Batik Menarik karena Makna Motifnya
A
A
A
JAKARTA - Batik karya Iwan Tirta memang sudah melegenda, koleksinya mampu menjadi favorit pencinta batik. Motifnya sudah punya ciri khas sendiri, ada 13.000 motif di perpustakaan Irwan Tirta.
Bukan hanya karena motifnya yang indah, terdapat makna juga di dalamnya. Meskipun sang maestro tutup usia pada 2010 silam, pencinta batik masih tetap dapat menikmati karya Iwan Tirta melalui tangan dingin Era Soekamto. Era didaulat menjadi direktur kreatif Iwan Tirta Private Collection.
Baginya, sebuah kebanggaan dapat menjadi bagian dari tim Iwan Tirta. Bagi Era, menjalankan warisan Iwan Tirta harus mengerti sejarah. Sementara Era sudah paham sejarah jauh sebelum bergabung, passion -nya memang untuk sejarah Jawa, kerajaan, dan Nusantara.
“Karena saya mengerti, jadi paham benar Iwan melakukan riset dengan baik dan mengerti tentang sejarah. Semua ada setiap masa dari abad ke abad, kalau orang tidak mengerti akan dicampur. Untungnya saya tahu, saya tata dengan baik konsepnya disesuaikan dengan masa kini dan kebiasaan konsumen,” jelasnya.
Bagi Era, warisan Iwan Tirta bukan hanya dari seni, melainkan juga pemikiran seorang maestro. Edukasi yang Iwan riset Era mencoba merangkum sehingga orang dapat paham Iwan tidak asal desain, tetapi ada filosofi di balik motif yang dibuat. Iwan Tirta memiliki 11 galeri besar di Ibu Kota sehingga harus memproduksi 1.200 batik setiap bulan.
Produksi sebanyak itu dikerjakan oleh 600 perajin pribadi. “Kita menggunakan sistem terintegrasi agar manajemen waktunya baik, kualitas bagus, juga regenerasi. Jadi, semua dari hulu-hilir dikerjakan solid oleh tim mahakarya warisan Nusantara ini dengan luar biasa.
Luar biasa beruntungnya saya dapat bekerja bersama mereka yang semua sudah lengkap,” ungkapnya. Dalam hal motif, Era juga punya ciri khas sendiri. Dia senang menggunakan pakem sama halnya Iwan Tirta. Awalnya memang tren disetir oleh pasar seperti motif bunga.
Namun, ternyata Era berpikir lagi jika batik harus dikembalikan kepada akarnya berikut dengan cerita. “Akhirnya kami keluarkan motif-motif klasik yang ada pakemnya juga filosofi. Tren sekarang justru motif seperti itu yang disukai. Rupanya memang kita bisa mengarahkan orang untuk suka batik tidak hanya dari motif, namun makna di baliknya,” cerita Era.
Motif batik itu ada pesan moral, banyak motif yang berbicara tentang pencipta dari segala sisi. Namun, tetap manifestasinya ke moral; pesan moral ini yang sama orang dulu dikaitkan dengan acara-acara tertentu. Tidak heran masih ada yang menggunakan motif tertentu untuk digunakan dalam sebuah acara.
Motif juga sebuah doa seperti halnya orang yang membuat keris. Katanya keris bisa sampai berdiri bukan persoalan ada khodamnya, tapi sebetulnya keris itu memang ada energi seimbang yang terjadi dari si empu yang memberi niat. Niat itulah yang lestari jadi hal itu pula yang terjadi pada pembuatan batik.
Si empunya itu punya niat yang lestari, ada energi di dalamnya atau doa. Terkadang motif itu diambil juga dari bangunan di Keraton itu tentu ada maksudnya. Karena batik Iwan Tirta ini dibuat langsung oleh perajin atau batik tulis, tidak dapat dimungkiri harganya sebanding dengan mahakarya warisan sejarah Indonesia.
Kain batik dijual mulai Rp4 juta-Rp25 juta, sedangkan batik yang sudah dikreasikan menjadi atas pria dan wanita dibanderol mulai Rp4 juta. Satu lagi, desainer Indonesia Oscar Lawalata yang mulai serius menekuni batik dalam setiap rancangannya.
Oscar Lawalata Culture, begitu nama label batiknya yang dimulai sejak 2001. Oscar memiliki ciri khas pengolahan kain batik dalam warna dan detail-detail dalam pengerjaannya. Terjun untuk serius masuk dalam budaya Indonesia membuatnya mempelajari makna dan filosofi dari setiap motif.
