Efek Vape terhadap Kesehatan Lebih Buruk Ketimbang Rokok Biasa
A
A
A
JAKARTA - Banyak orang memilih untuk beralih ke rokok elektrik atau vape sebagai cara untuk mengurangi merokok atau mengurangi efek buruk rokok tradisional. Tapi, cara ini ternyata tidak efektif.
Sejumlah kajian menyebut, mereka yang merokok dan mengisap vape justru akan lebih sulit berhenti merokok. Sementara, sebuah kajian terbaru menyebutkan, efek vaping terhadap kesehatan justru lebih buruk ketimbang mereka yang mengisap rokok tradisional.
Penyebabnya adalah penambahan rasa di rokok elektrik. Para ilmuwan menemukan bahwa rasa yang ada di cairan rokok elektrik bisa berbahaya bagi paru-paru karena memicu peradangan. Mereka juga menemukan penggunaan vape dalam jangka pendek bisa menyebabkan lebih banyak kerusakan dalam tubuh ketimbang merokok.
Penemuan ini adalah bagian riset yang dilakukan Dr Constaninos Glynos dari University of Athens yang dipublikasikan di American Journal of Physiology-Lung Cellular. Glynos mencapai kesimpulannya setelah melakukan eksperimen terhadap tikus.
Dikutip dari Irish Post, sejumlah kelompok tikus mendapatkan paparan berbagai kombinasi kimia sebagai bagian dari uji coba. Tiap grup terekspos hingga 4 kombinasi kimia setiap hari, dengan tiap sesi berjarak 30 menit.
Satu grup mendapatkan asap rokok dan tiga lainnya mendapatkan vape. Dari grup yang mendapatkan vape, satu grup mendapatkan vape yang hanya berisi propylene glycol. Grup lain mendapatkan kombinasi propylene glycol dan nikotin, sementara grup terakhir mendapatkan vape dengan propylene glycol, nikotin dan rasa tembakau. Grup kelima mendapatkan udara normal.
Sejumlah tikus mengalami paparan selama tiga hari dan lainnya hingga 4 pekan karena peneliti ingin melihat efek jangka panjang dan jangka pendeknya. Hasilnya, peneliti menemukan peningkatan tanda peradangan, produksi mucus dan perubahan fungsi paru di 3 kelompok penerima vape hanya dalam waktu 3 hari. Sebaliknya, mereka yang terekspos propylene glycol, zat adiktif tak berwarna di makanan dan minuman olahan, menunjukkan sedikit efek negatif dalam paparan jangka panjang.
“Rokok elektrik diiklankan sebagai sistem pengiriman nikotin yang tidak terlalu berbahaya atau sebagai alat pengurang rokok baru. Penemuan kami mengindikasikan bahwa paparan terhadap asap rokok elektrik bisa memicu respons peradangan dan mempengaruhi mekanisme sistem pernapasan. Di banyak kasus, penambahan rasa pada rokok elektrik memperbesar efek merusak asap vape yang artinya sejumlah komponen rasa di pasaran mungkin tidak aman bahkan bagi penggunaan jangka pendek,” papar Glynos.
Rokok elektrik mengeluarkan asap yang dihasilkan dari cairan kimia yang secara tradisional mengandung propylene glycol, nikotin dan perasa. Dengan kajian yang mengemukakan fakta bahwa vape memicu level stres oksidatif atau kerusakan sel yang sama dengan rokok biasa, penemuan ini mengindikasikan perlunya dilakukan riset terhadap efek vaping terhadap kesehatan jangka panjang.
“Efek merusak yang diamati di paru akibat paparan asap rokok elektrik pada model hewan mengemukakan perlunya investigasi lebih lanjut terhadap keamanan dan bahaya vape yang terus meluas di seluruh dunia,” ujar Glynos.
Sejumlah kajian menyebut, mereka yang merokok dan mengisap vape justru akan lebih sulit berhenti merokok. Sementara, sebuah kajian terbaru menyebutkan, efek vaping terhadap kesehatan justru lebih buruk ketimbang mereka yang mengisap rokok tradisional.
Penyebabnya adalah penambahan rasa di rokok elektrik. Para ilmuwan menemukan bahwa rasa yang ada di cairan rokok elektrik bisa berbahaya bagi paru-paru karena memicu peradangan. Mereka juga menemukan penggunaan vape dalam jangka pendek bisa menyebabkan lebih banyak kerusakan dalam tubuh ketimbang merokok.
Penemuan ini adalah bagian riset yang dilakukan Dr Constaninos Glynos dari University of Athens yang dipublikasikan di American Journal of Physiology-Lung Cellular. Glynos mencapai kesimpulannya setelah melakukan eksperimen terhadap tikus.
Dikutip dari Irish Post, sejumlah kelompok tikus mendapatkan paparan berbagai kombinasi kimia sebagai bagian dari uji coba. Tiap grup terekspos hingga 4 kombinasi kimia setiap hari, dengan tiap sesi berjarak 30 menit.
Satu grup mendapatkan asap rokok dan tiga lainnya mendapatkan vape. Dari grup yang mendapatkan vape, satu grup mendapatkan vape yang hanya berisi propylene glycol. Grup lain mendapatkan kombinasi propylene glycol dan nikotin, sementara grup terakhir mendapatkan vape dengan propylene glycol, nikotin dan rasa tembakau. Grup kelima mendapatkan udara normal.
Sejumlah tikus mengalami paparan selama tiga hari dan lainnya hingga 4 pekan karena peneliti ingin melihat efek jangka panjang dan jangka pendeknya. Hasilnya, peneliti menemukan peningkatan tanda peradangan, produksi mucus dan perubahan fungsi paru di 3 kelompok penerima vape hanya dalam waktu 3 hari. Sebaliknya, mereka yang terekspos propylene glycol, zat adiktif tak berwarna di makanan dan minuman olahan, menunjukkan sedikit efek negatif dalam paparan jangka panjang.
“Rokok elektrik diiklankan sebagai sistem pengiriman nikotin yang tidak terlalu berbahaya atau sebagai alat pengurang rokok baru. Penemuan kami mengindikasikan bahwa paparan terhadap asap rokok elektrik bisa memicu respons peradangan dan mempengaruhi mekanisme sistem pernapasan. Di banyak kasus, penambahan rasa pada rokok elektrik memperbesar efek merusak asap vape yang artinya sejumlah komponen rasa di pasaran mungkin tidak aman bahkan bagi penggunaan jangka pendek,” papar Glynos.
Rokok elektrik mengeluarkan asap yang dihasilkan dari cairan kimia yang secara tradisional mengandung propylene glycol, nikotin dan perasa. Dengan kajian yang mengemukakan fakta bahwa vape memicu level stres oksidatif atau kerusakan sel yang sama dengan rokok biasa, penemuan ini mengindikasikan perlunya dilakukan riset terhadap efek vaping terhadap kesehatan jangka panjang.
“Efek merusak yang diamati di paru akibat paparan asap rokok elektrik pada model hewan mengemukakan perlunya investigasi lebih lanjut terhadap keamanan dan bahaya vape yang terus meluas di seluruh dunia,” ujar Glynos.
(alv)