Tantangan Merawat Pasien Penyakit Langka di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Hari penyakit langka sedunia jatuh setiap 28 Februari. Hingga saat ini, penyakit langka atau rare disease tak hanya melemahkan pasien, juga keluarga. Ini tak lain karena masih banyak kesulitan dan tantangan pada keluarga dan penderita penyakit langka.
Adapun kesulitan yang dihadapi keluarga maupun penderita penyakit langka, diantaranya kurangnya akses untuk mendapatkan diagnosis yang benar, dimana 40% dari penderita penyakit langka pernah mendapatkan diagnosis tidak tepat, setidaknya satu kali.
"Data dari seluruh dunia itu, dari 1 pasien harus melalui 11 dokter baru menemukan dokter yang tepat. Bahkan ada pasien saya yang ngomong ke saya 'dokter, dokter ke 11 yang saya temui'. Kenapa seperti itu? Dulu penyakit genetik di pendidikan kedokteran itu dilupakan saja tapi itu kuno. Sekarang penyakit TBC aja yang dinilai karena kuman tapi ada genetiknya," kata Ahli Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM, Dr. dr. Damayanti R Sjarif, SpA(K) saat acara Hari Penyakit Langka Sedunia bersama Sanofi dan Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia di Jakarta.
Pada kesempatan ini, empat orang tua yang merupakan perwakilan dari keluarga pasien dengan empat jenis penyakit langka turut hadir dan menyampaikan tantangan dan harapan pasien penyakit langka. (Baca juga: Asupan Nutrisi Omega 3 Penting bagi Perkembangan Anak ).
"Saya memerlukan waktu satu tahun lebih untuk mendapatkan diagnosis yang tepat untuk penyakit langka anak saya,” tutur Fitri Yenti, orang tua Umar Abdul Azis, pasien MPS II.
Orang tua Umar awalnya tidak mengetahui penyebab terganggunya pertumbuhan Umar. Hingga kemudian ada seorang dokter yang merujuk Umar ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Umar pertama kali didiagnosis ketika berusia 3 tahun 7 bulan, dimana dia mengalami kemunduran dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Saat ini, Umar berumur tujuh tahun, dan harus melakukan perawatan terapi seminggu sekali di RSCM.
Sulitnya mendapatkan diagnosis yang tepat adalah salah satu hambatan terbesar bagi para pasien. Alhasil, para pasien harus menjalankan uji medis yang panjang. Salah satu penyebab diagnosis tidak tepat adalah pengetahuan mendalam mengenai penyakit langka yang belum merata di kalangan tenaga dokter ahli. Kurangnya informasi mengenai penyakit langka dan kurangnya pengetahuan ilmiah akan penyakit langka juga menjadi tantangan bagi para keluarga penyakit langka.
Belum lagi konsekuensi sosial yang harus dialami orangtua dan anak yang merasa dikucilkan oleh masyarakat karena ada stigma yang memengaruhi penyakit langka, sehingga anak lain merasa ragu untuk bermain atau berteman dengan anak yang memiliki penyakit langka. Selain itu, minimnya fasilitas yang dapat mengenali dan menangani penyakit langka juga menjadi kesulitan yang harus dilalui mereka.
"Saat itu, kami terlambat mendapati diagnosis penyakit langka ini karena adanya keterbatasan akses tenaga kesehatan untuk bisa mendiagnosis dengan tepat. Tapi, setelah melihat gejala penyakit yang serupa dengan Athiya, kami langsung segera membawa Athiya ke dokter. Mulanya di Jambi, lalu kami pergi ke Padang, sampai akhirnya kami membawa hasil CT scan diagnosis dokter di sana ke RSCM, di mana kami akhirnya bertemu dengan Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K)," jelas Amin, orangtua dari Athiyatul Maula, pasien penyakit Gaucher Disease berasal dari Jambi.
"Saya satu-satunya dokter yang belajar penyakit genetik. Saya menangani ini (penyakit langka) sendirian. Tantangan saya, saya harus mendidik, mensosialisasi dan menangani pasien. Hampir 20 tahun saya mengerjakan ini sendiri. Tapi sekarang sudah ada 25 dokter yang sudah dilatih. Di Ujung Pandang, Makassar, Malang, Bali, Sumatera, Bandung, Jakarta, Solo, Jogjakarta sudah ada orang," tambah Dr. Damayanti.
