Membuat Komik Jadi Bernilai Seni

Minggu, 08 April 2018 - 09:51 WIB
Membuat Komik Jadi Bernilai...
Membuat Komik Jadi Bernilai Seni
A A A
JAKARTA - Komik punya standar-standar artistik di dunia komik yang tidak pernah mempersoalkan apakah standar-standar artistiknya bisa dikategorikan seni atau bukan.

Persoalan apakah komik bisa disebut seni atau bukan, justru muncul di dunia seni rupa.Sebanyak 129 karya komik dipajang di setiap sudut dan dinding ruang pameran dalam Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Nyata sekali, para komikus dalam pameran bertajuk “Dunia Komik” ini dibebaskan untuk menuangkan ide dan imajinasinya pada berbagai bahasa komik dan media yang mereka gunakan. Bukan hanya media kertas atau semacam tumpukan buku komik yang disusun secara artistik.

Komik-komik ini tertuang di berbagai media hingga karya seni rupa berupa instalasi, mulai dari kain, kardus, kaleng bekas, kayu, patung, dan lain-lain. Bahkan, ada satu karya komik yang dibuat dari kasur kapuk, yang bagian sampingnya robek besar hingga kapuknya berserakan di lantai.

Komik berjudul “Berantas” (2018) karya Benni Rambatan ini menceritakan sepasang insan berlainan jenis yang tengah berbuat zina. Di atas delapan bantal yang disusun di atas kasur dan dililit kawat besi berduri itu digambar sosok (orang) yang berzina tadi, lengkap dengan baitbait cerita sebagaimana umumnya bacaan komik.

Yang membuat komik ini memiliki kesan kuat, kawat besi berduri seba gai bagian internal performer, selain membentuk kebaruan artistik yang ditawarkan juga memberi pesan moral be tapa menakutkan dan menyakitkan perbuatan zina.

Adapun 129 komik yang di pamerkan ini, hasil seleksi juri Gu dang Garam Indonesia Art Award (GGIAA) 2018, di mana 90 peserta ter pilih dari kategori umum dan 39 adalah peserta kategori undangan. Dari 129 karya lalu terpilih tiga pemenang dan mendapatkan penghargaan berupa sertifikat dan dana apre siasi, pemenang I mendapatkan Rp75.000.000, pemenang II Rp50.000.000, dan pemenang III Rp30.000.000.
Untuk pemenang pertama pada tahun ini, jatuh pada seorang wanita ber nama Evelyn Ghozali, yang berprofesi sebagai ilus trator buku anak. Karya komik Evelyn, berjudul The Chair mampu memukau tim dewan juri. Usai pengumuman pemenang, Evelyn yang baru saja menghadiri Bologna Children’s Book Fair (Pameran Buku Anak Bologna) mengatakan, komik cip taannya terinspirasi oleh sebuah kursi ketika dia berjalan-jalan di Kota Tua, Jakarta.

Dalam pengantarnya pada pameran ini, kurator Hikmat Darmawan menyebut, karya Evelyn menampakkan tingkatan puitika visual. Figur-figurnya jelas, susunan panil mudah dibaca, dan eksplorasi dalam bahasa dengan teknik garis mudah di pahami.

“Dengan adanya pameran ini dapat dibuktikan bahwa komikus juga memiliki kemampuan yang tak kalah dengan seniman kontemporer,” kata Himawan. Lalu, untuk pemenang kedua diraih Prabu Perdana dan Patra Aditya di peringkat ketiga.

Tak hanya tiga pemenang, tim dewan juri memberikan penghargaan ke pada 13 seniman dan komikus dengan kategori special mention. Karya ke-13 peserta mampu mengunggah tim juri dan dipuji. Mereka adalah Bonni Rambatan, Fajar Nursyamsujati, Radhinal Indra, Pri hatmoko Catur, Muhammad Misrad, Hafid Alibasyah, Putri Larasati, Abdulrahman Sa leh, Kan Kelana, Mohammad Iqbal, Loyong Budi Harjo, Sunni Tresnadewi, dan Sandy Yudha.

Komik dan Seni Rupa
Jim Supangkat, kurator lainnya dalam pameran ini mengatakan, sejak awal sampai penyelenggaraan paling akhir pada 2015, GGIAA (dulunya IAA/Indonesia Art Awards) menjelajahi seni rupa (artworld ) dan mengamati tanda perkembangan untuk diangkat menjadi bingkai kompetisi, khususnya perkembangan seni rupa kontemporer.

Karena itu, hampir semua seniman terkemuka pada perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia, bisa dipastikan alumni IAA. Bingkai kompetisi GGIAA 2018 sekarang ini bergeser dari penjelajahan dunia seni rupa kepenjelajahan dunia komik.

Pertimbangannya, perkembangan seni rupa kontemporer yang memunculkan kecenderungan mengangkat komik menjadi media ungkap. Gejala artification (mensenikan) komik ini fenomenal karena komik selalu dianggap bukan seni di dunia seni rupa.

Maka segera muncul pertanyaan, apakah ada standar-standar artistik baru yang mendasari artification ini? “Dunia seni rupa (artworld ) dan dunia komik sangat berbeda. Komik punya standar-standar artistik sendiri. Dunia komik tidak pernah mempersoalkan apakah standar-standar artistik ini bisa dikategorikan seni atau bukan.

Persoalan apakah komik bisa disebut seni atau bukan justru muncul di dunia seni rupa. Pangkalnya adalah pemikiran tentang standar-standar artistik yang merendahkan komik dan karena itu melihat komik sebagai bukan seni,” papar Jim.

