Dunia Anak Kekinian Versi Duo Sutradara Mira Lesmana-Riri Riza
A
A
A
TAHUN 2000, dunia menyenangkan bagi anakanak di mata duo produser sutradara Mira Lesmana- Riri Riza adalah dengan pergi ke rumah nenek dan bertualang di hutan.
Bertemu penjahat di sana juga menjadi imajinasi yang akrab di kepala anak-anak. Dari sini, lahirlah Petualangan Sherina. Film ini berhasil meraup jumlah penonton di bioskop hingga 1,1 juta, sebuah angka yang fantastis di tengah industri perfilman nasional yang baru mulai bangkit dari koma. Lalu, 18 tahun kemudian, keduanya membuat Kulari ke Pantai.
Tentu saja, dunia anak-anak sudah sangat jauh berbeda. Gaya liburan ke hutan sudah tidak lagi ngetren dan anak-anak lebih cepat dewasa. Yang kekinian bagi mereka sekarang adalah traveling ke berbagai tempat, menggeluti olahraga antimainstream nan “seksi”, serta fasih berbahasa Inggris sampaisampai melebihi kemampuan berbahasa ibu.
Inilah yang tergambar dalam film anak-anak terbaru karya Mira-Riri. Untuk menceritakan ini, Mira dan Riri masih menggunakan karakter bocah perempuan sebagai pusat cerita, sama seperti Petualangan Sherina . Kali ini bahkan rival sang tokoh utama juga perempuan. Mereka adalah sepasang sepupu yang sifatnya bertolak belakang, yaitu Sam (Maisha Kanna) dan Happy (Lil’li Latisha).
Sam adalah anak yang cenderung tomboi, berkulit agak hitam, dan berdandan berantakan. Hobinya berselancar (surfing ), sesuatu yang tidak sulit dilakukan setiap hari karena dia tinggal di Pulau Rote, NTT. Kepribadiannya sangat mirip karakter Sherina dalam film. Sementara Happy adalah anak perempuan khas perkotaan, senang dandan, kecanduan ponsel pintar, dikontrol peer pressure, dan selalu bicara dalam bahasa Inggris.
Merasa derajatnya lebih tinggi, Happy menganggap Sam adalah anak kampung yang norak. Tentu saja, mereka lalu harus menghabiskan waktu bersama dalam perjalanan lebih dari 1.000 km, naik mobil dari Jakarta hingga G-Land (Pantai Plengkung) di Banyuwangi demi bertemu peselancar bule idola Sam. Layaknya road movie , ditemani ibu Sam, Mama Uci (Marsha Timothy), keduanya pun harus bersama-sama menjalani momen seru dan sulit, kembali beradaptasi dan mengenal lagi satu dengan lainnya. Dalam perjalanan, hal-hal kekinian, seperti wisata kuliner, tempat wisata indah, dunia fotografi, dan surfing, diberi tempat yang cukup banyak oleh Mira dan Riri. Lewat skenario yang digarap keduanya bersama Gina S Noer dan Arie Kriting, Kulari ke Pantai juga menyelipkan komedi.
Skenario nakal menyindir para remaja yang jauh-jauh traveling hanya untuk berselfie ria dan ibu-ibu pencari bakat yang mengeksploitasi anak didiknya. Sementara sindiran orang Indonesia yang selalu berbahasa Inggris, padahal bicara dengan sesama orang Indonesia, berulang kali diungkapkan secara gamblang dalam film. Pujian juga patut diberikan pada skenario yang menempatkan Sam dan Happy sebagai anak-anak yang mampu berdamai dan menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa bantuan orang tua.
Kelihaian akting dua pemain muda ini juga patut diapresiasi karena membuat Kulari ke Pantai menjadi tontonan yang menyenangkan. Kalaupun ada yang kurang sreg, konflik yang ditawarkan cenderung datar saja, membuat akhir film terasa antiklimaks. Juga ada banyak hal menarik ditawarkan, tapi tidak pernah benar-benar dieksplorasi hingga mendalam.
Bertemu penjahat di sana juga menjadi imajinasi yang akrab di kepala anak-anak. Dari sini, lahirlah Petualangan Sherina. Film ini berhasil meraup jumlah penonton di bioskop hingga 1,1 juta, sebuah angka yang fantastis di tengah industri perfilman nasional yang baru mulai bangkit dari koma. Lalu, 18 tahun kemudian, keduanya membuat Kulari ke Pantai.
Tentu saja, dunia anak-anak sudah sangat jauh berbeda. Gaya liburan ke hutan sudah tidak lagi ngetren dan anak-anak lebih cepat dewasa. Yang kekinian bagi mereka sekarang adalah traveling ke berbagai tempat, menggeluti olahraga antimainstream nan “seksi”, serta fasih berbahasa Inggris sampaisampai melebihi kemampuan berbahasa ibu.
Inilah yang tergambar dalam film anak-anak terbaru karya Mira-Riri. Untuk menceritakan ini, Mira dan Riri masih menggunakan karakter bocah perempuan sebagai pusat cerita, sama seperti Petualangan Sherina . Kali ini bahkan rival sang tokoh utama juga perempuan. Mereka adalah sepasang sepupu yang sifatnya bertolak belakang, yaitu Sam (Maisha Kanna) dan Happy (Lil’li Latisha).
Sam adalah anak yang cenderung tomboi, berkulit agak hitam, dan berdandan berantakan. Hobinya berselancar (surfing ), sesuatu yang tidak sulit dilakukan setiap hari karena dia tinggal di Pulau Rote, NTT. Kepribadiannya sangat mirip karakter Sherina dalam film. Sementara Happy adalah anak perempuan khas perkotaan, senang dandan, kecanduan ponsel pintar, dikontrol peer pressure, dan selalu bicara dalam bahasa Inggris.
Merasa derajatnya lebih tinggi, Happy menganggap Sam adalah anak kampung yang norak. Tentu saja, mereka lalu harus menghabiskan waktu bersama dalam perjalanan lebih dari 1.000 km, naik mobil dari Jakarta hingga G-Land (Pantai Plengkung) di Banyuwangi demi bertemu peselancar bule idola Sam. Layaknya road movie , ditemani ibu Sam, Mama Uci (Marsha Timothy), keduanya pun harus bersama-sama menjalani momen seru dan sulit, kembali beradaptasi dan mengenal lagi satu dengan lainnya. Dalam perjalanan, hal-hal kekinian, seperti wisata kuliner, tempat wisata indah, dunia fotografi, dan surfing, diberi tempat yang cukup banyak oleh Mira dan Riri. Lewat skenario yang digarap keduanya bersama Gina S Noer dan Arie Kriting, Kulari ke Pantai juga menyelipkan komedi.
Skenario nakal menyindir para remaja yang jauh-jauh traveling hanya untuk berselfie ria dan ibu-ibu pencari bakat yang mengeksploitasi anak didiknya. Sementara sindiran orang Indonesia yang selalu berbahasa Inggris, padahal bicara dengan sesama orang Indonesia, berulang kali diungkapkan secara gamblang dalam film. Pujian juga patut diberikan pada skenario yang menempatkan Sam dan Happy sebagai anak-anak yang mampu berdamai dan menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa bantuan orang tua.
Kelihaian akting dua pemain muda ini juga patut diapresiasi karena membuat Kulari ke Pantai menjadi tontonan yang menyenangkan. Kalaupun ada yang kurang sreg, konflik yang ditawarkan cenderung datar saja, membuat akhir film terasa antiklimaks. Juga ada banyak hal menarik ditawarkan, tapi tidak pernah benar-benar dieksplorasi hingga mendalam.
(don)