Franz Kafka Membongkar Relasi Bapak-Anak dalam Keluarga
A
A
A
Surat Franz Kafka menyingkap curiga. Relasi keluarga, terkhusus bapak-anak, dalam teks-teks sastra Kafka senantiasa sengit.
Kita mengingat Metamorfosis (Die Verwandlung), teks sastra terkenalnya. Metamorfosis dibuka dengan absurditas khas Kafka, “ketika Gregor Samsa bangun suatu pagi dari mimpi-mimpi buruknya dia menemukan dirinya berubah di atas tempat tidurnya menjadi seekor kecoa yang menakutkan.”
Kecoa mungkin simbol bagi gagasan tertentu, tapi kecoa dalam teks Kafka betul-betul kecoa. Samsa betul-betul menjelma kecoa. Kita mulai bertemu narasi terang, “dia [Samsa] hanyalah alat bagi atasannya, lemah dan bodoh... Atasan pasti akan datang dengan dokter dari asuransi kesehatan, akan mencela orang tuanya tentang kemalasan anak lelakinya.”
Kafka menggambarkan Samsa sangat menyadari kondisi buruk dan absurdnya. Namun, Samsa masih memiliki etos kerja, atau setidaknya keengganan, untuk membolos kerja dengan alasan sakit. Ia menduga, keputusan itu akan membuatnya diremehkan sebagai pemalas yang ogah-ogahan bekerja.
Seseorang sadar tubuhnya menjelma kecoa dan masih khawatir orang menilainya malas? Itulah Samsa. Ia merasa bertanggung jawab bekerja menghidupi keluarga. Seluruh beban ada di pundak Samsa, sekalipun ayah sebagai kepala keluarga masih hidup dan sehat walafiat.
“Telah menjadi perhatian utamanya untuk membantu keluarganya melupakan, secepat mungkin, bencana bisnis yang telah melemparkan mereka ke dalam kesengsaraan yang dalam.” Samsa menjalani itu dengan ikhlas.
Keluarganya senang karena secara finansial mereka terbantu, dan Samsa pun senang dapat menjadi anak yang “berguna” bagi keluarga. Finansial selamat, tapi relasi keluarga tak lagi hangat. “Hanya pada kakak perempuannya Gregor masih berhubungan dekat.”
Kehangatan sama sekali hilang dalam relasi bapak anak, antara Samsa dan ayahnya, seorang yang semestinya lebih bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga. “Dia [Samsa] telah tahu dari awal hidup barunya bahwa ayahnya hanya mempertimbangkan cara-cara paling keras untuk menangani dia.”
Metamorfosis diakhiri adegan ayah melempari Samsa (yang menjelma kecoa) dengan apel-apel, hingga salah satu apel menancap punggung Samsa dan menghabisinya. Di Metamorfosis, kita menjumpai ayah yang keras, anak yang dilimpahi beban dan rasa bersalah, serta saudara perempuan yang jadi satu-satunya kehangatan.
Kita lantas penasaran dan curiga pada situasi keluarga pengarang teks itu sendiri, Kafka. Kecurigaan kita terjawab lewat Brief an den Vater, yang diterjemahkan oleh Sigit Susanto ke bahasa Indonesia menjadi Surat untuk Ayah.
Surat panjang yang Kafka tujukan untuk ayahnya itu lebih tebal ketimbang Metamorfosis. Sigit menerangkan, “Surat untuk Ayah(Brief an den Vater) ini ditulis tangan oleh Kafka dan dititipkan ibunya, Julie Lowy Kafka, untuk diberikan ke ayahnya, Hermann Kafka, namun hingga Kafka meninggal dimungkinkan surat itu belum sampai di tangan sang ayah.
Surat ini ditulis di sebuah rumah sakit rehabilitasi penyakit tuberkulosis Kota Schelesen pada 1919.” Surat untuk Ayahadalah surat protes menyiratkan relasi sengit bapak-anak. Di suratnya, Kafka menempatkan ayahnya sebagai terdakwa atas kekacauan keluarga.
Namun, di surat itu pula, kita menyadari betapa kerdil Kafka dalam usaha melawan kekuasaan ayahnya. “Tentu saja aku pun sering membuatmu tersinggung dengan perkataanku, namun aku menyadarinya, meski itu pedih, tapi aku tak bisa menguasai diri, tak bisa menarik kembali perkataanku, aku menyesal selagi menggumamkan penyesalan itu,” tulis Kafka.
Masih ada kerendahdirian di suratnya meski ia bermaksud menyatakan protes keras. “Tapi, tanpa pikir panjang kau tetap menyemburkan makian, kau tetap menyemburkan makian, kau tak merasakan penyesalan kepada siapa pun, baik saat kau memaki maupun setelahnya, kau membuat orang lain tak berdaya menghadapimu.”
Kafka menghadapi marah, ketidaksukaan, dan sindiran ayahnya sejak ia bocah. Ayah mengatakan dan melakukan berbagai tindakan yang menanamkan beban serta rasa bersalah pada diri Kafka.
