Rancangan Undang-Undang Musik Dinilai Ancam Kreativitas Musisi
A
A
A
JAKARTA - Kalangan musisi melontarkan reaksi keras terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Sejumlah pasal dan ancaman pidana di dalamnya dikhawatirkan mengekang kreativitas musisi dan kebebasan berekspresi.
Para pemusik itu antara lain menyoroti adanya ancaman pidana penjara maupun denda terhadap mereka yang dianggap mendorong khalayak berbuat kriminal dalam proses kreasinya, termasuk membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan martabat manusia (lihat infografis).
Ketentuan lain yang juga dikhawatirkan dapat membelenggu kreativitas para pekerja musik adalah promotor atau penyelenggara acara musik wajib memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik. Kalangan musisi indie bisa dirugikan dengan pembatasan ini. Aturan bahwa pertunjukan musisi mancanegara harus mengikutsertakan pelaku musik Indonesia sebagai pendamping pun dinilai janggal.
Dalam draf RUU ini musisi juga harus menjalani uji kompetensi hingga mengantongi sertifikat apabila ingin kiprahnya diakui sebagai profesi. Di sisi lain pelaku usaha di bidang perhotelan, restoran atau tempat hiburan lainnya wajib memainkan musik tradisional di tempat usaha mereka. Tidak disebutkan kategori tempat hiburan itu, apakah termasuk diskotek, pub, kafe atau lainnya.
Musisi Glenn Fredly, Ketua Konferensi Musik Indonesia (KMI), dalam pertemuan dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo awal pekan ini menyatakan bahwa RUU Permusikan belum menyentuh tata kelola industri musik secara komprehensif yang melindungi hak dan karya cipta musisi. Glenn bersama komunitas musisi yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (Kami) pernah menyerahkan naskah akademik RUU Tata Kelola Musik atau Permusikan Indonesia kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 2017 lalu.
Sementara itu gitaris band Andra & The Backbone, Stevie Morley Item, memandang RUU Permusikan seharusnya berisi ketentuan yang lebih memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada musisi dan pelaku musik lainnya.
“Yang diajak urun rembuk mestinya musisi yang hidupnya dari musik, bukan orang yang jadi musisi karena sekadar hobi. Kalau draf yang sekarang ini justru membelenggu kreativitas musisi. Bagaimana mau lebih terlindungi?” ujarnya.
Dengan perkembangan saat ini, Stevie memandang UU Permusikan belum mendesak. Dia menilai, apabila titik tekannya pada perlindungan hak cipta, pemberantasan pembajakan, dan royalti, UU lain sudah mengaturnya. Tinggal penegakan hukum yang harus sangat tegas.
Hal senada dikatakan keyboardis KLa Project Adi Adrian. Dia menilai UU lain sudah mengakomodasi kebutuhan perlindungan karya cipta pelaku musik. “Kalau mau pelaku musik lebih sejahtera, penegakan hukumnya harus tegas. Kalau dipaksakan, saya khawatir terjadi tumpang tindih aturan,” sebutnya.
Adi mengacu pada UU Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam revisi UU Nomor 4/1990 yang baru disahkan Desember 2018 lalu.
Dia juga menyoroti ancaman pidana terhadap pelaku musik. Menurut dia, Pasal 50 dan Pasal 5 draf RUU Permusikan yang bisa membuat seseorang dianggap mendorong khalayak umum melakukan hal-hal negatif dalam proses kreatif berpotensi menjadi pasal karet dan subjektif.
“Ini kan malah merugikan pelaku musik. Praktiknya nanti bisa multiinterpretatif. Kasihan juga kalau saat proses kreatif harus selalu memikirkan apakah karya yang sedang dibuat bisa mengantar kita ke penjara atau tidak. Tidak bebas lagi,” ungkapnya.
Hal lain yang janggal, kata Adi, adalah pengaturan hubungan profesional antara pelaku musik dan produser atau mitra lainnya. Dia memandang hal ini sangat privat meski tetap harus berlandaskan ketentuan hukum. Ketika terjadi penipuan, misalnya, sudah ada UU yang mengatur persoalan tersebut.
“Belum lagi tentang sertifikasi pelaku musik. Berlebihan itu. Yang penting sekarang adalah menciptakan iklim industri musik yang kondusif supaya semakin banyak muncul pelaku musik berkualitas dengan daya tawar yang bagus,” ujarnya.
Erdian Aji Prihartanto, penyanyi dan pencipta lagu, juga menolak adanya pasal pidana dalam RUU Permusikan. “Ini potensi hambatan bagi pelaku musik untuk menghasilkan karya-karya yang bagus,” tegas pria yang akrab dengan sapaan Anji ini.
