Kala Umar Abdul Azis Berjuang Melawan Penyakit Langka
A
A
A
BUTUH waktu panjang bagi Umar Abdul Azis hanya demi mengetahui sakit apa yang sebenarnya ia derita. Belum lagi ia harus berjuang untuk menyembuhkannya. Fitri Yenti, ibu dari Umar, mengatakan setidaknya satu tahun lebih baru sang putra mendapat kepastian perihal penyakitnya. “Umar didiagnosis MPS II setelah setahun kemudian,” tuturnya dalam acara press conference Hari Penyakit Langka di Halim, belum lama ini.
Sulitnya mendapatkan diagnosis yang tepat adalah salah satu hambatan terbesar bagi para pasien penyakit langka. Alhasil, mereka harus menjalankan uji medis yang panjang. Salah satu penyebab diagnosis tidak tepat adalah pengetahuan mendalam mengenai penyakit langka yang belum merata di kalangan tenaga dokter ahli.
Dr Damayanti R Sjarif SpA(K) dari Bagian Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM mengingatkan kepada sesama kolega agar lebih peka ketika melihat suatu kasus penyakit yang tak pernah ditanganinya. “Untuk semua para dokter di luar sana tidak apa-apa salah, yang penting curiga dulu. Bila sudah dicurigai teridentifikasi penyakit langka, cepat bawa ke kami agar kami dapat diagnosis lebih lanjut,” ujar dr Damayanti.
Orang tua Umar awalnya tidak mengetahui penyebab terganggunya pertumbuhan Umar. Hingga kemudian ada seorang dokter yang merujuk Umar ke RSCM. Saat ini Umar berumur tujuh tahun dan harus melakukan perawatan terapi seminggu sekali di RSCM. Sementara, Agus Sulistiyono, ayah dari Pinandito Abid Rospati yang divonis Pompe Disease mengatakan, mendapati penyakit Pompe yang dialami Dito sekitar akhir tahun 2018 ketika di RSCM dan Dito masih berumur 3 tahun.
Akibat penyakit yang dideritanya, Dito harus mengandalkan alat ventilator untuk membantunya bernapas, dan obat untuk Dito merupakan salah satu jenis orphan drug yang sulit didapat. “Sekalipun ada, obatnya harus dipesan dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal,” papar Agus.
Kisah penyakit langka lainnya datang dari Athiyatul Maula yang mengidap Gaucher Disease. Tak hanya Athiya ternyata kakaknya, Sukron, juga menderita kelainan yang sama dan telah meninggal pada usia 2 tahun 5 bulan. Amin, sang ibu, mengatakan, saat itu ia terlambat mendapati diagnosis penyakit langka ini. “Tapi, setelah melihat gejala penyakit yang serupa dengan Athiya, kami langsung segera membawa Athiya ke dokter.
Mulanya di Jambi, lalu kami pergi ke Padang, sampai akhirnya kami membawa hasil CT scan diagnosis dokter di sana ke RSCM,” sebut Amin. Dikatakan dr Damayanti, ada 8.000 penyakit langka di dunia. Sebanyak 80% di antaranya genetik. “Dan terjadi penambahan 250 kasus (penyakit langka) setiap tahun di dunia. Disebut langka kalau jumlah pasien di bawah 2.000,” katanya.
Dari 8.000 penyakit langka tersebut, setidaknya empat penyakit didapati di Indonesia. Keempatnya, yakni mukopolisakaridosis (MPS) tipe II, gaucher, pompe, dan malabsorbsi glukosa-galaktosa (glucose-galactose malabsorption/GSM). MPS tipe II adalah penyakit genetika karena tidak adanya enzim iduronate sulfatase yang memiliki peranan penting untuk memecahkan mucopolysaccharides.
Mucopolysaccharides adalah rangkaian molekul gula yang berfungsi menyambungkan jaringan lunak di tubuh. Adapun gaucher adalah penyakit yang terjadi akibat penumpukan zat berlemak tertentu pada organorgan tertentu, terutama limfa dan hati. Hal ini menyebabkan organ menjadi lebih besar dari umumnya dan dapat memengaruhi fungsi organ. Adapun pompe disebabkan mutasi gen acid alpha-glucosidae (GAA) sehingga tubuh tidak bisa memecah glikogen menjadi glukosa.
Akibatnya, glikogen ini menumpuk di berbagai jaringan tubuh, terutama di otot tulang, otot halus dan otot jantung yang berujung merusak fungsi dan struktur jaringan. Ketua Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia Peni Utami menuturkan, pasien dapat bertahan dalam perjalanan panjang yang melibatkan banyak dokter spesialis, menjalani berbagai tes, mendapatkan diagnosis yang tidak tepat, serta sulitnya akses obat-obatan dan harga pengobatan yang sangat tinggi.
