Konsep Halal Tourism Banyuwangi Itu Hanya Segmentasi Pasar
A
A
A
BANYUWANGI - Merusak dan memecah belah itu mudah! Membangun kepercayaan itu sulit. Beruntung masyarakat Banyuwangi Kota Festival dan sekaligus contoh sukses kabupaten pariwisata ini memiliki basic kekompakan yang kokoh. Maka, saat diserang 'hoax' dengan isu SARA dan Arabisasi pun, mereka makin solid.
Adalah Kajitow Elkayeni, yang menebar tulisan dengan judul provokatif: 'Di Tanah Hindu Banyuwangi Itu, Arabisasi Dipaksakan Tumbuh'. Tulisan yang membenturkan SARA, antar umat beragama Hindu, Islam, dan Osing. Juga antarsuku Jawa, Madura, dan Osing. Menyalahkan Bupati Azwar Anas dan Menpar Arief Yahya, sebagai pihak yang melakukan “Arabisasi” melalui Wisata Halal di Banyuwangi.
Mirip dengan cara Kajitow Elkayeni, yang pernah membuat catatan yang sama, untuk merusak tokoh lain. Bahkan sempat menimbulkan reaksi KOKAM, sampai-sampai dicari dengan Bertatus Wanted. https://sangpencerah.id/2018/10/tebarkan-hoax-tentang-kokam-kajitow-elkayeni-bertatus-wanted/
Kontroversi rupanya sudah biasa dilakukan oleh penulis yang satu ini. Secara resmi Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayan Banyuwangi, MY Bramuda menegaskan bahwa tulisan itu tidak benar dan cenderung ngawur. “Soal pengembangN halal tourism di Pulau Santrn itu hanya urusan segmentasi pasar, soal marketing, soal manajemen saja,” jelas MY Bramuda.
“Ada pasar wisatawan perempuan yang ingin berwisata pantai tanpa campur dengan pria. Segmen pasar seperti itu ada, meskipun ceruknya tidak banyak, tapi ada dan harus dilayani. Dan sebagai destinasi, kita mencoba menangkap potensi itu. Jadi ini murni soal pasar, sama seperti di Timur Tengah, Jepang, Thailand, Korea juga ada segmen-segmen leisure semacam itu dan dikembangkan secara profesional. Semuanya bicara segmentasi pasar, tidak ada tendensi agama, suku, apalagi Arabisasi,” ujar Bramuda Kadisparbud Banyuwangi.
Dia menjelaskan, di antara ratusan kilometer panjang pantai di Banyuwangi yang mencapai 177 km, pantai dengan konsep halal tourism yang digagas ini panjang pantainya hanya 750 meter (3/4 km) saja. Tidak sampai 1 km.
“Jadi itu menegaskan soal urusan pasar semata, di mana Banyuwangi menyediakan pilihan. Jadi ini bukan soal maksiat atau tidak maksiat, bukan soal SARA, bukan Arabisasi,” tegasnya.
Setiap pasar yang potensial, harus digarap dengan baik, dikembangkan, dipromosikan dengan baik juga. Segmentasi itu kan banyak, karena yang dijaring juga semakin banyak.
“Jadi ini soal pasar, urusan segmentasi saja karena ketika dikembangkan beberapa tahun lalu itu ada memang segmen pasar seperti itu,” ujar Bramuda.
Bramuda menerangkan, pantai tersebut bertempat di tanah milik TNI AD, saat ini sedang ditata ulang bareng TNI AD. Pengelolaannya ke depan akan tetap melibatkan pokmas setempat, dan menjadi pantai yang halal friendly tourism, atau family friendly.
Sebelum sempat dikembangkan, Bramuda menambahkan, kawasan tersebut relatif kumuh. Akses jembatan menuju ke sana juga belum bagus. Kemudian Pemkab Banyuwangi melakukan penataan, termasuk melatih kelompok masyarakat setempat. Kemudian perlahan mulai ramai dikunjungi orang.
“Tapi, sekali lagi, kita bicara mekanisme pasar. Bahwa kemudian sekarang pasar kurang meminati, itu adalah mekanisme pasar. Jadi sekali lagi, ini urusan segmentasi pasar, bukan soal ideologi yang dipelintir sampai akan melakukan Arabisasi,” ujarnya.
Banyuwangi, sambung Bramuda, sebagai destinasi wisata selama ini dikenal dengan berbagai atraksi seni-budaya berbasis kearifan lokal khas Suku Osing yang merupakan kelompok masyarakat asli setempat. Dari 99 festival wisata setiap tahun di Banyuwangi, sekitar 75 persen mengangkat kebudayaan, mulai Tari Gandrung, ritual adat kebo-keboan, hingga ritual adat Tari Seblang, Barong Ider Bumi.