Anji berharap, para pelaku musik, tak hanya musisi dan penyanyi, bersama-sama memberi perhatian serius terhadap RUU Permusikan ini. “Saya menilai DPR cukup terbuka menerima kritik dan masukan. Mari kita kawal bersama proses pembahasannya supaya benar-benar mengakomodasi kepentingan kita semua saat disahkan nanti,” ucapnya.
Badai eks Kerispatih punya pandangan berbeda dengan Adi dan Stevie. Menurut keyboardis dan pencipta lagu bernama asli Doadibadai Hollo ini, UU Permusikan justru sangat dibutuhkan para pelaku musik.
“UU ini nanti melindungi karya-karya kita dari penyalahgunaan di ruang publik seperti untuk kepentingan politik atau hal-hal berbau SARA. Tidak seenaknya orang mengubah lirik lagu kita. Saya yakin ruang gerak pelaku musik dalam berkreasi tidak akan dibatasi,” katanya.
Pemerhati musik Andre Opa Sumual menegaskan, RUU Permusikan seharusnya bukan mengatur cara musisi berkarya, melainkan lebih mengatur tata kelola industri musik Indonesia. Dia sepakat adanya ancaman pidana akan membelenggu kreativitas para pelaku musik. Namun Andre mendukung adanya uji kompetensi.
Hal itu justru akan menentukan tingkat kesejahteraan pelaku musik karena ada standar bayarannya. Pelaku musik profesional besertifikat tentu akan mendapat apresiasi berbeda ketimbang pelaku musik nonprofesional.
“Jadi tidak akan ada lagi musisi profesional yang diberi imbalan alakadarnya. Dia tentu punya nilai tinggi bila dibandingkan dengan yang belum punya sertifikat,” jelasnya.
Di tempat terpisah, anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah menyambut positif hujan kritik dan tanggapan atas RUU Permusikan. Musisi yang juga salah satu inisiator RUU Permusikan ini menganggap berbagai kritikan tersebut sebagai kepedulian masyarakat atas RUU ini.
“Saya memahami kegelisahan teman-teman pelaku musik terkait larangan dan ancaman pidana dalam RUU Permusikan ini (Pasal 5 dan Pasal 50). Ini kan bisa didiskusikan dengan kepala dingin,” tuturnya.
Menurut pria yang juga pelaku musik ini, karena masih berupa draf, RUU Permusikan masih sangat terbuka untuk diubah berdasarkan hasil diskusi dengan berbagai pihak. Dia menekankan, ada tiga landasan utama dalam pembuatan UU, yakni landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Semuanya tetap mengacu pada UUD 1945.
Dia setuju pasal “pengaruh budaya asing” berpotensi menjadi pasal karet. Namun mengenai uji kompetensi dan sertifikasi pelaku musik, Anang menegaskan bahwa hal ini justru agar penghargaan dan perlindungan terhadap pelaku musik lebih baik.
“Memang seperti absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji komptensi dan sertifikasi. Namun globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini,” terangnya.
Sementara itu Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengaku belum dilibatkan dalam penyusunan draf RUU Permusikan. “Kami dalam posisi menunggu kiriman draf RUU itu. Kami siap memberi tanggapan melalui DIM (daftar inventarisasi masalah) sebagai sikap resmi pemerintah dengan meminta masukan juga dari berbagai pemangku kepentingan,” ujar mantan musisi ini.
Sepanjang empat tahun terakhir, Bekraf juga telah menggelar pelatihan dan sertifikasi bagi musisi untuk meningkatkan kompetensinya serta mendorong optimalisasi pengumpulan royalti dari penggunaan karya cipta musik. Di antaranya dengan menyiapkan sebuah sistem manajemen kolektif berbasis digital.
Pengamat musik Adib Hidayat mengajak semua pihak menjadikan beredarnya draf RUU Permusikan yang disusun DPR sebagai momentum konsolidasi dan urun rembuk positif demi kepentingan bersama, yakni perbaikan industri musik nasional.
“Toh semua masih bisa didiskusikan. Para pelaku musik dari setiap genre dan era bisa terlibat aktif memberi masukan. Sama-sama kita dalami lengkap drafnya, jangan sepotong-sepotong. Perjalanan RUU ini masih panjang,” ujarnya.
Mengenai isi draf RUU ini, Adib juga tidak setuju ada ancaman pidana karena dapat mengekang kreativitas pelaku musik. Meski begitu dia sepakat adanya sertifikasi musisi, terutama bagi musisi yang menjadi guru musik ataupun juri kompetisi musik.
