Peter Dinklage, Si Tuan Besar Game Of Thrones
A
A
A
PETER Dinklage jadi pusat perhatian karena kemampuan aktingnya yang luar biasa. Seperti apa perjalanan hidup aktor Game of Thrones itu? Pada 11 Juni 1969 adalah hari yang tidak pernah dilupakan pasangan suami-istri John dan Diane Dinklage. Pada hari musim panas yang cerah itu, anak kandung pertama mereka, Peter Dinklage lahir.
Proses persalinan berjalan lancar tanpa ada halangan berarti. Kebahagiaan Diane semakin sempurna karena sang suami, John, setia menemani hingga Peter Dinklage lahir. Namun, tatapan mata dokter yang mengawali persalinan tersebut terlihat mengganggu pikirannya.
Dia langsung merasa ada yang salah dengan anak pertamanya itu. Dokter terlihat ragu-ragu kala melihat Peter Dinklage lebih dekat. Ada sedikit rasa waswas yang menyeruak di sudut mata sang dokter. “Saya tahu sepertinya ada yang salah namun dokter sepertinya ragu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak mengatakan apa yang salah dengan anak saya,” ujar Diane seperti dikutip dari The Sun.
Kecemasan Diane semakin menjadi-jadi karena pihak rumah sakit tidak memberitahukan keadaan sebenarnya. Dia hanya menangis sedih setiap kali melihat dokter berusaha menarik-narik tangan dan kaki anak kandung pertamanya itu. Saudara angkatnya, Jonathan Dinklage, juga tak kalah sedih melihat adiknya terus-terusan menangis karena ditarik-tarik anggota tubuhnya.
Seiring waktu treatment yang dilakukan rumah sakit tidak ampuh juga. Akhirnya mereka memberitahukan kepada Diane dan John bahwa anak mereka mengalami achondroplasia atau tubuh kerdil. Peter Dinklage akan tetap kecil meskipun usianya bertambah tua.
Diane dan John langsung terkejut dengan vonis itu. Mereka tidak pernah sekalipun mendengar penyakit bernama achondroplasia. “Kami tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada internet seperti sekarang waktu itu. Kami benar-benar bingung,” kata Diane.
Meski bingung, semangat Diane dan John untuk memberikan yang terbaik kepada anaknya tidak kunjung padam. Mereka membawa Peter Dinklage ke berbagai dokter untuk mendapatkan penanganan. Mereka melihat dengan sedih ketika dokter melakukan berbagai operasi di kaki-kaki mungil Peter Dinklage.
Di rumah, mereka bahkan dengan kreatif membuat berbagai mainan agar anak mereka bisa meregangkan badannya sehingga jadi lebih tinggi. Namun, semuanya berakhir sia-sia karena Peter Dinklage memang tidak akan pernah tinggi.
“Saat itu, saya berada pada satu titik di mana saya bukan lagi mengubah dia menjadi orang normal. Saya harus menyiapkan dirinya untuk mampu menghadapi masa-masa sulit ke depan nanti. Dia harus percaya bahwa kekurangannya tidak akan sama sekali mengganggu hidupnya,” kata Diane.
Peter Dinklage memang beruntung mendapatkan kedua orang tua yang sangat suportif akan kekurangan dirinya. Dia sama sekali tidak pernah merasa berbeda meskipun tubuhnya tidak pernah sama dengan keluarganya.
Termasuk ketika dia membuka pintu masuk lainnya, yakni masa-masa sekolah. Peter tidak pernah merasa bahwa dirinya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Dia tetap percaya diri bergaul dengan semua orang.
Tidak ada keinginan untuk mengucilkan diri karena tubuhnya yang kecil. Sejujurnya, Peter kepada New York Times mengakui, ada rasa kecewa ketika dia terlahir berbeda. Namun, dia melihat langsung betapa keluarganya menghadirkan dunia yang sama untuk dirinya.
Dunia yang dijalani oleh orang normal lainnya. “Saya sangat beruntung memiliki mereka sehingga saya bisa menerima diri saya apa adanya,” ucap Peter. Dukungan keluarga juga begitu terasa saat Peter memutuskan menjadi seorang aktor.
Kecintaan Peter pada dunia seni peran memang sangat tinggi. Sejak kecil dan remaja, Peter memang selalu bergumul dengan dunia seni peran. Bahkan, saat lulus dari pendidikan menengah, Peter langsung pindah ke New York untuk mencoba dunia seni peran.
Padahal Diane tahu betul dunia seni peran kerap diskriminatif pada orang-orang bertubuh mungil. “Apa yang akan dia perani di dunia itu selain menjadi seorang dwarf dan karakter bertubuh kecil lainnya,” keluh Diane.
Hanya saja, Peter sudah berketetapan hati dan selalu bertekad bahwa dia tidak akan pernah ingin dilihat karena tubuhnya yang mungil. Itulah mengapa saat sampai di New York, dia tidak pernah menerima tawaran karakter bertubuh kecil di berbagai drama teater.
