Pentingnya Deteksi Dini Penyakit Lupus
A
A
A
JAKARTA - Angka kejadian penyakit tidak menular (PTM) setiap tahunnya terus meningkat, di antaranya penyakit lupus.
Lupus atau penyakit autoimun adalah kondisi saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang kehilangan kemampuan untuk membedakan substansi asing (non-self) dengan sel dan jaringan tubuh sendiri (self). Kondisi ini membuat sistem kekebalan tubuh menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat.
Sebagian besar penderita lupus adalah perempuan dari kelompok usia produktif (15- 50 tahun). Meski begitu, lupus juga dapat menyerang lakilaki, anak-anak, dan remaja. Data SIRS Online 2016 menunjukkan bahwa proporsi pasien rawat inap lupus berjenis kelamin laki-laki mengalami peningkatan dari 48,2% pada 2014 menjadi 54,3% pada 2016.
Sementara pasien lupus berjenis kelamin perempuan mengalami penurunan dari 51,8% menjadi 45,7%. Ahli Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit FKUI-RSCM dr Sumariyono SpPD-KR mengatakan, lupus terdiri atas beberapa macam jenis. Salah satu jenis yang paling sering dirujuk masyarakat umum adalah Lupus Eritematosus Sistemik (LES).
LES dikenal sebagai penyakit seribu wajah, merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang hingga kini belum jelas penyebabnya. “LES juga memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit yang beragam sehingga sering menimbulkan kekeliruan dalam upaya mengenalinya. LES dapat menyerang jaringan dan organ tubuh mana saja, mulai tingkat gejala ringan hingga parah,” ucap dr Sumariyono di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia menuturkan, hingga kini faktor risiko LES belum diketahui secara jelas. Namun, faktor genetik, imunologik, hormonal, dan lingkungan diduga memegang peran penting sebagai pemicu.
Dr Sumariyono menjelaskan, untuk faktor genetik, sekitar 7% pasien LES memiliki keluarga dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga didiagnosis LES. Faktor lingkungan dipicu infeksi, stres, makanan, anti-biotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra violet (matahari), penggunaan obat-obatan tertentu, merokok, paparan kristal silica.
Sementara faktor hormonal umumnya, perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan laki-laki. Meningkatnya angka per tumbuhan penyakit LES sebelum periode menstruasi atau selama kehamilan men dukung dugaan hormon estro gen menjadi pencetus penya kit LES.
“LES memiliki gejala yang mirip penyakit lain sehingga sulit dideteksi. Tingkat keparah annya pun beragam, mulai ringan hingga yang mengancam jiwa. Gejala LES dapat timbul secara tiba-tiba atau berkembang perlahan. Pasien LES dapat mengalami gejala yang bertahan lama atau bersifat sementara sebelum akhir nya kambuh lagi. Kesulitan dalam mengenali LES sering mengakibatkan diagnosis dan penanganan yang terlambat,” papar dr Sumariyono.
Menurut dia, LES merupakan beban sosio-ekonomi bagi masyarakat dan negara karena memerlukan penanganan yang tidak sederhana dan melibatkan banyak bidang keahlian.
Selain itu, biaya perawatannya mahal dan perlu dilakukan seumur hidup. Sementara itu, cara mengenali gejala LES di antaranya demam lebih dari 38 derajat Celsius dengan sebab yang tidak jelas, lelah dan lemah berlebihan, sensitif terhadap sinar matahari, rambut rontok, ruam ke merahan berbentuk kupu-kupu yang melintang dari hidung ke pipi, ruam kemerahan di kulit, sariawan yang tidak kunjung sembuh, terutama di atap rongga mulut.
“Selain itu, nyeri dan bengkak pada persendian, terutama di lengan dan tungkai; menyerang lebih dari dua sendi dalam jangka waktu lama; ujung-ujung jari tangan dan kaki pucat hingga kebiruan saat udara dingin; nyeri dada, terutama saat berbaring dan menarik napas panjang; dan kejang atau kelainan saraf lainnya,” beber dr Sumariyono.
