Bohemian Rhapsody, Alur Kisah yang Mengaduk Emosi

Sabtu, 03 November 2018 - 08:12 WIB
Bohemian Rhapsody, Alur...
Bohemian Rhapsody, Alur Kisah yang Mengaduk Emosi
A A A
APA yang diharapkan saat akan menonton film biopik tentang Freddie Mercury dan band-nya, Queen? Jawabnya bisa bergantung pada “ kacamata “ yang digunakan saat menonton, apakah sebagai seorang kritikus film atau sebagai penggemar seni.

Rotten Tomatoes menilai film Bohemian Rhapsody dengan simbol tomat busuk berskor 55% dari nilai sempurna 100%. Ini adalah situs web yang merupakan agregasi dari ulasan para kritikus film dunia.

Beberapa kritikus yang mencemooh film ini berkomentar bahwa filmnya tidak menyajikan cerita mendalam, klise, dan cenderung menampilkan karakter-karakter di sekitar Freddie Mercury secara satu sisi saja, miskin dimensi. Yang disampaikan para kritikus memang tidak salah. Kritikan ini pun sebenarnya sudah bisa diduga.

Seperti diketahui, dua pentolan Queen, yaitu gitaris Brian May dan drumer Roger Taylor, juga duduk sebagai produser film ini. Keduanya sejak awal menginginkan Bohemian Rhapsody menjadi film yang bisa merangkul banyak kelas penonton, bukan film yang kelam dengan karakter kompleks.

Ini tentu saja tanpa menyembunyikan fakta bahwa Freddie adalah seorang homoseksual yang meninggal karena HIV/AIDS. Dengan patokan awal seperti ini, sebenarnya sudah bisa ditebak bahwa Bohemian Rhapsody akan mengambil langkah yang aman-aman saja dalam menceritakan kisah hidup Freddie dan Queen.

Tidak perlu sok indie, sok eksperimental, apalagi menampilkan Freddie dengan karakter nyaris antagonis seperti yang dilakukan Danny Boyle dan Aaron Sorkin saat bercerita tentang hidup Steve Jobs dalam Steve Jobs (2015).

Intinya, Bohemian Rhapsody adalah film glorifikasi untuk Freddie dan Queen. Meski begitu, apakah berarti ini menjadi film yang membosankan dan buruk? Jawabnya jelas tidak.

Film dimulai saat Freddie (Rami Malek) masih menggunakan nama aslinya, Farrokh Bulsara. Dia adalah generasi kedua dari keluarganya yang orang Parsi, sebutan untuk komunitas penganut agama Zoroaster (Majusi) yang bermigrasi dari Iran ke India.

Saat itu tahun 1970, keluarga Freddie sudah tinggal di London. Freddie juga mulai menjadi pemuda pemberontak. Dia ogah pakai nama asli pemberian orang tua, rajin menyambangi bar dan klub, dan tidak pernah akur dengan ayahnya yang menuntut Freddie menjadi anak baik-baik sesuai tuntunan agama.

“Pikiran baik, ucapan baik, perilaku baik,” begitu sindir ayahnya tiap kali Freddie bergaya urakan dan menentang orang tua. Namun, Freddie tetap dengan prinsipnya.

Cerita selanjutnya pun mengalir seperti yang sudah tertulis dalam sejarah. Dia membangun Queen bersama Brian May (Gwilym Lee), Roger Taylor (Ben Hardy), dan John Deacon (Joseph Mazzello) dan berjaya bersama.

Dia juga bertemu cinta platoniknya, Mary Austin (Lucy Boynton), dan cinta matinya, Jim Hutton (Aaron McCusker). Film ini membagibagi kehidupan Freddie sebagai vokalis Queen dan personal.

Yang menarik, atmosfer yang bercerita dua bagian ini dibuat berbeda 180 derajat. Kalau bercerita tentang Queen, aura kocak ala komedi Inggris yang muncul dalam dialogdialognya.

Misalnya, saat Freddie melamar sebagai vokalis Queen dan disindir gigi tonggosnya atau saat Roger mengamuk soal lagu ciptaannya yang dihina Brian. “Cukup satu histerical queen saja dalam band ini,” teriak Freddie sambil meninggalkan keduanya.

Dalam bagian ini, ketiga personel Queen lainnya memang hanya dipasang sebagai pemanis. Roger digambarkan sebagai orang yang moody dan senang ngajak ribut.

Sementara Brian diplot sebagai penengah konflik. Adapun John menjadi yang paling tidak penting dalam grup ini. Penggambaran karakter yang dangkal ini menjadi tidak terlalu pen ting lagi karena tiap kali keempatnya bersama di satu layar, suasana terasa segar dan kocak.

Singkat kata, di bagian ini, Bohemian Rhapsody sukses menghibur. Sementara kalau film bercerita tentang kehidupan pribadi Freddie, aura kesedihan yang menonjol.

Perasaan kesepian di tengah kesuksesan Queen, meski hanya tampil sekilas, sangat terasa dan sampai ke hati penonton. Lihat saja adegan saat Freddie yang begitu kesepian pada malam hari, lalu mencoba berkomunikasi dengan Mary yang tinggal di seberang rumahnya.

Rasanya hati ikut trenyuh saat melihat ekspresi Freddie yang penuh kehampaan saat tahu Mary tidak lagi selalu ada untuknya. Begitu juga adegan saat Freddie mengenalkan Jim Hutton kepada keluarganya. Satu adegan singkat antara Freddie dan ayahnya sangat berpotensi mengundang jebolnya bendungan air mata penonton.

Puncaknya saat penonton disajikan adegan konser Live Aid tahun 1985 di Stadion Wembley, London, yang sekaligus menjadi konser terakhir Freddie di panggung mahabesar itu. Inilah bagian terbaik film ini, yaitu saat semua elemen seni bergabung dan menghasilkan sebuah tontonan yang menakjubkan.

Akting Rami Malek lengkap dengan geraknya, lagulagu hit Queen yang dibawakan, euforia penonton, termasuk halhal kecil seperti dua orang yang ongkang-ongkang kaki menonton konser di belakang panggung, semuanya berhasil direkonstruksi ulang dengan sempurna dalam film ini.

Kalau tidak percaya, cobalah cek video Queen di YouTube saat konser Live Aid. Elemen-elemen dalam film ini, yaitu pemilihan pemain yang sangat tepat, akting Rami Malek yang luar biasa, lagu-lagu populer Queen, komedi yang pas, serta kesenduan yang tampil tanpa perlu dramatisasi inilah yang membuat Bohemian Rhapsody menjadi sebuah tontonan seni yang menyenangkan.

Ini pula yang membuat film ini akan sulit lepas dari ingatan, bahkan setelah berhari-hari menontonnya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6263 seconds (0.1#10.140)