Tidak ingin mengandalkan tubuhnya sebagai alat jual, Peter memoles kemampuan aktingnya dengan baik. Kemampuan akting inilah yang kemudian dilirik aktor senior Hollywood, Steve Buscemi, yang mengajaknya bermain di film Living in Oblivion .
Steve Buscemi bahkan memberikan surat rekomendasi kepada rekannya, Alexandre Rockwell, akan kemampuan Peter. Sutradara film 13 Moons tersebut bahkan langsung membuat Peter sebagai aktor favoritnya. Banyak film buatan Alexandre diperani Peter.
“Setiap saya melihat dia, saya selalu teringat orang-orang mungil. Nyatanya setiap kali bekerja, dia benar-benar melampaui apa yang dikerjakan aktor pada umumnya. Personalitasnya jauh lebih penting ketimbang fisiknya,” kata Alexandre. Bakat dan kemampuan akting yang besar inilah membuat Peter terus bersinar.
Dia kemudian diajak bermain di film dengan biaya besar, Station Agent. Film inilah yang melambungkan namanya. Sekali lagi saat itu orang tidak melihat fisik Peter sebagai jualan utama. Termasuk ketika produser Game of Thrones mengajak Peter ikut ambil bagian.
Peter sama sekali tidak melakukan audisi untuk serial televisi tersebut. Mereka yang justru meminta Peter memainkan peran Tyrion Lannister. “Saya cuma minta tidak ada jenggot panjang dan baju khas dwarf,” kata Peter. Serial ini justru semakin melambungkan nama Peter.
Dia berhasil meraih Emmy Awards dan Golden Globe untuk karakter tersebut. George R.R Martin, penulis novel Game of Thrones bahkan sangat takjub melihat karakter Tyrion Lannister yang diperani Peter.
Dia sangat yakin Peter berhasil menghidupkan karakter Tyrion Lannister. “Dia jadi orang besar di serial itu,” ujarnya. Sisi kreatif Peter juga semakin tajam. Setelah Game of Thrones berakhir, dalam waktu dekat ini dia sudah menyelesaikan dan memproduseri film berjudul My Dinner With Herve.
Film ini bercerita tentang sosok mungil lainnya di Hollywood yang begitu fenomenal, Herve Villechaize. Di balik ambisinya begitu besar, Peter memang memiliki kepedulian tinggi pada rekanrekannya yang mengalami Achondroplasia.
Dia membuat shelter bagi orang-orang dengan achondroplasia yang telantar. Kepeduliannya yang tinggi inilah membuat New York Times bertanya, apakah dirinya ingin menjadi duta bagi para manusia bertubuh mungil? “Saya rasa semua orang memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Saat saya berhasil menjalani ini dengan baik, bukan berarti ini jadi alasan saya lebih baik dari yang lainnya,” kata Peter.
Proses persalinan berjalan lancar tanpa ada halangan berarti. Kebahagiaan Diane semakin sempurna karena sang suami, John, setia menemani hingga Peter Dinklage lahir. Namun, tatapan mata dokter yang mengawali persalinan tersebut terlihat mengganggu pikirannya.
Dia langsung merasa ada yang salah dengan anak pertamanya itu. Dokter terlihat ragu-ragu kala melihat Peter Dinklage lebih dekat. Ada sedikit rasa waswas yang menyeruak di sudut mata sang dokter. “Saya tahu sepertinya ada yang salah namun dokter sepertinya ragu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak mengatakan apa yang salah dengan anak saya,” ujar Diane seperti dikutip dari The Sun.
Kecemasan Diane semakin menjadi-jadi karena pihak rumah sakit tidak memberitahukan keadaan sebenarnya. Dia hanya menangis sedih setiap kali melihat dokter berusaha menarik-narik tangan dan kaki anak kandung pertamanya itu. Saudara angkatnya, Jonathan Dinklage, juga tak kalah sedih melihat adiknya terus-terusan menangis karena ditarik-tarik anggota tubuhnya.
Seiring waktu treatment yang dilakukan rumah sakit tidak ampuh juga. Akhirnya mereka memberitahukan kepada Diane dan John bahwa anak mereka mengalami achondroplasia atau tubuh kerdil. Peter Dinklage akan tetap kecil meskipun usianya bertambah tua.
Diane dan John langsung terkejut dengan vonis itu. Mereka tidak pernah sekalipun mendengar penyakit bernama achondroplasia. “Kami tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada internet seperti sekarang waktu itu. Kami benar-benar bingung,” kata Diane.
Meski bingung, semangat Diane dan John untuk memberikan yang terbaik kepada anaknya tidak kunjung padam. Mereka membawa Peter Dinklage ke berbagai dokter untuk mendapatkan penanganan. Mereka melihat dengan sedih ketika dokter melakukan berbagai operasi di kaki-kaki mungil Peter Dinklage.
Di rumah, mereka bahkan dengan kreatif membuat berbagai mainan agar anak mereka bisa meregangkan badannya sehingga jadi lebih tinggi. Namun, semuanya berakhir sia-sia karena Peter Dinklage memang tidak akan pernah tinggi.