Para pelaku musik nasional akan mendiskusikan lebih dalam draf RUU ini dalam pertemuan di Mal Citos, Jakarta, Senin (4/2) mendatang. Rencananya penanggung jawab tim penyusun draf RUU Permusikan dari Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul, akan hadir dalam diskusi tersebut.
Para pemusik itu antara lain menyoroti adanya ancaman pidana penjara maupun denda terhadap mereka yang dianggap mendorong khalayak berbuat kriminal dalam proses kreasinya, termasuk membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan martabat manusia (lihat infografis).
Ketentuan lain yang juga dikhawatirkan dapat membelenggu kreativitas para pekerja musik adalah promotor atau penyelenggara acara musik wajib memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik. Kalangan musisi indie bisa dirugikan dengan pembatasan ini. Aturan bahwa pertunjukan musisi mancanegara harus mengikutsertakan pelaku musik Indonesia sebagai pendamping pun dinilai janggal.
Dalam draf RUU ini musisi juga harus menjalani uji kompetensi hingga mengantongi sertifikat apabila ingin kiprahnya diakui sebagai profesi. Di sisi lain pelaku usaha di bidang perhotelan, restoran atau tempat hiburan lainnya wajib memainkan musik tradisional di tempat usaha mereka. Tidak disebutkan kategori tempat hiburan itu, apakah termasuk diskotek, pub, kafe atau lainnya.
Musisi Glenn Fredly, Ketua Konferensi Musik Indonesia (KMI), dalam pertemuan dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo awal pekan ini menyatakan bahwa RUU Permusikan belum menyentuh tata kelola industri musik secara komprehensif yang melindungi hak dan karya cipta musisi. Glenn bersama komunitas musisi yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (Kami) pernah menyerahkan naskah akademik RUU Tata Kelola Musik atau Permusikan Indonesia kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 2017 lalu.
Sementara itu gitaris band Andra & The Backbone, Stevie Morley Item, memandang RUU Permusikan seharusnya berisi ketentuan yang lebih memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada musisi dan pelaku musik lainnya.
“Yang diajak urun rembuk mestinya musisi yang hidupnya dari musik, bukan orang yang jadi musisi karena sekadar hobi. Kalau draf yang sekarang ini justru membelenggu kreativitas musisi. Bagaimana mau lebih terlindungi?” ujarnya.
Dengan perkembangan saat ini, Stevie memandang UU Permusikan belum mendesak. Dia menilai, apabila titik tekannya pada perlindungan hak cipta, pemberantasan pembajakan, dan royalti, UU lain sudah mengaturnya. Tinggal penegakan hukum yang harus sangat tegas.
Hal senada dikatakan keyboardis KLa Project Adi Adrian. Dia menilai UU lain sudah mengakomodasi kebutuhan perlindungan karya cipta pelaku musik. “Kalau mau pelaku musik lebih sejahtera, penegakan hukumnya harus tegas. Kalau dipaksakan, saya khawatir terjadi tumpang tindih aturan,” sebutnya.
Adi mengacu pada UU Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam revisi UU Nomor 4/1990 yang baru disahkan Desember 2018 lalu.
Dia juga menyoroti ancaman pidana terhadap pelaku musik. Menurut dia, Pasal 50 dan Pasal 5 draf RUU Permusikan yang bisa membuat seseorang dianggap mendorong khalayak umum melakukan hal-hal negatif dalam proses kreatif berpotensi menjadi pasal karet dan subjektif.
“Ini kan malah merugikan pelaku musik. Praktiknya nanti bisa multiinterpretatif. Kasihan juga kalau saat proses kreatif harus selalu memikirkan apakah karya yang sedang dibuat bisa mengantar kita ke penjara atau tidak. Tidak bebas lagi,” ungkapnya.
Hal lain yang janggal, kata Adi, adalah pengaturan hubungan profesional antara pelaku musik dan produser atau mitra lainnya. Dia memandang hal ini sangat privat meski tetap harus berlandaskan ketentuan hukum. Ketika terjadi penipuan, misalnya, sudah ada UU yang mengatur persoalan tersebut.
“Belum lagi tentang sertifikasi pelaku musik. Berlebihan itu. Yang penting sekarang adalah menciptakan iklim industri musik yang kondusif supaya semakin banyak muncul pelaku musik berkualitas dengan daya tawar yang bagus,” ujarnya.
Erdian Aji Prihartanto, penyanyi dan pencipta lagu, juga menolak adanya pasal pidana dalam RUU Permusikan. “Ini potensi hambatan bagi pelaku musik untuk menghasilkan karya-karya yang bagus,” tegas pria yang akrab dengan sapaan Anji ini.