Kondisi ini pun diperparah dengan biaya perawatan dan pengobatan yang tinggi serta terbatasnya akses terhadap fasilitas perawatan dan pengobatan. Padahal, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28H dan pasal 34, pasien penyakit langka yang umumnya anak-anak ini mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
"Saya mendapati penyakit pompe yang dialami Dito sekitar akhir tahun 2018 ketika di RSCM dan Dito masih berumur 3 tahun. Hati saya sangat hancur dan putus asa mengetahui biaya pengobatan dan perawatan yang harus Dito jalani seumur hidupnya. Mereka tanya penyakit Dito menular ya? Kenapa dirawat di rumah sakit terus-terusan?," ucap Agus Sulistiyono, ayah dari Pinandito Abid Rospati, pasien Pompe Disease.
Akibat penyakit yang dideritanya, Dito harus mengandalkan alat ventilator untuk membantunya bernapas, dan obat untuk Dito merupakan salah satu jenisorphan drug, yang sulit didapat. “Sekalipun ada, obatnya harus dipesan dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal. Kalau kami harus berjuang sendiri uang hasil jerih payah sendiri, saya tidak akan bisa mencukupinya," papar Agus.
Kesulitan dan tantangan tersebut tak jarang menyebabkan pertumbuhan dan progres kesembuhan pasien penyakit langka terancam tidak stabil hingga meninggal dunia. Sementara, BPJS Kesehatan hingga saat ini hanya menanggung biaya rumah sakit, tidak untuk pengobatan.
"Obat yang didapat untuk anak tersebut harganya 6 milyar setahun. Oleh sebab itu mereka dapatnya dari donasi tapi pemerintah belum bisa membantu. Tapi saat anak-anak masuk ICU dan penegakan diagnosis sudah bisa dibantu BPJS kecuali obatnya, karena itu yayasan dan saya membantu mencari donasi. Cari Kementerian, ada nggak sih dana yang bisa dipake dan kita menemukan celah," tutup Dr. Damayanti.
Adapun kesulitan yang dihadapi keluarga maupun penderita penyakit langka, diantaranya kurangnya akses untuk mendapatkan diagnosis yang benar, dimana 40% dari penderita penyakit langka pernah mendapatkan diagnosis tidak tepat, setidaknya satu kali.
"Data dari seluruh dunia itu, dari 1 pasien harus melalui 11 dokter baru menemukan dokter yang tepat. Bahkan ada pasien saya yang ngomong ke saya 'dokter, dokter ke 11 yang saya temui'. Kenapa seperti itu? Dulu penyakit genetik di pendidikan kedokteran itu dilupakan saja tapi itu kuno. Sekarang penyakit TBC aja yang dinilai karena kuman tapi ada genetiknya," kata Ahli Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM, Dr. dr. Damayanti R Sjarif, SpA(K) saat acara Hari Penyakit Langka Sedunia bersama Sanofi dan Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia di Jakarta.
Pada kesempatan ini, empat orang tua yang merupakan perwakilan dari keluarga pasien dengan empat jenis penyakit langka turut hadir dan menyampaikan tantangan dan harapan pasien penyakit langka. (Baca juga: Asupan Nutrisi Omega 3 Penting bagi Perkembangan Anak ).
"Saya memerlukan waktu satu tahun lebih untuk mendapatkan diagnosis yang tepat untuk penyakit langka anak saya,” tutur Fitri Yenti, orang tua Umar Abdul Azis, pasien MPS II.
Orang tua Umar awalnya tidak mengetahui penyebab terganggunya pertumbuhan Umar. Hingga kemudian ada seorang dokter yang merujuk Umar ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Umar pertama kali didiagnosis ketika berusia 3 tahun 7 bulan, dimana dia mengalami kemunduran dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Saat ini, Umar berumur tujuh tahun, dan harus melakukan perawatan terapi seminggu sekali di RSCM.