Dia menambahkan, jika pasien mengalami minimal empat gejala dari seluruh gejala yang disebutkan, dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter di puskesmas atau rumah sakit agar dapat di periksa dan ditangani lebih lanjut. (Iman Firmansyah)
Lupus atau penyakit autoimun adalah kondisi saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang kehilangan kemampuan untuk membedakan substansi asing (non-self) dengan sel dan jaringan tubuh sendiri (self). Kondisi ini membuat sistem kekebalan tubuh menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat.
Sebagian besar penderita lupus adalah perempuan dari kelompok usia produktif (15- 50 tahun). Meski begitu, lupus juga dapat menyerang lakilaki, anak-anak, dan remaja. Data SIRS Online 2016 menunjukkan bahwa proporsi pasien rawat inap lupus berjenis kelamin laki-laki mengalami peningkatan dari 48,2% pada 2014 menjadi 54,3% pada 2016.
Sementara pasien lupus berjenis kelamin perempuan mengalami penurunan dari 51,8% menjadi 45,7%. Ahli Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit FKUI-RSCM dr Sumariyono SpPD-KR mengatakan, lupus terdiri atas beberapa macam jenis. Salah satu jenis yang paling sering dirujuk masyarakat umum adalah Lupus Eritematosus Sistemik (LES).
LES dikenal sebagai penyakit seribu wajah, merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang hingga kini belum jelas penyebabnya. “LES juga memiliki sebaran gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit yang beragam sehingga sering menimbulkan kekeliruan dalam upaya mengenalinya. LES dapat menyerang jaringan dan organ tubuh mana saja, mulai tingkat gejala ringan hingga parah,” ucap dr Sumariyono di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia menuturkan, hingga kini faktor risiko LES belum diketahui secara jelas. Namun, faktor genetik, imunologik, hormonal, dan lingkungan diduga memegang peran penting sebagai pemicu.
Dr Sumariyono menjelaskan, untuk faktor genetik, sekitar 7% pasien LES memiliki keluarga dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga didiagnosis LES. Faktor lingkungan dipicu infeksi, stres, makanan, anti-biotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra violet (matahari), penggunaan obat-obatan tertentu, merokok, paparan kristal silica.
Sementara faktor hormonal umumnya, perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan laki-laki. Meningkatnya angka per tumbuhan penyakit LES sebelum periode menstruasi atau selama kehamilan men dukung dugaan hormon estro gen menjadi pencetus penya kit LES.
“LES memiliki gejala yang mirip penyakit lain sehingga sulit dideteksi. Tingkat keparah annya pun beragam, mulai ringan hingga yang mengancam jiwa. Gejala LES dapat timbul secara tiba-tiba atau berkembang perlahan. Pasien LES dapat mengalami gejala yang bertahan lama atau bersifat sementara sebelum akhir nya kambuh lagi. Kesulitan dalam mengenali LES sering mengakibatkan diagnosis dan penanganan yang terlambat,” papar dr Sumariyono.
Menurut dia, LES merupakan beban sosio-ekonomi bagi masyarakat dan negara karena memerlukan penanganan yang tidak sederhana dan melibatkan banyak bidang keahlian.
Selain itu, biaya perawatannya mahal dan perlu dilakukan seumur hidup. Sementara itu, cara mengenali gejala LES di antaranya demam lebih dari 38 derajat Celsius dengan sebab yang tidak jelas, lelah dan lemah berlebihan, sensitif terhadap sinar matahari, rambut rontok, ruam ke merahan berbentuk kupu-kupu yang melintang dari hidung ke pipi, ruam kemerahan di kulit, sariawan yang tidak kunjung sembuh, terutama di atap rongga mulut.
“Selain itu, nyeri dan bengkak pada persendian, terutama di lengan dan tungkai; menyerang lebih dari dua sendi dalam jangka waktu lama; ujung-ujung jari tangan dan kaki pucat hingga kebiruan saat udara dingin; nyeri dada, terutama saat berbaring dan menarik napas panjang; dan kejang atau kelainan saraf lainnya,” beber dr Sumariyono.
Dia menambahkan, jika pasien mengalami minimal empat gejala dari seluruh gejala yang disebutkan, dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter di puskesmas atau rumah sakit agar dapat di periksa dan ditangani lebih lanjut. (Iman Firmansyah)
(nfl)