Pariwisata Halal Bukan Arabisasi
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal (PPHI) Riyanto Sofyan kerberatan “Wisata Halal” diplesetkan dengan nada SARA, menjadi “Arabisasi.”
Membangun brand dan menyosialisasikan wisata halal di Indonesia ini bukan perkara enteng. Jangan dirusak hanya untuk kepentingan jangka pendek dan politik praktis.
Riyanto Sofyan yang juga Pengarah Tim Pariwisata Halal itu menjelaskan bahwa istilah Pariwisata Halal itu pertama kali booming di dunia global bukan dari Indonesia.
“Istilah Pariwisata Halal digunakan oleh negara-negara yang mayoritas nonmuslim! Tujuannya untuk mendatangkan wisatawan muslim mancanegara, seperti warga Malaysia, Singapore, Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia, agar mereka tetap nyaman berwisata dan tidak melanggar larangan agama, terutama saat makan dan minum. Juga ada fasilitas untuk ibadah, seperti mushala, tempat wudhu, arah kiblat,” ujar Riyanto Sofyan.
Kata-kata “halal” sendiri berasal dari bahasa Arab dan berlaku di seluruh dunia. Saat ini Jepang, Korea, Thailand, Filipina, juga gencar mengampanyekan “halal food” sebagai gaya hidup berwisata. Ini semacam Extended Services and Facilities for Muslim Travelers.
Mirip dengan branding vegetarian buat traveler India. Karenanya istilah Halal itu sudah merupakan branding bagi kebutuhan wisatawan muslim di waktu berwisata. “Misinya pariwisata, mendatangkan devisa buat negara, menggerakkan ekonomi lokal, mendorong trade and investment,” ungkap Riyanto Sofyan.
Terlalu jauh dari hipotesa: Arabisasi, yang ditudingkan pada Menpar Arief Yahya dan Bupati Azwar Anas di Banyuwangi. Apalagi mengaitkan dengan salah satu partai? Logika itu perlu diluruskan, karena bisa menjurus ke persoalan SARA.
Terlalu mahal bangsa ini dicemari oleh bangunan berpikir yang tidak berdasar. Seperti pantai yang terpisah antara pria dan wanita itu juga bukanlah mengislamisasikan pantai atau wisata.
“Karena pantai khusus untuk wanita juga ada di Rimini, Itali yang mayoritas beragama Katolik. Pantai ini akhirnya banyak dikunjungi wisatawan muslim, itu normal-normal saja. Menghormati permintaan para ulama di daerah sekitar itu tidak ada salahnya,” kata Riyanto.
Menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO, dimana kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat di sekitar atraksi di destinasi.
Bahkan Menpar Arief Yahya juga memiliki Tim Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, atau Sustainable Tourism Development, juga Tim Eco Tourism, yang selalu memikirkan Responsible Tourism. Tradisi lokal, budaya setempat itu memiliki kearifan yang tinggi.
Karena itu di mana-mana Menpar Arief Yahya yang berlatar belakang profesional itu melempar magic world: “Semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan.”
Riyanto Sofyan yang pernah menjadi Ketua Tim Percepatan Wisata Halal ini menegaskan lagi, bahwa pariwisata halal yang dikembangkan dunia global adalah Extended Services and Facilities, untuk wisatawan muslim yang selama ini kurang terfasilitasi seperti tempat salat, berwudhu, makanan halal dan lainnya.
Riyanto yang juga pelaku usaha pariwisata di Indonesia juga sering mendapat pertanyaan tentang jaminan halal akan makanan di restoran dan rumah makan yang bagi mereka jaminan halal itu di buktikan dengan sertifikat.
“Kita sering menertawakan aneh. di Indonesia kok masih tanya halal dan haram! Tetapi, wisman kan boleh merasa khawatir dan ingin memastikan dengan sertifikat resmi halal,” ungkap Riyanto.
Kenapa dunia global booming pariwisata halal? Karena begitu besarnya pasar wisatawan muslim dan juga daya beli mereka. “Istilah Pak Menteri Arief Yahya, sizenya besar, sustainability besar dan spending atau spread juga besar! 3S juga singkatannya,” ungkap Riyanto.
Seberapa besar potensi wisawatan yang berasal dari Timur Tengah, Malaysia, Singapore itu? “Besarnya sama dengan wisatawan dari Tiongkok, baik dari segi jumlah Outbond Tourist nya maupun pengeluarannya selama berwisata,” lanjut Riyanto Sofyan.
Jadi wisata halal ini bukan hanya “Ceruk Pasar Baru” tetapi sudah merupakan “Pasar Utama” sumber wisman yang bisa dikembangkan. Indonesia juga ingin mengambil segmen pasar ini yang belum di garap secara optimal selama ini.