Anji berharap, para pelaku musik, tak hanya musisi dan penyanyi, bersama-sama memberi perhatian serius terhadap RUU Permusikan ini. “Saya menilai DPR cukup terbuka menerima kritik dan masukan. Mari kita kawal bersama proses pembahasannya supaya benar-benar mengakomodasi kepentingan kita semua saat disahkan nanti,” ucapnya.
Badai eks Kerispatih punya pandangan berbeda dengan Adi dan Stevie. Menurut keyboardis dan pencipta lagu bernama asli Doadibadai Hollo ini, UU Permusikan justru sangat dibutuhkan para pelaku musik.
“UU ini nanti melindungi karya-karya kita dari penyalahgunaan di ruang publik seperti untuk kepentingan politik atau hal-hal berbau SARA. Tidak seenaknya orang mengubah lirik lagu kita. Saya yakin ruang gerak pelaku musik dalam berkreasi tidak akan dibatasi,” katanya.
Pemerhati musik Andre Opa Sumual menegaskan, RUU Permusikan seharusnya bukan mengatur cara musisi berkarya, melainkan lebih mengatur tata kelola industri musik Indonesia. Dia sepakat adanya ancaman pidana akan membelenggu kreativitas para pelaku musik. Namun Andre mendukung adanya uji kompetensi.
Hal itu justru akan menentukan tingkat kesejahteraan pelaku musik karena ada standar bayarannya. Pelaku musik profesional besertifikat tentu akan mendapat apresiasi berbeda ketimbang pelaku musik nonprofesional.
“Jadi tidak akan ada lagi musisi profesional yang diberi imbalan alakadarnya. Dia tentu punya nilai tinggi bila dibandingkan dengan yang belum punya sertifikat,” jelasnya.
Di tempat terpisah, anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah menyambut positif hujan kritik dan tanggapan atas RUU Permusikan. Musisi yang juga salah satu inisiator RUU Permusikan ini menganggap berbagai kritikan tersebut sebagai kepedulian masyarakat atas RUU ini.
“Saya memahami kegelisahan teman-teman pelaku musik terkait larangan dan ancaman pidana dalam RUU Permusikan ini (Pasal 5 dan Pasal 50). Ini kan bisa didiskusikan dengan kepala dingin,” tuturnya.
Menurut pria yang juga pelaku musik ini, karena masih berupa draf, RUU Permusikan masih sangat terbuka untuk diubah berdasarkan hasil diskusi dengan berbagai pihak. Dia menekankan, ada tiga landasan utama dalam pembuatan UU, yakni landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Semuanya tetap mengacu pada UUD 1945.
Dia setuju pasal “pengaruh budaya asing” berpotensi menjadi pasal karet. Namun mengenai uji kompetensi dan sertifikasi pelaku musik, Anang menegaskan bahwa hal ini justru agar penghargaan dan perlindungan terhadap pelaku musik lebih baik.
“Memang seperti absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji komptensi dan sertifikasi. Namun globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini,” terangnya.
Sementara itu Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengaku belum dilibatkan dalam penyusunan draf RUU Permusikan. “Kami dalam posisi menunggu kiriman draf RUU itu. Kami siap memberi tanggapan melalui DIM (daftar inventarisasi masalah) sebagai sikap resmi pemerintah dengan meminta masukan juga dari berbagai pemangku kepentingan,” ujar mantan musisi ini.
Sepanjang empat tahun terakhir, Bekraf juga telah menggelar pelatihan dan sertifikasi bagi musisi untuk meningkatkan kompetensinya serta mendorong optimalisasi pengumpulan royalti dari penggunaan karya cipta musik. Di antaranya dengan menyiapkan sebuah sistem manajemen kolektif berbasis digital.
Pengamat musik Adib Hidayat mengajak semua pihak menjadikan beredarnya draf RUU Permusikan yang disusun DPR sebagai momentum konsolidasi dan urun rembuk positif demi kepentingan bersama, yakni perbaikan industri musik nasional.
“Toh semua masih bisa didiskusikan. Para pelaku musik dari setiap genre dan era bisa terlibat aktif memberi masukan. Sama-sama kita dalami lengkap drafnya, jangan sepotong-sepotong. Perjalanan RUU ini masih panjang,” ujarnya.
Mengenai isi draf RUU ini, Adib juga tidak setuju ada ancaman pidana karena dapat mengekang kreativitas pelaku musik. Meski begitu dia sepakat adanya sertifikasi musisi, terutama bagi musisi yang menjadi guru musik ataupun juri kompetisi musik.
Para pelaku musik nasional akan mendiskusikan lebih dalam draf RUU ini dalam pertemuan di Mal Citos, Jakarta, Senin (4/2) mendatang. Rencananya penanggung jawab tim penyusun draf RUU Permusikan dari Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul, akan hadir dalam diskusi tersebut.
(don)