Kepribadian Ganda dan Horor Bernama Pria
A
A
A
SUTRADARA Harry Dagoe Suharyadi datang lagi dengan membawa tema cerita yang serius dan berat. Namun, kali ini dengan kemasan yang diharapkan bisa lebih menghibur.
Harry Dagoe dikenal sebagai sutradara dengan semangat indie. Meski secara portofolio dia lebih banyak membuat film untuk jalur mainstream, namanya lebih sering disebut sebagai sutra dara yang suka nekat mengambil risiko.
Film panjang pertamanya, Pachinko and Everyoneís Happy (2000), dengan intim meng ambil kisah para perempuan dari keluarga tiga generasi di Tokyo, yang bekerja sebagai geisha dan bintang film porno.
Sementara film terakhirnya sebelum Keira, yaitu Sunya (2016) bercerita tentang kehidupan mistis di Jawa, tapi dengan pendekatan yang cenderung eksperimental. Dalam Keira, Harry masih setia dengan cerita yang “anehaneh”, tapi kali ini dia memilih jalan yang lebih moderat; membuat film yang bisa lebih mudah dicerna penonton kebanyakan.
Nyatanya, mendamaikan idealisme dengan selera pasar memang bukan perkara mudah. Judul film ini diambil dari sosok Keira (Angelica Simperler), seorang gadis lembut nan mandiri yang tinggal di Lampung. Di balik kelembutannya, Keira menyimpan trauma mendalam, yang membuatnya memiliki tujuh kepribadian berbeda dalam tubuhnya.
Tiap kali satu kepribadian mengambil alih tubuhnya, Keira tak pernah sadar. Dia hanya merasa pingsan berhari-hari. Gara-gara ini pula, peker jaannya sebagai pemandu lokal untuk syuting sebuah film di Lampung sering terbengkalai.
Adalah trauma masa kecil yang membuatnya seperti itu. Keira kecil kerap kali menyaksikan ayahnya (Yan Widjaya) melakukan kekerasan fisik berat terhadap ibu Keira (Tirta Siregar). Dari trauma dan beragam pengalaman masa kecilnya, lahirlah kepribadian-kepribadian yang antipati pada pria dalam tubuh Keira.
Mulai dari Rachel dan Irene (Tiga Setia Gara) si penggoda sekaligus pembenci pria, hingga Sari Asih (Gabriella Cecilia) yang rela membunuh tiap kali ada lelaki yang berani menjahati Keira.
Demi memudahkan penonton memahami jalan cerita, film ini menggunakan aktris dan aktor lain untuk memerankan karakterkarak ter lain dari Keira. Namun, dibandingkan bercerita secara runut, Harry lebih memilih bertutur dengan memberikan kepingan-kepingan puzzle kehidupan Keira.
Di sinilah kenikmatan menonton agak terganggu karena Keira tidak didukung penyuntingan adegan yang apik. Belum lagi color grading film yang terasa lepas dari roh film yang mencekam dan kelam.
Untungnya, latar musik buatan Vicky Sianipar cukup membantu mengembalikan atmosfer thriller dalam cerita. Nah yang juga disayangkan adalah kurang dibangunnya kedekatan emosional antara Keira dan Gunawan (Ferly Putra), pria baik-baik yang jatuh cinta kepadanya.
Pada hal, bagian ini jadi elemen penting jika ingin membawa penonton lebih dalam masuk dalam semesta yang dialami Keira. Namun begitu, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, film ini masih mampu memberikan gambaran kompleksnya hidup seorang dengan kepribadian ganda, sekaligus berempati besar kepadanya.
Harry Dagoe dikenal sebagai sutradara dengan semangat indie. Meski secara portofolio dia lebih banyak membuat film untuk jalur mainstream, namanya lebih sering disebut sebagai sutra dara yang suka nekat mengambil risiko.
Film panjang pertamanya, Pachinko and Everyoneís Happy (2000), dengan intim meng ambil kisah para perempuan dari keluarga tiga generasi di Tokyo, yang bekerja sebagai geisha dan bintang film porno.
Sementara film terakhirnya sebelum Keira, yaitu Sunya (2016) bercerita tentang kehidupan mistis di Jawa, tapi dengan pendekatan yang cenderung eksperimental. Dalam Keira, Harry masih setia dengan cerita yang “anehaneh”, tapi kali ini dia memilih jalan yang lebih moderat; membuat film yang bisa lebih mudah dicerna penonton kebanyakan.
Nyatanya, mendamaikan idealisme dengan selera pasar memang bukan perkara mudah. Judul film ini diambil dari sosok Keira (Angelica Simperler), seorang gadis lembut nan mandiri yang tinggal di Lampung. Di balik kelembutannya, Keira menyimpan trauma mendalam, yang membuatnya memiliki tujuh kepribadian berbeda dalam tubuhnya.
Tiap kali satu kepribadian mengambil alih tubuhnya, Keira tak pernah sadar. Dia hanya merasa pingsan berhari-hari. Gara-gara ini pula, peker jaannya sebagai pemandu lokal untuk syuting sebuah film di Lampung sering terbengkalai.
Adalah trauma masa kecil yang membuatnya seperti itu. Keira kecil kerap kali menyaksikan ayahnya (Yan Widjaya) melakukan kekerasan fisik berat terhadap ibu Keira (Tirta Siregar). Dari trauma dan beragam pengalaman masa kecilnya, lahirlah kepribadian-kepribadian yang antipati pada pria dalam tubuh Keira.
Mulai dari Rachel dan Irene (Tiga Setia Gara) si penggoda sekaligus pembenci pria, hingga Sari Asih (Gabriella Cecilia) yang rela membunuh tiap kali ada lelaki yang berani menjahati Keira.
Demi memudahkan penonton memahami jalan cerita, film ini menggunakan aktris dan aktor lain untuk memerankan karakterkarak ter lain dari Keira. Namun, dibandingkan bercerita secara runut, Harry lebih memilih bertutur dengan memberikan kepingan-kepingan puzzle kehidupan Keira.
Di sinilah kenikmatan menonton agak terganggu karena Keira tidak didukung penyuntingan adegan yang apik. Belum lagi color grading film yang terasa lepas dari roh film yang mencekam dan kelam.
Untungnya, latar musik buatan Vicky Sianipar cukup membantu mengembalikan atmosfer thriller dalam cerita. Nah yang juga disayangkan adalah kurang dibangunnya kedekatan emosional antara Keira dan Gunawan (Ferly Putra), pria baik-baik yang jatuh cinta kepadanya.
Pada hal, bagian ini jadi elemen penting jika ingin membawa penonton lebih dalam masuk dalam semesta yang dialami Keira. Namun begitu, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, film ini masih mampu memberikan gambaran kompleksnya hidup seorang dengan kepribadian ganda, sekaligus berempati besar kepadanya.
(don)