“Saat itu, saya berada pada satu titik di mana saya bukan lagi mengubah dia menjadi orang normal. Saya harus menyiapkan dirinya untuk mampu menghadapi masa-masa sulit ke depan nanti. Dia harus percaya bahwa kekurangannya tidak akan sama sekali mengganggu hidupnya,” kata Diane.
Peter Dinklage memang beruntung mendapatkan kedua orang tua yang sangat suportif akan kekurangan dirinya. Dia sama sekali tidak pernah merasa berbeda meskipun tubuhnya tidak pernah sama dengan keluarganya.
Termasuk ketika dia membuka pintu masuk lainnya, yakni masa-masa sekolah. Peter tidak pernah merasa bahwa dirinya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Dia tetap percaya diri bergaul dengan semua orang.
Tidak ada keinginan untuk mengucilkan diri karena tubuhnya yang kecil. Sejujurnya, Peter kepada New York Times mengakui, ada rasa kecewa ketika dia terlahir berbeda. Namun, dia melihat langsung betapa keluarganya menghadirkan dunia yang sama untuk dirinya.
Dunia yang dijalani oleh orang normal lainnya. “Saya sangat beruntung memiliki mereka sehingga saya bisa menerima diri saya apa adanya,” ucap Peter. Dukungan keluarga juga begitu terasa saat Peter memutuskan menjadi seorang aktor.
Kecintaan Peter pada dunia seni peran memang sangat tinggi. Sejak kecil dan remaja, Peter memang selalu bergumul dengan dunia seni peran. Bahkan, saat lulus dari pendidikan menengah, Peter langsung pindah ke New York untuk mencoba dunia seni peran.
Padahal Diane tahu betul dunia seni peran kerap diskriminatif pada orang-orang bertubuh mungil. “Apa yang akan dia perani di dunia itu selain menjadi seorang dwarf dan karakter bertubuh kecil lainnya,” keluh Diane.
Hanya saja, Peter sudah berketetapan hati dan selalu bertekad bahwa dia tidak akan pernah ingin dilihat karena tubuhnya yang mungil. Itulah mengapa saat sampai di New York, dia tidak pernah menerima tawaran karakter bertubuh kecil di berbagai drama teater.
Tidak ingin mengandalkan tubuhnya sebagai alat jual, Peter memoles kemampuan aktingnya dengan baik. Kemampuan akting inilah yang kemudian dilirik aktor senior Hollywood, Steve Buscemi, yang mengajaknya bermain di film Living in Oblivion .
Steve Buscemi bahkan memberikan surat rekomendasi kepada rekannya, Alexandre Rockwell, akan kemampuan Peter. Sutradara film 13 Moons tersebut bahkan langsung membuat Peter sebagai aktor favoritnya. Banyak film buatan Alexandre diperani Peter.
“Setiap saya melihat dia, saya selalu teringat orang-orang mungil. Nyatanya setiap kali bekerja, dia benar-benar melampaui apa yang dikerjakan aktor pada umumnya. Personalitasnya jauh lebih penting ketimbang fisiknya,” kata Alexandre. Bakat dan kemampuan akting yang besar inilah membuat Peter terus bersinar.
Dia kemudian diajak bermain di film dengan biaya besar, Station Agent. Film inilah yang melambungkan namanya. Sekali lagi saat itu orang tidak melihat fisik Peter sebagai jualan utama. Termasuk ketika produser Game of Thrones mengajak Peter ikut ambil bagian.
Peter sama sekali tidak melakukan audisi untuk serial televisi tersebut. Mereka yang justru meminta Peter memainkan peran Tyrion Lannister. “Saya cuma minta tidak ada jenggot panjang dan baju khas dwarf,” kata Peter. Serial ini justru semakin melambungkan nama Peter.
Dia berhasil meraih Emmy Awards dan Golden Globe untuk karakter tersebut. George R.R Martin, penulis novel Game of Thrones bahkan sangat takjub melihat karakter Tyrion Lannister yang diperani Peter.
Dia sangat yakin Peter berhasil menghidupkan karakter Tyrion Lannister. “Dia jadi orang besar di serial itu,” ujarnya. Sisi kreatif Peter juga semakin tajam. Setelah Game of Thrones berakhir, dalam waktu dekat ini dia sudah menyelesaikan dan memproduseri film berjudul My Dinner With Herve.
Film ini bercerita tentang sosok mungil lainnya di Hollywood yang begitu fenomenal, Herve Villechaize. Di balik ambisinya begitu besar, Peter memang memiliki kepedulian tinggi pada rekanrekannya yang mengalami Achondroplasia.
Dia membuat shelter bagi orang-orang dengan achondroplasia yang telantar. Kepeduliannya yang tinggi inilah membuat New York Times bertanya, apakah dirinya ingin menjadi duta bagi para manusia bertubuh mungil? “Saya rasa semua orang memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Saat saya berhasil menjalani ini dengan baik, bukan berarti ini jadi alasan saya lebih baik dari yang lainnya,” kata Peter.
(don)