Alih-alih menguatkan, apa saja yang ditunjukkan ayah ke Kafka senantiasa melemahkan. Kafka, di suratnya, membalas dengan sindiran, “begitulah caramu mendidikku.
Kau punya, kukira, bakat mendidik anak.” Ayah mendidik Kafka dengan keras, namun tanpa merasa perlu jadi teladan. “Tulang tidak boleh dikunyah, tapi kau boleh melakukannya.
Cuka tidak boleh disesap hingga bersuara, tapi kau boleh melakukannya... Ayah, tolong pahami aku dengan benar: masalah-masalah itu adalah persoalan sepele, hal itu hanya membuatku tertekan karena itu berarti bahwa kau sendiri, sosok yang mencerminkan kekuasaan besar untukku, tidak melaksanakan perintah yang kaubebankan padaku.”
Surat untuk Ayahditulis Kafka dalam usia 36 tahun, masa puncak kreatifnya, sebelum meninggal lima tahun kemudian. Surat ditulis dalam kematangan usia dan daya pikir Kafka. Segala marah, kecewa, beban, dan rasa bersalah, dengan demikian, telah Kafka derita selama bertahuntahun.
Surat itu memang belum dipastikan sampai dan terbaca ayahnya. Namun, dengan akhirnya diterbitkan, surat itu dibaca dunia. Kita harus menerima kenyataan teks-teks sastra Kafka yang absurd dan dalam dilandasi situasi sengit keluarga.
Situasi itu berpangkal pada dua titik: bapak dan anak, namun memengaruhi segalanya: ibu, saudara perempuan, pembantu, calon menantu, dan lain-lain. Mahakarya sastra tak tercipta dalam kondisi mudah alias baik-baik saja.
Kita boleh mengingat Sigmund Freud. Kita menduga ayah tertanam dalam benak Kafka sejak bocah sebagai persecutory object, objek yang menakutkan dan membahayakan baginya. Kafka mengalami castration anxietydan itu terbawa sampai bahkan keusia matangnya.
Ayah tampil dengan kekerasan, tidak memberi anak (laki-laki) ke hangat an, adalah penyebab utama castration anxiety mengedap terlalu dalam. Tindakan dan kata-kata kasar ayah terbawa benak Kafka.
Ayah, dengan segala keburukannya, tak bisa Kafka hindari untuk ditampilkan dalam teksteks sastranya. Kita mengingat adegan terakhir novel Proses (Der Prozess), pada situasi hampir mati dan absurd, kalimat terakhir tokoh utamanya adalah makian yang sering ayah Kafka tujukan ke pembantu keluarga mereka, “seperti seekor anjing!”
Kita mengingat Metamorfosis (Die Verwandlung), teks sastra terkenalnya. Metamorfosis dibuka dengan absurditas khas Kafka, “ketika Gregor Samsa bangun suatu pagi dari mimpi-mimpi buruknya dia menemukan dirinya berubah di atas tempat tidurnya menjadi seekor kecoa yang menakutkan.”
Kecoa mungkin simbol bagi gagasan tertentu, tapi kecoa dalam teks Kafka betul-betul kecoa. Samsa betul-betul menjelma kecoa. Kita mulai bertemu narasi terang, “dia [Samsa] hanyalah alat bagi atasannya, lemah dan bodoh... Atasan pasti akan datang dengan dokter dari asuransi kesehatan, akan mencela orang tuanya tentang kemalasan anak lelakinya.”
Kafka menggambarkan Samsa sangat menyadari kondisi buruk dan absurdnya. Namun, Samsa masih memiliki etos kerja, atau setidaknya keengganan, untuk membolos kerja dengan alasan sakit. Ia menduga, keputusan itu akan membuatnya diremehkan sebagai pemalas yang ogah-ogahan bekerja.
Seseorang sadar tubuhnya menjelma kecoa dan masih khawatir orang menilainya malas? Itulah Samsa. Ia merasa bertanggung jawab bekerja menghidupi keluarga. Seluruh beban ada di pundak Samsa, sekalipun ayah sebagai kepala keluarga masih hidup dan sehat walafiat.
“Telah menjadi perhatian utamanya untuk membantu keluarganya melupakan, secepat mungkin, bencana bisnis yang telah melemparkan mereka ke dalam kesengsaraan yang dalam.” Samsa menjalani itu dengan ikhlas.
Keluarganya senang karena secara finansial mereka terbantu, dan Samsa pun senang dapat menjadi anak yang “berguna” bagi keluarga. Finansial selamat, tapi relasi keluarga tak lagi hangat. “Hanya pada kakak perempuannya Gregor masih berhubungan dekat.”
Kehangatan sama sekali hilang dalam relasi bapak anak, antara Samsa dan ayahnya, seorang yang semestinya lebih bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga. “Dia [Samsa] telah tahu dari awal hidup barunya bahwa ayahnya hanya mempertimbangkan cara-cara paling keras untuk menangani dia.”