Masih dalam kuratorialnya, menurut Jim, dari perdebatan ini lalu muncul pemikiran tentang standar-standar artistik yang merendahkan komik dan karena itu melihat komik bukan seni. Pandangan ini punya dampak di dunia komik, tapi tidak tercatat memunculkan perdebatan estetik tentang standar-standar artistik, karena dunia seni rupa dan dunia komik berkembang secara terpisah dan berjalan sendiri-sendiri, bahkan sampai sekarang.

“Seni rupa kontemporer yang memunculkan artification komik di dunia seni rupa menyangkal standar-standar yang melecehkan komik itu. Slogan the end of art yang menandai kemunculan seni rupa kontemporer pada 1980, menunjukkan tandatanda ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah seni rupa kontemporer sudah memunculkan standar-standar artistik baru, yang kemudian mendasari artification komik? Pertanyaan itu ternyata menggantung,” ujar Jim.

Jim melanjutkan, luasnya lingkup kemungkinan dalam menampilkan ungkapan pada seni rupa kontemporer (tercermin pada slogan anything goes), membuat standar-standar artistik seni rupa kontemporer tidak lagi bisa ditegaskan. Karena itu, wacana seni rupa kontemporer sampai sekarang belum bisa menjawab pertanyaan, apakah standar-standar artistik artification komik yang muncul pada praktik seni rupa kontemporer.

“Di tengah kebuntuan itu, wacana seni rupa kontemporer tidak bisa lain harus menoleh ke dunia komik dan mengkaji stan darstandar artistiknya, untuk menemukan penyebab terjadinya artification komik. Paling tidak, bisa ditemukan jawaban nalar mengapa gejala ini terjadi.

Sangat mungkin jawaban ini bahkan bisa menjelaskan mengapa standar-standar artistik pada perkembangan seni rupa kontemporer meng alami perubahan. Inilah sasaran kom pe tisi/ pameran GGIAA 2018 dengan tema “Dunia Komik”, di mana dunia komik dan du nia seni rupa dipertemukan,” pungkas Jim.

Sekilas YSRI
Kompetisi seni rupa Indonesia Art Awards (IAA) yang diselenggarakan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) tercatat sebagai kompetisi seni rupa tahunan pertama yang menerapkan open call. Selama tujuh tahun, sampai 2001, dikenal dengan Philip Morris Art Award.

Dari 2003- 2010 dikenal sebagai IAA setelah Philip Morris ti dak lagi menjadi sponsor. Dengan munculnya Gudang Garam sebagai spon sor pada 2013, IAA menjadi Gudang Garam Indo nesia Art Award (GGIAA). Pada 2012, di bawah pimpinan Titiek Soeharto, YSRI mengkaji semua model kompetisi yang pernah diterapkan.

Kajian ini memunculkan beberapa pertimbangan baru, di antaranya IAA seyogianya menjadi kom petisi yang menampilkan pemikiran setiap penyelenggaraannya. Menimbang faktor waktu untuk me nyusun pemikiran dalam menetapkan bingkai kompetisi ini, Titiek Soeharto memutuskan, pada 2013 menjadikan IAA sebagai kompetisi dua tahunan yang dikenal sebagai Biennale.

Sejak berdiri pada 1994, YSRI senantiasa mem beri ruang apresiasi kepada seniman Indonesia dengan menggandeng berbagai mitra yang memiliki kepedulian dalam bidang seni budaya. Salah satunya mencari potensi seniman kreatif dan inovatif dalam bidang seni rupa khususnya karya-karya fine art .

Sebagai program rutin, pada 2015, GGIAA kembali dilaksanakan. Sesuai jadwal seharusnya GGIAA berikutnya dilaksanakan pada 2017. Namun, karena beberapa pertimbangan GGIAA baru terlaksana pada 2018. Pada kegiatan GGIAA 2018, terdapat perbedaan konsep kegiatan khususnya dalam hal kategori karya, yaitu menitikberatkan pada karya pop art , khususnya seni komik melalui tema “Dunia Komik”.

Pemilihan komik sebagai tema dengan pertimbangan komik merupakan bahasa komunikasi visual yang universal dan saat ini dunia internasional sudah mulai memberi ruang apresiasi terhadap seni komik. Meski awalnya sempat terjadi kekhawatiran tentang jumlah peserta, berdasarkan data yang masuk, jumlah peserta ternyata di luar dugaan.

Tercatat jumlah keseluruhan peserta 350 orang, dari berbagai wilayah di Tanah Air, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, hingga Indonesia Timur dan Papua. Pameran “Dunia Komik” yang dikuratori Jim Su pangkat, Iwan Gunawan, dan Hikmat Darmawan, ini akan berlangsung pada Senin (2/4) hingga Rabu (18/4).

Dan, sebagai rangkaian kegiatan pameran juga akan diadakan “Bincang-bincang Dunia Komik”, pada Senin (16/4), menampilkan pembicara sesi I: Jim Supangkat (Bahasa Budaya Cerita Gambar), Seno Gumira Ajidarma (Komik sebagai Produk Budaya), Iwan Gunawan (Sejarah Komik), dan Hikmat Darmawan (Perkembangan Komik Mutakhir).

Sesi II: Muhammad Misrad (Mice) Komikus Benny & Mice, Borton LiewCEO aplikasi komik CIAYO Comics, dan Muhammad Faisal-Pendiri Youth Laboratory Indonesia dan Penulis Generasi Phi (Gramedia, 2017). Selain itu, juga ada penjualan produkproduk merchandise yang diproduksi YSRI berdasarkan desain komik para peserta pameran di Art Shop Galeri Nasional Indonesia. (Hendri Irawan)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1403 seconds (0.1#10.140)