Sulitnya mendapatkan diagnosis yang tepat adalah salah satu hambatan terbesar bagi para pasien. Alhasil, para pasien harus menjalankan uji medis yang panjang. Salah satu penyebab diagnosis tidak tepat adalah pengetahuan mendalam mengenai penyakit langka yang belum merata di kalangan tenaga dokter ahli. Kurangnya informasi mengenai penyakit langka dan kurangnya pengetahuan ilmiah akan penyakit langka juga menjadi tantangan bagi para keluarga penyakit langka.
Belum lagi konsekuensi sosial yang harus dialami orangtua dan anak yang merasa dikucilkan oleh masyarakat karena ada stigma yang memengaruhi penyakit langka, sehingga anak lain merasa ragu untuk bermain atau berteman dengan anak yang memiliki penyakit langka. Selain itu, minimnya fasilitas yang dapat mengenali dan menangani penyakit langka juga menjadi kesulitan yang harus dilalui mereka.
"Saat itu, kami terlambat mendapati diagnosis penyakit langka ini karena adanya keterbatasan akses tenaga kesehatan untuk bisa mendiagnosis dengan tepat. Tapi, setelah melihat gejala penyakit yang serupa dengan Athiya, kami langsung segera membawa Athiya ke dokter. Mulanya di Jambi, lalu kami pergi ke Padang, sampai akhirnya kami membawa hasil CT scan diagnosis dokter di sana ke RSCM, di mana kami akhirnya bertemu dengan Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K)," jelas Amin, orangtua dari Athiyatul Maula, pasien penyakit Gaucher Disease berasal dari Jambi.
"Saya satu-satunya dokter yang belajar penyakit genetik. Saya menangani ini (penyakit langka) sendirian. Tantangan saya, saya harus mendidik, mensosialisasi dan menangani pasien. Hampir 20 tahun saya mengerjakan ini sendiri. Tapi sekarang sudah ada 25 dokter yang sudah dilatih. Di Ujung Pandang, Makassar, Malang, Bali, Sumatera, Bandung, Jakarta, Solo, Jogjakarta sudah ada orang," tambah Dr. Damayanti.
Kondisi ini pun diperparah dengan biaya perawatan dan pengobatan yang tinggi serta terbatasnya akses terhadap fasilitas perawatan dan pengobatan. Padahal, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28H dan pasal 34, pasien penyakit langka yang umumnya anak-anak ini mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
"Saya mendapati penyakit pompe yang dialami Dito sekitar akhir tahun 2018 ketika di RSCM dan Dito masih berumur 3 tahun. Hati saya sangat hancur dan putus asa mengetahui biaya pengobatan dan perawatan yang harus Dito jalani seumur hidupnya. Mereka tanya penyakit Dito menular ya? Kenapa dirawat di rumah sakit terus-terusan?," ucap Agus Sulistiyono, ayah dari Pinandito Abid Rospati, pasien Pompe Disease.
Akibat penyakit yang dideritanya, Dito harus mengandalkan alat ventilator untuk membantunya bernapas, dan obat untuk Dito merupakan salah satu jenisorphan drug, yang sulit didapat. “Sekalipun ada, obatnya harus dipesan dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal. Kalau kami harus berjuang sendiri uang hasil jerih payah sendiri, saya tidak akan bisa mencukupinya," papar Agus.
Kesulitan dan tantangan tersebut tak jarang menyebabkan pertumbuhan dan progres kesembuhan pasien penyakit langka terancam tidak stabil hingga meninggal dunia. Sementara, BPJS Kesehatan hingga saat ini hanya menanggung biaya rumah sakit, tidak untuk pengobatan.
"Obat yang didapat untuk anak tersebut harganya 6 milyar setahun. Oleh sebab itu mereka dapatnya dari donasi tapi pemerintah belum bisa membantu. Tapi saat anak-anak masuk ICU dan penegakan diagnosis sudah bisa dibantu BPJS kecuali obatnya, karena itu yayasan dan saya membantu mencari donasi. Cari Kementerian, ada nggak sih dana yang bisa dipake dan kita menemukan celah," tutup Dr. Damayanti.
(tdy)