Metamorfosis diakhiri adegan ayah melempari Samsa (yang menjelma kecoa) dengan apel-apel, hingga salah satu apel menancap punggung Samsa dan menghabisinya. Di Metamorfosis, kita menjumpai ayah yang keras, anak yang dilimpahi beban dan rasa bersalah, serta saudara perempuan yang jadi satu-satunya kehangatan.
Kita lantas penasaran dan curiga pada situasi keluarga pengarang teks itu sendiri, Kafka. Kecurigaan kita terjawab lewat Brief an den Vater, yang diterjemahkan oleh Sigit Susanto ke bahasa Indonesia menjadi Surat untuk Ayah.
Surat panjang yang Kafka tujukan untuk ayahnya itu lebih tebal ketimbang Metamorfosis. Sigit menerangkan, “Surat untuk Ayah(Brief an den Vater) ini ditulis tangan oleh Kafka dan dititipkan ibunya, Julie Lowy Kafka, untuk diberikan ke ayahnya, Hermann Kafka, namun hingga Kafka meninggal dimungkinkan surat itu belum sampai di tangan sang ayah.
Surat ini ditulis di sebuah rumah sakit rehabilitasi penyakit tuberkulosis Kota Schelesen pada 1919.” Surat untuk Ayahadalah surat protes menyiratkan relasi sengit bapak-anak. Di suratnya, Kafka menempatkan ayahnya sebagai terdakwa atas kekacauan keluarga.
Namun, di surat itu pula, kita menyadari betapa kerdil Kafka dalam usaha melawan kekuasaan ayahnya. “Tentu saja aku pun sering membuatmu tersinggung dengan perkataanku, namun aku menyadarinya, meski itu pedih, tapi aku tak bisa menguasai diri, tak bisa menarik kembali perkataanku, aku menyesal selagi menggumamkan penyesalan itu,” tulis Kafka.
Masih ada kerendahdirian di suratnya meski ia bermaksud menyatakan protes keras. “Tapi, tanpa pikir panjang kau tetap menyemburkan makian, kau tetap menyemburkan makian, kau tak merasakan penyesalan kepada siapa pun, baik saat kau memaki maupun setelahnya, kau membuat orang lain tak berdaya menghadapimu.”
Kafka menghadapi marah, ketidaksukaan, dan sindiran ayahnya sejak ia bocah. Ayah mengatakan dan melakukan berbagai tindakan yang menanamkan beban serta rasa bersalah pada diri Kafka.
Alih-alih menguatkan, apa saja yang ditunjukkan ayah ke Kafka senantiasa melemahkan. Kafka, di suratnya, membalas dengan sindiran, “begitulah caramu mendidikku.
Kau punya, kukira, bakat mendidik anak.” Ayah mendidik Kafka dengan keras, namun tanpa merasa perlu jadi teladan. “Tulang tidak boleh dikunyah, tapi kau boleh melakukannya.
Cuka tidak boleh disesap hingga bersuara, tapi kau boleh melakukannya... Ayah, tolong pahami aku dengan benar: masalah-masalah itu adalah persoalan sepele, hal itu hanya membuatku tertekan karena itu berarti bahwa kau sendiri, sosok yang mencerminkan kekuasaan besar untukku, tidak melaksanakan perintah yang kaubebankan padaku.”
Surat untuk Ayahditulis Kafka dalam usia 36 tahun, masa puncak kreatifnya, sebelum meninggal lima tahun kemudian. Surat ditulis dalam kematangan usia dan daya pikir Kafka. Segala marah, kecewa, beban, dan rasa bersalah, dengan demikian, telah Kafka derita selama bertahuntahun.
Surat itu memang belum dipastikan sampai dan terbaca ayahnya. Namun, dengan akhirnya diterbitkan, surat itu dibaca dunia. Kita harus menerima kenyataan teks-teks sastra Kafka yang absurd dan dalam dilandasi situasi sengit keluarga.
Situasi itu berpangkal pada dua titik: bapak dan anak, namun memengaruhi segalanya: ibu, saudara perempuan, pembantu, calon menantu, dan lain-lain. Mahakarya sastra tak tercipta dalam kondisi mudah alias baik-baik saja.
Kita boleh mengingat Sigmund Freud. Kita menduga ayah tertanam dalam benak Kafka sejak bocah sebagai persecutory object, objek yang menakutkan dan membahayakan baginya. Kafka mengalami castration anxietydan itu terbawa sampai bahkan keusia matangnya.
Ayah tampil dengan kekerasan, tidak memberi anak (laki-laki) ke hangat an, adalah penyebab utama castration anxiety mengedap terlalu dalam. Tindakan dan kata-kata kasar ayah terbawa benak Kafka.
Ayah, dengan segala keburukannya, tak bisa Kafka hindari untuk ditampilkan dalam teksteks sastranya. Kita mengingat adegan terakhir novel Proses (Der Prozess), pada situasi hampir mati dan absurd, kalimat terakhir tokoh utamanya adalah makian yang sering ayah Kafka tujukan ke pembantu keluarga mereka, “seperti seekor anjing!”
(don)