Rencana Kemenpar untuk menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Halal adalah upaya agar ada acuan bagi pelaku usaha dan pihak terkait dalam pemenuhan “Extended Services and Facilities” (bagi kebutuhan wisatawan muslim) sehingga wisatawan muslim mancanegara diharapkan datang berbondong-bondong ke Indonesia. Lantaran tersedianya kebutuhan mereka selama berwisata di Indonesia. Maka antara ekspektasi wisatawan muslim dan deliverable nya sesuai.
Karena itu, Riyanto Sofyan meminta agar Menpar Arief Yahya terus konsisten mengembangkan semua pasar potensial pariwisata untuk berkunjung ke Tanah Air. Termasuk wisata halal yang semakin memiliki reputasi.
“Menjamin kepuasan para Wisatawan, adalah amanah Undang Undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang Undang No 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, Jadi tidak ada yang illegal tentang penyelenggaran pariwisata halal,” kata Riyanto.
Riyanto mengulangi lagi, bahwa pedoman ini juga sekaligus memberikan pemahaman pada pelaku dan pihak terkait bahwa pariwisata halal hanyalah Extended Service and Facilities. Sifatnya pilihan dan bukan kewajiban dan tidak dimaksud untuk merusak (Islamisasi/Arabisasi), budaya atau nilai-nilai lokal (local wisdom) atau tema pariwisata pada suatu destinasi/atraksi yang sudah berjalan baik, tetapi justru memperluas dan meningkatkan jangkauan pasar wisatawan.
Ketua Tim Percepatan Wisata Budaya Kemenpar Taufik Rahzen enggan menanggapi tafsiran sejarah soal Osing dan Banyuwangi. Karena itu hanya akan mengeruhkan suasana dan menjadi bahan polemik sejarah yang tidak produktif.
“Apa yang sudah dilakukan Pak Menteri Arief Yahya terhadap wisata halal itu melampaui pengertian untuk orang Islam. Mencakup kebutuhan pencinta vegetarian, penghormatan budaya lokal, keunikan pengalaman beragama, festival bermakna yang dimiliki oleh semua agama,” katanya.
Dia setuju, intisari wisata halal itu pada makanan dan fasilitas untuk ibadah di atraksi maupun destinasi, seperti musala, tempat wudhu, arah kiblat, dan lainnya. Itu pula yang dilakukan di belahan bumi lain saat mengembangkan halal tourism.
Membangun brand dan menyosialisasikan wisata halal di Indonesia ini bukan perkara enteng. Jangan dirusak hanya untuk kepentingan jangka pendek dan politik praktis.
Riyanto Sofyan yang juga Pengarah Tim Pariwisata Halal itu menjelaskan bahwa istilah Pariwisata Halal itu pertama kali booming di dunia global bukan dari Indonesia.
“Istilah Pariwisata Halal digunakan oleh negara-negara yang mayoritas nonmuslim! Tujuannya untuk mendatangkan wisatawan muslim mancanegara, seperti warga Malaysia, Singapore, Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia, agar mereka tetap nyaman berwisata dan tidak melanggar larangan agama, terutama saat makan dan minum. Juga ada fasilitas untuk ibadah, seperti mushala, tempat wudhu, arah kiblat,” ujar Riyanto Sofyan.
Kata-kata “halal” sendiri berasal dari bahasa Arab dan berlaku di seluruh dunia. Saat ini Jepang, Korea, Thailand, Filipina, juga gencar mengampanyekan “halal food” sebagai gaya hidup berwisata. Ini semacam Extended Services and Facilities for Muslim Travelers.
Mirip dengan branding vegetarian buat traveler India. Karenanya istilah Halal itu sudah merupakan branding bagi kebutuhan wisatawan muslim di waktu berwisata. “Misinya pariwisata, mendatangkan devisa buat negara, menggerakkan ekonomi lokal, mendorong trade and investment,” ungkap Riyanto Sofyan.
Terlalu jauh dari hipotesa: Arabisasi, yang ditudingkan pada Menpar Arief Yahya dan Bupati Azwar Anas di Banyuwangi. Apalagi mengaitkan dengan salah satu partai? Logika itu perlu diluruskan, karena bisa menjurus ke persoalan SARA.
Terlalu mahal bangsa ini dicemari oleh bangunan berpikir yang tidak berdasar. Seperti pantai yang terpisah antara pria dan wanita itu juga bukanlah mengislamisasikan pantai atau wisata.
“Karena pantai khusus untuk wanita juga ada di Rimini, Itali yang mayoritas beragama Katolik. Pantai ini akhirnya banyak dikunjungi wisatawan muslim, itu normal-normal saja. Menghormati permintaan para ulama di daerah sekitar itu tidak ada salahnya,” kata Riyanto.
Menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO, dimana kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat di sekitar atraksi di destinasi.
Bahkan Menpar Arief Yahya juga memiliki Tim Percepatan Pariwisata Berkelanjutan, atau Sustainable Tourism Development, juga Tim Eco Tourism, yang selalu memikirkan Responsible Tourism. Tradisi lokal, budaya setempat itu memiliki kearifan yang tinggi.
Karena itu di mana-mana Menpar Arief Yahya yang berlatar belakang profesional itu melempar magic world: “Semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan.”
Riyanto Sofyan yang pernah menjadi Ketua Tim Percepatan Wisata Halal ini menegaskan lagi, bahwa pariwisata halal yang dikembangkan dunia global adalah Extended Services and Facilities, untuk wisatawan muslim yang selama ini kurang terfasilitasi seperti tempat salat, berwudhu, makanan halal dan lainnya.
Riyanto yang juga pelaku usaha pariwisata di Indonesia juga sering mendapat pertanyaan tentang jaminan halal akan makanan di restoran dan rumah makan yang bagi mereka jaminan halal itu di buktikan dengan sertifikat.
“Kita sering menertawakan aneh. di Indonesia kok masih tanya halal dan haram! Tetapi, wisman kan boleh merasa khawatir dan ingin memastikan dengan sertifikat resmi halal,” ungkap Riyanto.
Kenapa dunia global booming pariwisata halal? Karena begitu besarnya pasar wisatawan muslim dan juga daya beli mereka. “Istilah Pak Menteri Arief Yahya, sizenya besar, sustainability besar dan spending atau spread juga besar! 3S juga singkatannya,” ungkap Riyanto.
Seberapa besar potensi wisawatan yang berasal dari Timur Tengah, Malaysia, Singapore itu? “Besarnya sama dengan wisatawan dari Tiongkok, baik dari segi jumlah Outbond Tourist nya maupun pengeluarannya selama berwisata,” lanjut Riyanto Sofyan.
Jadi wisata halal ini bukan hanya “Ceruk Pasar Baru” tetapi sudah merupakan “Pasar Utama” sumber wisman yang bisa dikembangkan. Indonesia juga ingin mengambil segmen pasar ini yang belum di garap secara optimal selama ini.
Rencana Kemenpar untuk menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Halal adalah upaya agar ada acuan bagi pelaku usaha dan pihak terkait dalam pemenuhan “Extended Services and Facilities” (bagi kebutuhan wisatawan muslim) sehingga wisatawan muslim mancanegara diharapkan datang berbondong-bondong ke Indonesia. Lantaran tersedianya kebutuhan mereka selama berwisata di Indonesia. Maka antara ekspektasi wisatawan muslim dan deliverable nya sesuai.
Karena itu, Riyanto Sofyan meminta agar Menpar Arief Yahya terus konsisten mengembangkan semua pasar potensial pariwisata untuk berkunjung ke Tanah Air. Termasuk wisata halal yang semakin memiliki reputasi.
“Menjamin kepuasan para Wisatawan, adalah amanah Undang Undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang Undang No 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, Jadi tidak ada yang illegal tentang penyelenggaran pariwisata halal,” kata Riyanto.
Riyanto mengulangi lagi, bahwa pedoman ini juga sekaligus memberikan pemahaman pada pelaku dan pihak terkait bahwa pariwisata halal hanyalah Extended Service and Facilities. Sifatnya pilihan dan bukan kewajiban dan tidak dimaksud untuk merusak (Islamisasi/Arabisasi), budaya atau nilai-nilai lokal (local wisdom) atau tema pariwisata pada suatu destinasi/atraksi yang sudah berjalan baik, tetapi justru memperluas dan meningkatkan jangkauan pasar wisatawan.
Ketua Tim Percepatan Wisata Budaya Kemenpar Taufik Rahzen enggan menanggapi tafsiran sejarah soal Osing dan Banyuwangi. Karena itu hanya akan mengeruhkan suasana dan menjadi bahan polemik sejarah yang tidak produktif.
“Apa yang sudah dilakukan Pak Menteri Arief Yahya terhadap wisata halal itu melampaui pengertian untuk orang Islam. Mencakup kebutuhan pencinta vegetarian, penghormatan budaya lokal, keunikan pengalaman beragama, festival bermakna yang dimiliki oleh semua agama,” katanya.
Dia setuju, intisari wisata halal itu pada makanan dan fasilitas untuk ibadah di atraksi maupun destinasi, seperti musala, tempat wudhu, arah kiblat, dan lainnya. Itu pula yang dilakukan di belahan bumi lain saat mengembangkan halal tourism.
(alf)