A Star is Born Kisahkan Jatuh Bangunnya Kehidupan

Jum'at, 19 Oktober 2018 - 11:10 WIB
A Star is Born Kisahkan...
A Star is Born Kisahkan Jatuh Bangunnya Kehidupan
A A A
A Star is Born adalah film romansa, hanya bukan film romansa seperti yang kebanyakan orang pikirkan. Film remake keempat dari materi aslinya yang dirilis pada 1932 ini berusaha menguji cinta saat dipertarungkan dengan ketenaran dan jatuh bangun kehidupan.

Pada 1932, sebuah film berjudul What Price Hollywood? dilepas ke publik. Kisahnya tentang perempuan pramusaji yang bermimpi menjadi aktris di Hollywood. Mimpi itu terwujud begitu dia bertemu seorang sutradara yang menyukainya. Lima tahun kemudian atau pada 1937, garis besar cerita ini lalu diadaptasi menjadi film A Star is Born.

Film serupa berjudul sama lalu muncul lagi pada 1954, 1976, dan satu versi Bollywood Aashiqui 2 yang dirilis pada 2013. Sama dengan tiga film remake lainnya, A Star is Born versi 2018 mengambil setting panggung musik untuk menceritakan ulang romansa antara bintang baru dan jagoan lama dalam industri musik.

Premisnya memang mirip seperti sinetron, tetapi di tangan Bradley Cooper sebagai sutradara sekaligus pemain utama, eksekusi film ini tidak jatuh dalam adegan-adegan ala FTV. Cooper di sini memerankan Jackson Maine, seorang penyanyi country yang sukses, tetapi alkoholik.

Selepas manggung, dia datang ke dragbar, sebuah julukan untuk bar yang hiburannya diisi dan didatangi kaum LGBT. Di sana Jack bertemu Ally (Lady Gaga) seorang pramusaji yang juga penyanyi bar dan penulis lagu. Ally sangat berbakat, tetapi tidak kunjung menemukan jalan ketenaran.

Jack yang terpukau dengan Ally, baik bakat maupun tampangnya, lalu mengajak perempuan itu datang ke konsernya. Lebih dari itu, Jack bahkan menawarkan untuk bernyanyi bersama di panggung sambil menyanyikan lagu ciptaan Ally.

Singkat cerita, dari sekadar teman duet di konser Jackson, Ally lalu bersinar sebagai pacar Jakcson sekaligus penyanyi terkenal. Bersamaan dengan itu, karier Jack mulai menurun. Penyakit minum-minumnya semakin parah dan tentu semakin memperburuk kariernya.

Sebagai sebuah film musikal, tentu saja yang paling pertama menghibur penonton adalah Lady Gaga yang bernyanyi sekitar 5-6 lagu sepanjang film. Suaranya yang tebal, kadang beraura kelam, juga dramatis, benar-benar menjadi tontonan yang menyenangkan.

Dari bernyanyi lagu klasik La Vie en Rose, lagu pop country yang sangat easy listening, hingga lagu pop bertempo cepat kekinian, semua sanggup dilahap penyanyi berjuluk Mother Monster ini. Tidak hanya tepat secara vokal, tetapi juga mampu merasuk ke kalbu penonton.

Sementara itu, Bradley Cooper secara menakjubkan bertransformasi penuh sebagai seorang rock star. Bukan cuma dandanannya yang mirip musisi rock; rambut gondrong, cambang bauk, dan topi koboi, melainkan juga suaranya yang berat dan seksi bak penyanyi serupa Eddie Vedder.

Cooper memang sempat mengaku bahwa dia berkonsultasi dengan vokalis band rock Pearl Jam itu demi sukses memerankan seorang musisi karismatik. Hasilnya, tiap kali melihat dan mendengar Cooper alias Jackson bernyanyi, kita mungkin akan berharap Cooper menambah satu lagi profesinya, yaitu sebagai musisi betulan .

Sedikit berbeda dengan Gaga yang terlihat lebih meyakinkan saat dia bernyanyi dibanding saat berakting sebagai Ally. Tidak hanya tampil jempolan sebagai pemain, Cooper juga sanggup menyajikan gambar-gambar indah yang bisa menambah kekuatan dalam mengaduk emosi penonton.

Scene konser yang memperlihatkan tumpukan penonton, scene intim Jack dan Ally, hingga scene getir hidup Jack, semuanya tampil memukau dan menyentuh hati tanpa harus lebay.

Memang dibanding menyorot cerita Ally, A Star is Born sesungguhnya lebih berkisah pada cerita Jackson; tentang trauma masa kecilnya berayah seorang alkoholik, perang dinginnya dengan sang kakak yang justru adalah orang yang paling mendukungnya sebagai musisi, juga kesulitannya untuk benarbenar lepas dari alkohol.

Bahkan, hingga menjelang akhir film, penonton hanya bisa menyaksikan pergulatan batin yang dialami Jackson, bukan yang dialami Ally. Kalau boleh dibilang, inilah mungkin satu-satunya kelemahan film ini.

Ally seperti hanya objek belaka. Misalnya, skenario tidak menggali lebih dalam apa yang sesungguhnya dirasakan Ally saat dia dipaksa mengubah citra dirinya (lengkap dengan iring-iringan penari tiap kali manggung) untuk menjadi pop star.

Padahal, menunjukkan bahwa Ally juga punya kerumitan hidupnya sendiri di luar hubungannya dengan Jackson juga penting demi gambaran utuh tentang sosoknya.

Di luar karakter Ally yang seperti emotionless sebagai seorang bintang baru sekaligus penyanyi terkenal, A Star is Born tetaplah film yang menyentuh. Tidak hanya dengan kata-katanya, juga dengan lagu-lagunya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0430 seconds (0.1#10.140)