ISEAS Luncurkan Buku Indonesia and The New World

Minggu, 15 Juli 2018 - 11:24 WIB
ISEAS Luncurkan Buku...
ISEAS Luncurkan Buku Indonesia and The New World
A A A
Kalangan ekonom berkumpul di Gedung Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta awal pekan ini. Para pakar ini meluncurkan sebuah buku yang membahas bagai mana pengalaman Indonesia dalam menghadapi pertentangan antara globalisasi, nasionalisme dan kedaulatan di masa lalu, saat ini, serta ke depan, terutama dalam kancah perubahan dunia.

Buku yang diterbitkan Insitute of Southeast Asian Studies (ISEAS) berjudul Indonesia and The New World: globalization, nationalism and sovereignty dengan penyunting Arianto A Patunru (ANU), Mari Pangestu (FEB-UI), dan M Chatib Basri(FEB-UI), memuat sejumlah tulisan dari ahli Indonesia serta internasional yang menganalisis isu-isu ini dari kacamata ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.

Isu-isu ini pernah dipresentasikan pada saat konferensi tahunan, Indonesia Update ke-35, di Australian National University (ANU). “Berbagai pandangan dalam buku ini dapat melahirkan inspirasi dan memperkaya sudut pandang kita dalam menganalisis masalah dan tantangan Indonesia ke depan, karena itu layak untuk mendapat perhatian, baik dari kalangan pemerintah, praktisi, dan akademisi,” kata ekonom senior Mari Elka Pangestu.

Buku ini berisi pandangan beberapa peneliti terkemuka yang membahas berbagai isu penting seputar globalisasi, nasionalisme, dan kedaulatan di Indonesia. Tulisan dalam buku ini mencakup sejarah keterlibatan Indonesia dengan dunia internasional, posisi Indonesia dalam konflik Laut China Selatan, serta merebaknya kembali nasionalisme di bidang ekonomi dan keamanan.

Secara ringkas, di bagian pertama buku ini dibahas pengalaman Indonesia dengan globalisasi nasionalisme dan kedaulatan. Di bidang ekonomi, keterbukaan ekonomi Indonesia terhadap perdagangan dan investasi yang pasang surut dalam perjalanan sejarah Indonesia serta memerlukan pemahaman akar ekonomi, sosial, dan budaya.

Sejak 1970-an, keterbukaan sering kali meningkat saat perlam batan atau krisis ekonomi karena adanya ke pentingan untuk menarik investasi, mendorong pertumbuhan perdagangan dan ekonomi.

Kecenderungan peningkatan proteksionisme saat ini dengan manifestasi, terutama peningkatan restriksi impor melalui instrumen nontarif, terpengaruh oleh keadaan politik dan ekonomi dalam negeri, mau pun kecenderungan sama yang terjadi secara global.

Buku ini juga membahas dampak globalisasi terhadap kemiskinan dan ketimpangan, nasib buruh serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya, terutama kaum perempuan. “Buku ini cukup komprehensif dalam mengupas berbagai pengalaman menghadapi globalisasi,” kata Mari.

Dalam buku tersebut diulas mengenai dimensi globalisasi saat ini semakin kompleks dan rumit, seperti pisau bermata dua. Globalisasi meningkatkan akses untuk memperbaiki taraf hidup dan meningkatkan kepekaan. Pada satu pihak, globalisasi memberi manfaat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan pendapatan per kapita, dan penurunan kemiskinan.

Globalisasi tak terbendung dan bahkan menjadi semacam kebutuhan pokok sehari-hari antara lain ketika manusia di berbagai pelosok dunia terhubung secara instan lewat media sosial. Namun di lain pihak, globalisasi juga meningkatkan kepekaan suatu negara pada berbagai guncangan dan dampak negatif globalisasi.

Akibatnya, sentimen antiglobalisasi meningkat. Pemicunya antara lain pengalaman pahit akibat krisis keuangan dunia serta ketimpangan ekonomi yang semakin lebar di depan mata karena keuntungan dari globalisasi tidak merata.

Buku tersebut juga membahas mengenai kompleksitas globalisasi memunculkan pilihan-pilihan politik, yang mengejutkan, seperti terpilihnya Presiden Duterte di Filipina, Donald Trump di Amerika Serikat, dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

Manifestasi dari pilihanpilihan tersebut berujung pada kebijakan-kebijakan yang umumnya cenderung lebih bersifat populis dan isolasionis sebagai upaya melindungi diri dari dampak globalisasi dan atas nama kedaulatan. Dalam beberapa hal, fenomena ini juga terasa di Indonesia.

Berbagai kebijakan serta diskursus publik diwarnai oleh semangat antiglobalisme. Dalam hal ekonomi, proteksionisme dan nasionalisme kem bali meningkat serta penolakan atas pengaruh asing dimanifestasikan ke dalam kebijakan, seperti pelarangan impor atas nama swasembada dan restriksi di bidang investasi.

Respons “melin dungi” seperti ini tidak bisa disalahkan, karena memang ada sisi gelap dari globalisasi, seperti kepekaan terhadap guncangan ekonomi, perdagangan manusia, penistaan pekerja migran, fake news, dan lainnya.

“Namun, seyogianya berbagai pengalaman itu mengharuskan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam merespons globalisasi agar mendukung desain kebijakan lebih tepat untuk menjawab isu yang muncul,” katanya. Pencapaian swasembada pangan misalnya, tidak harus diartikan melarang impor sama sekali.

Artinya, pendekatan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dengan harga terjangkau, termasuk dengan pengelolaan impor agar stok dalam negeri cukup dan harga stabil perlu ditekankan.

Swasembada sebagai target juga perlu dibarengi peningkatan produktivitas dan produksi dalam negeri sehingga mengurangi kepekaan terha dap guncangan eksternal, seperti kenaikan harga pangan yang dialami tahun 2008.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0999 seconds (0.1#10.140)