“Bahkan, saya juga mengoleksi kain-kain batik antik sebagai referensi saya pribadi dalam membuat karyakarya saya sampai saat ini,” ujar Oscar. Salah satu yang dia suka dari batik ialah semua motif batik itu timeless atau tidak terpengaruh dengan waktu.
Tidak hanya dalam lingkup lokal, Oscar juga sudah membawa batik di kancah dunia. Belum lama ini Oscar mengikuti pergelaran Batik for The World di kantor pusat UNESCO, Paris, Prancis. Oscar tidak sendirian, Edward Hutabarat dan Denny Wirawan turut menggelar fashion show .
Pergelaran busana ini ditampilkan dalam gedung konferensi yang biasa digunakan untuk konferensi para anggota UNESCO dari seluruh dunia. Oscar sendiri membawa batik dari lima daerah di Jawa Timur, di antaranya Madura, Surabaya, Ponorogo, Trenggalek, dan Tuban dalam tampilan koleksi ready to wear.
Selain pergelaran busana yang membuka kegiatan Batik for The World ini, pengunjung juga dapat melihat pameran Batik Indonesia dari beragam daerah di Hall Miro dan Hall Segur, kantor pusat UNESCO, Paris.
Sekitar 100 kain batik Indonesia yang dikurasikan bersama Yayasan Batik Indonesia (YBI), Rumah Pesona Kain, dan Oscar Lawalata Culture ini menampilkan keragaman kekuatan motif batik-batik lawas yang khas hingga motif batik yang telah dikemas secara modern.
Serangkaian kegiatan lain yang dapat dijumpai pengunjung antara lain mendatangi area perajin yang akan menampilkan demo proses membuat kain batik hingga talkshow me ngenai industri batik Indonesia dan perkembangannya, tradisi batik dan budayanya, serta cara memakai kain batik itu sendiri.
Batik juga menjadi pilihan untuk busana muslim pria atau baju koko. Adalah Fahmi Hendrawan yang menampilkan batik asal Garut untuk label Fatih miliknya. Konsep baru ini memang sengaja ditampilkan agar baju koko bukan hanya untuk ke mesjid, namun untuk berbagai acara formal lainnya.
“Karena saya orang Garut juga, jadi ingin memopulerkan batik Garut yang menurut saya bagus. Orang tidak banyak tahu banyak ragam batik dari Garut yang indah potensinya sebenarnya besar. Saya ambil peluang dari potensi tersebut dan ingin agar batik Garut makin dikenal hingga seluruh dunia,” ujar Fahmi. (Ananda Nararya)
Bukan hanya karena motifnya yang indah, terdapat makna juga di dalamnya. Meskipun sang maestro tutup usia pada 2010 silam, pencinta batik masih tetap dapat menikmati karya Iwan Tirta melalui tangan dingin Era Soekamto. Era didaulat menjadi direktur kreatif Iwan Tirta Private Collection.
Baginya, sebuah kebanggaan dapat menjadi bagian dari tim Iwan Tirta. Bagi Era, menjalankan warisan Iwan Tirta harus mengerti sejarah. Sementara Era sudah paham sejarah jauh sebelum bergabung, passion -nya memang untuk sejarah Jawa, kerajaan, dan Nusantara.
“Karena saya mengerti, jadi paham benar Iwan melakukan riset dengan baik dan mengerti tentang sejarah. Semua ada setiap masa dari abad ke abad, kalau orang tidak mengerti akan dicampur. Untungnya saya tahu, saya tata dengan baik konsepnya disesuaikan dengan masa kini dan kebiasaan konsumen,” jelasnya.
Bagi Era, warisan Iwan Tirta bukan hanya dari seni, melainkan juga pemikiran seorang maestro. Edukasi yang Iwan riset Era mencoba merangkum sehingga orang dapat paham Iwan tidak asal desain, tetapi ada filosofi di balik motif yang dibuat. Iwan Tirta memiliki 11 galeri besar di Ibu Kota sehingga harus memproduksi 1.200 batik setiap bulan.
Produksi sebanyak itu dikerjakan oleh 600 perajin pribadi. “Kita menggunakan sistem terintegrasi agar manajemen waktunya baik, kualitas bagus, juga regenerasi. Jadi, semua dari hulu-hilir dikerjakan solid oleh tim mahakarya warisan Nusantara ini dengan luar biasa.
Luar biasa beruntungnya saya dapat bekerja bersama mereka yang semua sudah lengkap,” ungkapnya. Dalam hal motif, Era juga punya ciri khas sendiri. Dia senang menggunakan pakem sama halnya Iwan Tirta. Awalnya memang tren disetir oleh pasar seperti motif bunga.