“Sementara itu, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H dan Pasal 34, pasien penyakit langka yang umum - nya anak-anak ini mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,” ujarnya.
Sulitnya mendapatkan diagnosis yang tepat adalah salah satu hambatan terbesar bagi para pasien penyakit langka. Alhasil, mereka harus menjalankan uji medis yang panjang. Salah satu penyebab diagnosis tidak tepat adalah pengetahuan mendalam mengenai penyakit langka yang belum merata di kalangan tenaga dokter ahli.
Dr Damayanti R Sjarif SpA(K) dari Bagian Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM mengingatkan kepada sesama kolega agar lebih peka ketika melihat suatu kasus penyakit yang tak pernah ditanganinya. “Untuk semua para dokter di luar sana tidak apa-apa salah, yang penting curiga dulu. Bila sudah dicurigai teridentifikasi penyakit langka, cepat bawa ke kami agar kami dapat diagnosis lebih lanjut,” ujar dr Damayanti.
Orang tua Umar awalnya tidak mengetahui penyebab terganggunya pertumbuhan Umar. Hingga kemudian ada seorang dokter yang merujuk Umar ke RSCM. Saat ini Umar berumur tujuh tahun dan harus melakukan perawatan terapi seminggu sekali di RSCM. Sementara, Agus Sulistiyono, ayah dari Pinandito Abid Rospati yang divonis Pompe Disease mengatakan, mendapati penyakit Pompe yang dialami Dito sekitar akhir tahun 2018 ketika di RSCM dan Dito masih berumur 3 tahun.
Akibat penyakit yang dideritanya, Dito harus mengandalkan alat ventilator untuk membantunya bernapas, dan obat untuk Dito merupakan salah satu jenis orphan drug yang sulit didapat. “Sekalipun ada, obatnya harus dipesan dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal,” papar Agus.
Kisah penyakit langka lainnya datang dari Athiyatul Maula yang mengidap Gaucher Disease. Tak hanya Athiya ternyata kakaknya, Sukron, juga menderita kelainan yang sama dan telah meninggal pada usia 2 tahun 5 bulan. Amin, sang ibu, mengatakan, saat itu ia terlambat mendapati diagnosis penyakit langka ini. “Tapi, setelah melihat gejala penyakit yang serupa dengan Athiya, kami langsung segera membawa Athiya ke dokter.
Mulanya di Jambi, lalu kami pergi ke Padang, sampai akhirnya kami membawa hasil CT scan diagnosis dokter di sana ke RSCM,” sebut Amin. Dikatakan dr Damayanti, ada 8.000 penyakit langka di dunia. Sebanyak 80% di antaranya genetik. “Dan terjadi penambahan 250 kasus (penyakit langka) setiap tahun di dunia. Disebut langka kalau jumlah pasien di bawah 2.000,” katanya.
Dari 8.000 penyakit langka tersebut, setidaknya empat penyakit didapati di Indonesia. Keempatnya, yakni mukopolisakaridosis (MPS) tipe II, gaucher, pompe, dan malabsorbsi glukosa-galaktosa (glucose-galactose malabsorption/GSM). MPS tipe II adalah penyakit genetika karena tidak adanya enzim iduronate sulfatase yang memiliki peranan penting untuk memecahkan mucopolysaccharides.
Mucopolysaccharides adalah rangkaian molekul gula yang berfungsi menyambungkan jaringan lunak di tubuh. Adapun gaucher adalah penyakit yang terjadi akibat penumpukan zat berlemak tertentu pada organorgan tertentu, terutama limfa dan hati. Hal ini menyebabkan organ menjadi lebih besar dari umumnya dan dapat memengaruhi fungsi organ. Adapun pompe disebabkan mutasi gen acid alpha-glucosidae (GAA) sehingga tubuh tidak bisa memecah glikogen menjadi glukosa.
Akibatnya, glikogen ini menumpuk di berbagai jaringan tubuh, terutama di otot tulang, otot halus dan otot jantung yang berujung merusak fungsi dan struktur jaringan. Ketua Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia Peni Utami menuturkan, pasien dapat bertahan dalam perjalanan panjang yang melibatkan banyak dokter spesialis, menjalani berbagai tes, mendapatkan diagnosis yang tidak tepat, serta sulitnya akses obat-obatan dan harga pengobatan yang sangat tinggi.
“Sementara itu, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H dan Pasal 34, pasien penyakit langka yang umum - nya anak-anak ini mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,” ujarnya.
(don)