Anak Bertubuh Pendek Belum Tentu Stunting, Apa Bedanya?
A
A
A
JAKARTA - Stunting dan tubuh pendek merupakan dua kondisi yang berbeda. Meski sama-sama tidak membuat tubuh tinggi, namun tidak semua anak berperawakan pendek mengalami stunting.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi jangka panjang atau malnutrisi kronik akibat asupan nutrisi yang tidak optimal sehingga mengakibatkan pertumbuhuan otak dan organ lain terganggu. (Baca Juga: 5 Kesalahan Program Penurunan Berat Badan yang Tidak Efektif
Dokter Anak Spesialis Nutrisi dan Penyakit Metabolik pada Anak, Dr dr Damayanti Rusli Sjarif mengatakan seorang anak diklasifikasikan sebagai perawakan pendek (short stature), jika panjang badan atau tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin berada di bawah persentil 3. Selain itu, anak dikatakan stunting jika disebabkan oleh kondisi kesehatan atau nutrisi yang suboptimal.
"Semua anak pendek, belum tentu stunting. Harus analisis karena tata laksana berbeda. Stunting itu perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka panjang (kronis). Bisa karena asupan nutrisinya tidak cukup, atau karena kebutuhannya meningkat misalnya karena anak sakit," kata dr Damayanti.
Stunting bukan sekadar persoalan perawakan pendek. Dijelaskan dr Damayanti, stunting selalu diawali dengan penurunan berat badan (weight faltering) akibat asupan nutrisi yang kurang dan dilanjutkan dengan penurunan fungsi kognitif yang mengakibatkan hambatan pertumbuhan linier. Anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, sebanyak 50-60% energi dipakai untuk perkembangan otak. Bila asupan nutrisinya kurang, maka otak yang akan dikorbankan terlebih dulu
"Anak yang baru mengalami weight faltering saja bisa mengalami penurunan IQ hingga 3 poin. Bisa dibayangkan betapa banyak penurunan IQ yang mungkin muncul bila anak sampai stunting. Selain fungsi kognitif terganggu, pembakaran lemak pada anak stunting juga terganggu. Sehingga ketika anak diberi makan banyak, mudah terjadi obesitas. Bila ditelusuri, orang yang sekarang mengalami penyakit degeneratif mungkin dulunya stunting,” ujar dr Damayanti.
Otak dan sinaps-sinapsnya berkembang pesat selama 1000 hari pertama kehidupan atau hingga anak berusia 2 tahun. “Sampai usia dua tahun, anak tidak boleh kekurangan nutrisi sama sekali, karena dampaknya irreversible,” tegas dr Damayanti. Sedangkan, anak bertubuh pendek jika dimasa pertumbuhan tidak ditemukan adanya masalah dengan perkembangan otak dan kemampuan kognitifnya masih berjalan dengan baik. Artinya, anak bertubuh pendek mengalami pertumbuhan fisik dan mental normal seperti anak lain. (Baca Juga: Bawang Putih Bisa Hambat Penuaan Kulit
Namun bedanya, tinggi badan kurang dari rata-rata anak sesuainya. Berbeda dengan anak stunting, anak dengan tubuh pendek tidak memiliki risiko penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dan gangguan jantung. Nantinya, mereka yang berubuh pendek juga bisa menyusul tinggi teman-temannya. Untuk mengetahui anak stunting atau tidak, tidaklah mudah. Menurut dr Damayanti dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk mengetahui kondisi tersebut.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, angka stunting pada usia balita di Indonesia mengalami penurunan, dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8% (2018). Namun, sebanyak 18 provinsi masih memiliki angka stunting sebesar 30-40%, bahkan 11,5% tergolong sangat pendek. Bila dikalikan dengan jumlah balita di Indonesia, maka jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. “Yang kita khawatirkan adalah korelasinya dengan risiko retardasi mental,” tandasnya.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi jangka panjang atau malnutrisi kronik akibat asupan nutrisi yang tidak optimal sehingga mengakibatkan pertumbuhuan otak dan organ lain terganggu. (Baca Juga: 5 Kesalahan Program Penurunan Berat Badan yang Tidak Efektif
Dokter Anak Spesialis Nutrisi dan Penyakit Metabolik pada Anak, Dr dr Damayanti Rusli Sjarif mengatakan seorang anak diklasifikasikan sebagai perawakan pendek (short stature), jika panjang badan atau tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin berada di bawah persentil 3. Selain itu, anak dikatakan stunting jika disebabkan oleh kondisi kesehatan atau nutrisi yang suboptimal.
"Semua anak pendek, belum tentu stunting. Harus analisis karena tata laksana berbeda. Stunting itu perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka panjang (kronis). Bisa karena asupan nutrisinya tidak cukup, atau karena kebutuhannya meningkat misalnya karena anak sakit," kata dr Damayanti.
Stunting bukan sekadar persoalan perawakan pendek. Dijelaskan dr Damayanti, stunting selalu diawali dengan penurunan berat badan (weight faltering) akibat asupan nutrisi yang kurang dan dilanjutkan dengan penurunan fungsi kognitif yang mengakibatkan hambatan pertumbuhan linier. Anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, sebanyak 50-60% energi dipakai untuk perkembangan otak. Bila asupan nutrisinya kurang, maka otak yang akan dikorbankan terlebih dulu
"Anak yang baru mengalami weight faltering saja bisa mengalami penurunan IQ hingga 3 poin. Bisa dibayangkan betapa banyak penurunan IQ yang mungkin muncul bila anak sampai stunting. Selain fungsi kognitif terganggu, pembakaran lemak pada anak stunting juga terganggu. Sehingga ketika anak diberi makan banyak, mudah terjadi obesitas. Bila ditelusuri, orang yang sekarang mengalami penyakit degeneratif mungkin dulunya stunting,” ujar dr Damayanti.
Otak dan sinaps-sinapsnya berkembang pesat selama 1000 hari pertama kehidupan atau hingga anak berusia 2 tahun. “Sampai usia dua tahun, anak tidak boleh kekurangan nutrisi sama sekali, karena dampaknya irreversible,” tegas dr Damayanti. Sedangkan, anak bertubuh pendek jika dimasa pertumbuhan tidak ditemukan adanya masalah dengan perkembangan otak dan kemampuan kognitifnya masih berjalan dengan baik. Artinya, anak bertubuh pendek mengalami pertumbuhan fisik dan mental normal seperti anak lain. (Baca Juga: Bawang Putih Bisa Hambat Penuaan Kulit
Namun bedanya, tinggi badan kurang dari rata-rata anak sesuainya. Berbeda dengan anak stunting, anak dengan tubuh pendek tidak memiliki risiko penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dan gangguan jantung. Nantinya, mereka yang berubuh pendek juga bisa menyusul tinggi teman-temannya. Untuk mengetahui anak stunting atau tidak, tidaklah mudah. Menurut dr Damayanti dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk mengetahui kondisi tersebut.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, angka stunting pada usia balita di Indonesia mengalami penurunan, dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8% (2018). Namun, sebanyak 18 provinsi masih memiliki angka stunting sebesar 30-40%, bahkan 11,5% tergolong sangat pendek. Bila dikalikan dengan jumlah balita di Indonesia, maka jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. “Yang kita khawatirkan adalah korelasinya dengan risiko retardasi mental,” tandasnya.
(tdy)