Namun, ternyata Era berpikir lagi jika batik harus dikembalikan kepada akarnya berikut dengan cerita. “Akhirnya kami keluarkan motif-motif klasik yang ada pakemnya juga filosofi. Tren sekarang justru motif seperti itu yang disukai. Rupanya memang kita bisa mengarahkan orang untuk suka batik tidak hanya dari motif, namun makna di baliknya,” cerita Era.
Motif batik itu ada pesan moral, banyak motif yang berbicara tentang pencipta dari segala sisi. Namun, tetap manifestasinya ke moral; pesan moral ini yang sama orang dulu dikaitkan dengan acara-acara tertentu. Tidak heran masih ada yang menggunakan motif tertentu untuk digunakan dalam sebuah acara.
Motif juga sebuah doa seperti halnya orang yang membuat keris. Katanya keris bisa sampai berdiri bukan persoalan ada khodamnya, tapi sebetulnya keris itu memang ada energi seimbang yang terjadi dari si empu yang memberi niat. Niat itulah yang lestari jadi hal itu pula yang terjadi pada pembuatan batik.
Si empunya itu punya niat yang lestari, ada energi di dalamnya atau doa. Terkadang motif itu diambil juga dari bangunan di Keraton itu tentu ada maksudnya. Karena batik Iwan Tirta ini dibuat langsung oleh perajin atau batik tulis, tidak dapat dimungkiri harganya sebanding dengan mahakarya warisan sejarah Indonesia.
Kain batik dijual mulai Rp4 juta-Rp25 juta, sedangkan batik yang sudah dikreasikan menjadi atas pria dan wanita dibanderol mulai Rp4 juta. Satu lagi, desainer Indonesia Oscar Lawalata yang mulai serius menekuni batik dalam setiap rancangannya.
Oscar Lawalata Culture, begitu nama label batiknya yang dimulai sejak 2001. Oscar memiliki ciri khas pengolahan kain batik dalam warna dan detail-detail dalam pengerjaannya. Terjun untuk serius masuk dalam budaya Indonesia membuatnya mempelajari makna dan filosofi dari setiap motif.
“Bahkan, saya juga mengoleksi kain-kain batik antik sebagai referensi saya pribadi dalam membuat karyakarya saya sampai saat ini,” ujar Oscar. Salah satu yang dia suka dari batik ialah semua motif batik itu timeless atau tidak terpengaruh dengan waktu.
Tidak hanya dalam lingkup lokal, Oscar juga sudah membawa batik di kancah dunia. Belum lama ini Oscar mengikuti pergelaran Batik for The World di kantor pusat UNESCO, Paris, Prancis. Oscar tidak sendirian, Edward Hutabarat dan Denny Wirawan turut menggelar fashion show .
Pergelaran busana ini ditampilkan dalam gedung konferensi yang biasa digunakan untuk konferensi para anggota UNESCO dari seluruh dunia. Oscar sendiri membawa batik dari lima daerah di Jawa Timur, di antaranya Madura, Surabaya, Ponorogo, Trenggalek, dan Tuban dalam tampilan koleksi ready to wear.
Selain pergelaran busana yang membuka kegiatan Batik for The World ini, pengunjung juga dapat melihat pameran Batik Indonesia dari beragam daerah di Hall Miro dan Hall Segur, kantor pusat UNESCO, Paris.
Sekitar 100 kain batik Indonesia yang dikurasikan bersama Yayasan Batik Indonesia (YBI), Rumah Pesona Kain, dan Oscar Lawalata Culture ini menampilkan keragaman kekuatan motif batik-batik lawas yang khas hingga motif batik yang telah dikemas secara modern.
Serangkaian kegiatan lain yang dapat dijumpai pengunjung antara lain mendatangi area perajin yang akan menampilkan demo proses membuat kain batik hingga talkshow me ngenai industri batik Indonesia dan perkembangannya, tradisi batik dan budayanya, serta cara memakai kain batik itu sendiri.
Batik juga menjadi pilihan untuk busana muslim pria atau baju koko. Adalah Fahmi Hendrawan yang menampilkan batik asal Garut untuk label Fatih miliknya. Konsep baru ini memang sengaja ditampilkan agar baju koko bukan hanya untuk ke mesjid, namun untuk berbagai acara formal lainnya.
“Karena saya orang Garut juga, jadi ingin memopulerkan batik Garut yang menurut saya bagus. Orang tidak banyak tahu banyak ragam batik dari Garut yang indah potensinya sebenarnya besar. Saya ambil peluang dari potensi tersebut dan ingin agar batik Garut makin dikenal hingga seluruh dunia,” ujar Fahmi. (Ananda Nararya)
(nfl)