudirman Palembang, kawasan Pasar 26 Ilir, kawasan Pasar Kuto, areal sarapan pagi sekitar Tugu KB Kertapati, Jalan Jepang KM 11 Palembang, dan tempat-tempat pusat sarapan lain. Ketika menyantap burgo, awalnya orang akan mengira itu lontong karena penampilannya mirip.
Namun perbedaannya akan langsung terasa ketika dicoba lantaran burgo menggunakan kuah nangurih bercampur daging ikan gabus atau belida. “Dia ini mirip nian dengan lontong, tapi sebenarnya beda,” ujar Wak Uban, penjual burgo di Jalan Jepang, Palembang.
Ciri khas burgo terletak pada kuah gurih serta penampilannya yang putih. Sementara adonannya tidak memiliki rasa yang dominan karena hanya berisi tepung beras dan sagu. Sebagai pelengkap rasa dapat di tambahkan sambal bagi penyuka pedas plus taburan bawang goreng.
Perlu diketahui, meskipun penampilan burgo mirip lontong, saat di sajikan menu ini tidak menggunakan kerupuk seperti lontong kuah pada umumnya. Untuk harga, jangan khawatir. Kendati menggunakan daging ikan pada kuahnya, satu porsi burgo hanya dipatok harga Rp4.000.
Sebuah harga yang pas untuk sarap an sehingga patut dicoba. Apalagi burgo merupakan salah satu makanan legendaris di Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya. Bahkan pada perayaan atau hari besar tertentu, burgo kerap disajikan kepada tamu-tamu istimewa ataupun yang datang dari jauh.
Misalnya saat hajatan ngunduh mantu, khitanan anak, dan pernikahan. Wak Uban yang telah belasan tahun membuat dan memasok burgo ke pedagang-pedagang menu sarapan di Kecamatan Sukarami dan Alang-Alang Lebar tidak mengetahui sejarah pasti kemunculan burgo.
Namun, menurutnya, burgo yang tak begitu populer layaknya pempek sudah lama digunakan dalam hajatan tertentu. “Kadang ada yang mau menentukan tanggal dan hari pernikahan, kan itu mengundang tetangga dan kerabat dekat. Nah, makanannya burgo, pesan sama kita,” kata dia.
Bagi Wak Uban, burgo memiliki nilai yang sangat berarti karena dengan menjadi pembuat burgo, dia membantu suami membiayai pendidikan anak hingga perguruan tinggi. “Kalau mau cari burgo di pedagang sarapan ada. Kalau mau pesan, ya ke Jalan Jepang,” ucapnya sedikit berpromosi. (Berli Zulkanedi)
(nfl)