Mooryati Soedibjo Ajak Produser Tanah Air Perbanyak Film yang Mendidik
A
A
A
JAKARTA - Produser film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta", Mooryati Soedibjo berharap film besutan rumah produksinya Mooryati Soedibyo Cinema tersebut bisa menginspirasi dan dijadikan teladan oleh para produser film lainnya.
Mooryati berkeinginan bahwa para produser film di Tanah Air memiliki tekad yang sama, yakni lebih banyak memproduksi film-film berkualitas yang bukan hanya sekadar tontonan yang menghibur, namun juga tuntunan yang mendidik.
"Karena saya melihat dari kondisi perfilman lndonesia saat ini yang telah menunjukan kemajuan dan peningkatan luar biasa, ditunjukkan dengan banyaknya film produksi Indonesia yang diputar di bioskop-bioskop di Tanah Air," ucapnya saat ditemui SINDOnews di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (26/11), usai melakukan syukuran atas keberhasilan "Sultan Agung" memperoleh penghargaan Film Terpuji dalam Festival Film Bandung 2018.
"Ke depan kami berharap layar film Nasional lebih diwarnai dengan film yang bertema kepahlawanan, budaya, nasionalisme, religi dibandingkan dengan genre-genre film lain seperti horor dan komedi," harap Mooryati.
Produksi film Sultan Agung sejak digagas hingga akhir berlangsung selama satu setengah tahun dengan sutradara Hanung Bramantyo. Pada 23 Agustus 2018 ditayangkan serentak di 150 layar se-lndonesia.
Film ini adalah cita-cita Ibu Mooryati --biasa disapa dengan Eyang Moor-- sebagai persembahan untuk Bangsa dan Negara di usianya yang genap 90 tahun pada 5 Januari lalu.
"Perjuangan dalam mengawali produksi film 'Sultan Agung' tidak mudah, dari kegiatan FGD bedah sejarah, pemilihan sutradara, pemeran hingga ground breaking pembuatan studio alam bangunan aset film 'Sultan Agung' di Gamplong Sleman Jogjakarta," jelasnya.
Bangunan set film 'Sultan Agung' tersebut, saat ini telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Sleman Yogyakarta dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, destinasi wisata desa baru dan pelestarian budaya sejarah pahlawan bangsa. Penyerahan disaksikan dan dihadiri oleh Presiden RI Bapak Ir H Joko Widodo pada Juli lalu.
Meski sudah berusia senja, Mooryati dalam setiap kesempatan dan proses produksi selalu hadir dan memimpin proses produksi film ini. Semangat dan kerja keras yang ditunjukan Mooryati, bahkan hingga saat proses syuting, Mooryati turut hadir dan melihat hingga larut malam guna menunjukkan totalitas dalam berkarya dan pentingnya pendidikan budaya sejarah pahlawan bangsa ini.
Hal tersebut menunjukkan bahwa usia bukanlah penghalang dalam berkarya, yang terpenting adalah niat, iktikad baik dan semangat, serta kerja cerdas dan doa yang tak pernah terlupakan.
"Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta" mengisahkan Raden Mas Rangsang yang ditakdirkan menggantikan ayahnya sebagai Sultan saat usia muda. Bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau harus menyatukan para adipati di tanah Jawa yang tercerai-berai oleh penjajah Belanda.
Kemarahan Sultan Agung kepada VOC memuncak ketika mengetahui bahwa perusahaan niaga Belanda yang menguasai Indonesia itu tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram lewat pembangunan kantor dagang di Batavia. Di sisi lain, dia harus mengorbankan cinta sejatinya kepada Lembayung (Adinia Wirasti) dengan menikahi perempuan ningrat yang bukan pilihannya.
Mooryati berkeinginan bahwa para produser film di Tanah Air memiliki tekad yang sama, yakni lebih banyak memproduksi film-film berkualitas yang bukan hanya sekadar tontonan yang menghibur, namun juga tuntunan yang mendidik.
"Karena saya melihat dari kondisi perfilman lndonesia saat ini yang telah menunjukan kemajuan dan peningkatan luar biasa, ditunjukkan dengan banyaknya film produksi Indonesia yang diputar di bioskop-bioskop di Tanah Air," ucapnya saat ditemui SINDOnews di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (26/11), usai melakukan syukuran atas keberhasilan "Sultan Agung" memperoleh penghargaan Film Terpuji dalam Festival Film Bandung 2018.
"Ke depan kami berharap layar film Nasional lebih diwarnai dengan film yang bertema kepahlawanan, budaya, nasionalisme, religi dibandingkan dengan genre-genre film lain seperti horor dan komedi," harap Mooryati.
Produksi film Sultan Agung sejak digagas hingga akhir berlangsung selama satu setengah tahun dengan sutradara Hanung Bramantyo. Pada 23 Agustus 2018 ditayangkan serentak di 150 layar se-lndonesia.
Film ini adalah cita-cita Ibu Mooryati --biasa disapa dengan Eyang Moor-- sebagai persembahan untuk Bangsa dan Negara di usianya yang genap 90 tahun pada 5 Januari lalu.
"Perjuangan dalam mengawali produksi film 'Sultan Agung' tidak mudah, dari kegiatan FGD bedah sejarah, pemilihan sutradara, pemeran hingga ground breaking pembuatan studio alam bangunan aset film 'Sultan Agung' di Gamplong Sleman Jogjakarta," jelasnya.
Bangunan set film 'Sultan Agung' tersebut, saat ini telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Sleman Yogyakarta dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, destinasi wisata desa baru dan pelestarian budaya sejarah pahlawan bangsa. Penyerahan disaksikan dan dihadiri oleh Presiden RI Bapak Ir H Joko Widodo pada Juli lalu.
Meski sudah berusia senja, Mooryati dalam setiap kesempatan dan proses produksi selalu hadir dan memimpin proses produksi film ini. Semangat dan kerja keras yang ditunjukan Mooryati, bahkan hingga saat proses syuting, Mooryati turut hadir dan melihat hingga larut malam guna menunjukkan totalitas dalam berkarya dan pentingnya pendidikan budaya sejarah pahlawan bangsa ini.
Hal tersebut menunjukkan bahwa usia bukanlah penghalang dalam berkarya, yang terpenting adalah niat, iktikad baik dan semangat, serta kerja cerdas dan doa yang tak pernah terlupakan.
"Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta" mengisahkan Raden Mas Rangsang yang ditakdirkan menggantikan ayahnya sebagai Sultan saat usia muda. Bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau harus menyatukan para adipati di tanah Jawa yang tercerai-berai oleh penjajah Belanda.
Kemarahan Sultan Agung kepada VOC memuncak ketika mengetahui bahwa perusahaan niaga Belanda yang menguasai Indonesia itu tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram lewat pembangunan kantor dagang di Batavia. Di sisi lain, dia harus mengorbankan cinta sejatinya kepada Lembayung (Adinia Wirasti) dengan menikahi perempuan ningrat yang bukan pilihannya.
(nug)