Sutradara Adisurya Abdy Buat Film Sejarah Kekinian
A
A
A
SETELAH 14 tahun vakum, sutradara kawakan Adisurya Abdy akan hadir kembali dengan membesut film Stadhuis Schandaal.
Sutradara Bangku Kosong (2006), Asmara (1992), dan Bidadari Berambut Emas ini menyebut film tersebut sebagai film sejarah yang dibuat untuk generasi milenial. Bagi sineas kelahiran Medan, 29 Agustus 1956 ini, proyek film terbarunya tersebut sebagai ujicoba apakah dirinya masih peka terhadap selera penonton saat ini.
“Kelemahan film kita adalah mengangkat kisah nyata sejarah tapi tidak dalam format kekinian. Maksudnya adalah sejarah yang mengangkat intelektual, pengetahuan tapi dalam format hiburan dan pop,” kata Adisurya. Menurut pria yang kini menjabat sebagai kepada Sinematek tersebut, para pelaku industri perfilman, termasuk sutradara, tidak bisa menghindari hal itu karena penonton film di Tanah Air rata-rata dari kalangan berusia 12-27 tahun.
Untuk filmnya tersebut, Adisurya bersama timnya membangun sebuah set berupa tangsi dan benteng Belanda. Set khusus itu dibangun di atas tanah seluas 1.500 m2 di atas tanah milik PT. Inter Studio, di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain itu, untuk menghadirkan sebuah cerita dengan kemasan apik memanfaatkan teknologi computer generated imagery (CGI).
“Saya berusaha maksimal, baik dari unsur cerita dan teknologi. Karena, hasrat dan selera penonton terus berubah,” katanya. Lebih lanjut, dia mengungkapkan, setting waktu dalam film ini akan menghadirkan dua kurun waktu, yakni zaman kolonial pada abad ke-16 dan kekinian (modern).
Tidak hanya menyutradarai, Adisurya juga menulis skenario film yang mengambil lokasi pengambilan gambar di Jakarta Kota Tua, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan Shanghai. Stadhuis Schandaalmerupakan film yang diproduksi PT Xela Pictures. Kisahnya tentang Fei (diperankan Amanda Rigbi), seorang mahasiswi Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sedang mengerjakan tugas kampus mengenai The Old Batavia. Rencananya film dirilis pada pertengahan 2018.
Sutradara Bangku Kosong (2006), Asmara (1992), dan Bidadari Berambut Emas ini menyebut film tersebut sebagai film sejarah yang dibuat untuk generasi milenial. Bagi sineas kelahiran Medan, 29 Agustus 1956 ini, proyek film terbarunya tersebut sebagai ujicoba apakah dirinya masih peka terhadap selera penonton saat ini.
“Kelemahan film kita adalah mengangkat kisah nyata sejarah tapi tidak dalam format kekinian. Maksudnya adalah sejarah yang mengangkat intelektual, pengetahuan tapi dalam format hiburan dan pop,” kata Adisurya. Menurut pria yang kini menjabat sebagai kepada Sinematek tersebut, para pelaku industri perfilman, termasuk sutradara, tidak bisa menghindari hal itu karena penonton film di Tanah Air rata-rata dari kalangan berusia 12-27 tahun.
Untuk filmnya tersebut, Adisurya bersama timnya membangun sebuah set berupa tangsi dan benteng Belanda. Set khusus itu dibangun di atas tanah seluas 1.500 m2 di atas tanah milik PT. Inter Studio, di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain itu, untuk menghadirkan sebuah cerita dengan kemasan apik memanfaatkan teknologi computer generated imagery (CGI).
“Saya berusaha maksimal, baik dari unsur cerita dan teknologi. Karena, hasrat dan selera penonton terus berubah,” katanya. Lebih lanjut, dia mengungkapkan, setting waktu dalam film ini akan menghadirkan dua kurun waktu, yakni zaman kolonial pada abad ke-16 dan kekinian (modern).
Tidak hanya menyutradarai, Adisurya juga menulis skenario film yang mengambil lokasi pengambilan gambar di Jakarta Kota Tua, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan Shanghai. Stadhuis Schandaalmerupakan film yang diproduksi PT Xela Pictures. Kisahnya tentang Fei (diperankan Amanda Rigbi), seorang mahasiswi Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sedang mengerjakan tugas kampus mengenai The Old Batavia. Rencananya film dirilis pada pertengahan 2018.
(don)