Perbaikan Gizi Anak Indonesia Terus Dioptimalkan
A
A
A
JAKARTA - Gizi baik menjadi landasan setiap individu untuk mencapai potensi maksimal yang dimiliki. Nah, periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi periode sensitif yang menentukan kualitas hidup di masa yang akan datang. Perbaikan gizi, khususnya penurunan stunting menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan kesehatan.
Perbaikan gizi dilakukan melalui pendekatan continuum of care dengan fokus pada 1000 HPK, yaitu mulai masa kehamilan sampai dengan anak berusuia 2 tahun. Sasaran diperluas dengan mengembangkan jangkauan pelayanan gizi pada remaja puteri dan calon pengantin melalui pemberian tablet tambah darah (TTD), sebagai persiapan periode kehamilan.
Berbagai jurnal menyebutkan, kerugian materi dan imateri dari masalah gizi luar biasa besar. Masalah gizi menyebabkan rendahnya status kesehatan dan gizi sehingga berpengaruh terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), pencapaian pendidikan rendah, dan daya saing bangsa. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 diperoleh angka stunting sebesar 30,8%.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena masih di atas ambang batas 20%. Demikian juga dengan meningkatnya angka anemia pada ibu hamil sebesar 48,9% (Riskesdas, 2018) dari yang sebelumnya 37,1% (Riskesdas, 2013). Masalah tersebut berhubungan dengan fakta yang menunjukkan 70-80% ibu hamil belum tercukupi konsumsi energi dan proteinnya (Studi Diet Total, 2014).
Perbaikan gizi masih perlu dioptimalkan, upaya Kementerian Kesehatan dalam Program Indonesia Sehat melalui pendekatan keluarga difokuskan pada 4 prioritas yaitu percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), perbaikan gizi khususnya penurunan prevalensi stunting, serta penurunan penyakit menular dan tidak menular. Pendekatan keluarga dilakukan sebagai strategi perubahan perilaku yang dimulai dari keluarga dan masyarakat dalam penerapan gizi seimbang.
Hal itu dilakukan dengan mengedepankan konsumsi ikan, sayur dan buah, serta pengenalan terhadap risiko penyakit. Namun, perbaikan gizi melalui intervensi gizi spesifik yang dilakukan oleh sektor kesehatan tidak akan mencapai hasil maksimal tanpa adanya intervensi sensitif dari sektor non-kesehatan, seperti peningkatan produksi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga, perlindungan sosial untuk pengentasan kemiskinan melalui program keluarga harapan (PKH), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), penyediaan air bersih dan sanitasi, serta program pemberdayaan perempuan.
Perbaikan gizi dilakukan melalui pendekatan continuum of care dengan fokus pada 1000 HPK, yaitu mulai masa kehamilan sampai dengan anak berusuia 2 tahun. Sasaran diperluas dengan mengembangkan jangkauan pelayanan gizi pada remaja puteri dan calon pengantin melalui pemberian tablet tambah darah (TTD), sebagai persiapan periode kehamilan.
Berbagai jurnal menyebutkan, kerugian materi dan imateri dari masalah gizi luar biasa besar. Masalah gizi menyebabkan rendahnya status kesehatan dan gizi sehingga berpengaruh terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), pencapaian pendidikan rendah, dan daya saing bangsa. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 diperoleh angka stunting sebesar 30,8%.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena masih di atas ambang batas 20%. Demikian juga dengan meningkatnya angka anemia pada ibu hamil sebesar 48,9% (Riskesdas, 2018) dari yang sebelumnya 37,1% (Riskesdas, 2013). Masalah tersebut berhubungan dengan fakta yang menunjukkan 70-80% ibu hamil belum tercukupi konsumsi energi dan proteinnya (Studi Diet Total, 2014).
Perbaikan gizi masih perlu dioptimalkan, upaya Kementerian Kesehatan dalam Program Indonesia Sehat melalui pendekatan keluarga difokuskan pada 4 prioritas yaitu percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), perbaikan gizi khususnya penurunan prevalensi stunting, serta penurunan penyakit menular dan tidak menular. Pendekatan keluarga dilakukan sebagai strategi perubahan perilaku yang dimulai dari keluarga dan masyarakat dalam penerapan gizi seimbang.
Hal itu dilakukan dengan mengedepankan konsumsi ikan, sayur dan buah, serta pengenalan terhadap risiko penyakit. Namun, perbaikan gizi melalui intervensi gizi spesifik yang dilakukan oleh sektor kesehatan tidak akan mencapai hasil maksimal tanpa adanya intervensi sensitif dari sektor non-kesehatan, seperti peningkatan produksi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga, perlindungan sosial untuk pengentasan kemiskinan melalui program keluarga harapan (PKH), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), penyediaan air bersih dan sanitasi, serta program pemberdayaan perempuan.
(tdy)