“Bahkan, setiap hari ada event budaya di alun-alun Banyuwangi yang dimainkan para seniman cilik sebagai peristiwa pariwisata sekaligus regenerasi para pelaku seni,” papar Bramuda.
Bramuda ingat kata-kata Menpar Arief Yahya, bahwa produk pariwisata itu adalah destinasi. Customer pariwisata itu namanya originasi, atau travelers, atau wisatawannya sendiri. Strateginya DOT, destination, origination, timeline. “Manajemen pemasaran pariwisata pun harus melihat DOT,” ungkap Bram.
Dia belajar banyak tentang manajemen, baik soal pemasaran, destinasi maupun sumber daya manusia. Dia juga menjadikan tema-tema budaya sebagai daya tarik atraksi di Banyuwangi, karena 60% wisman itu tertarik karena budayanya, 35% karena alam dan 5% karena man made atau buatan.
Karena itu, pihaknya terus menggali dan melestarikan budaya lokal sebagai kekuatan destinasi. “Kita selalu diajarkan oleh Pak Menpar Arief Yahya, prinsip penting agar tetap sustainable, yakni budaya dan alam itu Semakin dilestarikan semakin mensejahterakan!” kata Bram.
Apakah Banyuwangi hanya mengejar pasar wisata halal? “Tidak! Semua segmen yang cocok dengan potensi destinasi, alam, budaya, buatan, ya dikembangkan! Kalau tidak dikembangkan, malah aneh. Semua ada pasarnya, semua menemukan destinasi yang cocok,” jelasnya.
Lalu di mana “Arabisasi” yang dijadikan simpulan tulisan itu. “Terlalu jauh dan tidak mendasar sama sekali.”
Adalah Kajitow Elkayeni, yang menebar tulisan dengan judul provokatif: 'Di Tanah Hindu Banyuwangi Itu, Arabisasi Dipaksakan Tumbuh'. Tulisan yang membenturkan SARA, antar umat beragama Hindu, Islam, dan Osing. Juga antarsuku Jawa, Madura, dan Osing. Menyalahkan Bupati Azwar Anas dan Menpar Arief Yahya, sebagai pihak yang melakukan “Arabisasi” melalui Wisata Halal di Banyuwangi.
Mirip dengan cara Kajitow Elkayeni, yang pernah membuat catatan yang sama, untuk merusak tokoh lain. Bahkan sempat menimbulkan reaksi KOKAM, sampai-sampai dicari dengan Bertatus Wanted. https://sangpencerah.id/2018/10/tebarkan-hoax-tentang-kokam-kajitow-elkayeni-bertatus-wanted/
Kontroversi rupanya sudah biasa dilakukan oleh penulis yang satu ini. Secara resmi Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayan Banyuwangi, MY Bramuda menegaskan bahwa tulisan itu tidak benar dan cenderung ngawur. “Soal pengembangN halal tourism di Pulau Santrn itu hanya urusan segmentasi pasar, soal marketing, soal manajemen saja,” jelas MY Bramuda.
“Ada pasar wisatawan perempuan yang ingin berwisata pantai tanpa campur dengan pria. Segmen pasar seperti itu ada, meskipun ceruknya tidak banyak, tapi ada dan harus dilayani. Dan sebagai destinasi, kita mencoba menangkap potensi itu. Jadi ini murni soal pasar, sama seperti di Timur Tengah, Jepang, Thailand, Korea juga ada segmen-segmen leisure semacam itu dan dikembangkan secara profesional. Semuanya bicara segmentasi pasar, tidak ada tendensi agama, suku, apalagi Arabisasi,” ujar Bramuda Kadisparbud Banyuwangi.
Dia menjelaskan, di antara ratusan kilometer panjang pantai di Banyuwangi yang mencapai 177 km, pantai dengan konsep halal tourism yang digagas ini panjang pantainya hanya 750 meter (3/4 km) saja. Tidak sampai 1 km.
“Jadi itu menegaskan soal urusan pasar semata, di mana Banyuwangi menyediakan pilihan. Jadi ini bukan soal maksiat atau tidak maksiat, bukan soal SARA, bukan Arabisasi,” tegasnya.
Setiap pasar yang potensial, harus digarap dengan baik, dikembangkan, dipromosikan dengan baik juga. Segmentasi itu kan banyak, karena yang dijaring juga semakin banyak.
“Jadi ini soal pasar, urusan segmentasi saja karena ketika dikembangkan beberapa tahun lalu itu ada memang segmen pasar seperti itu,” ujar Bramuda.
Bramuda menerangkan, pantai tersebut bertempat di tanah milik TNI AD, saat ini sedang ditata ulang bareng TNI AD. Pengelolaannya ke depan akan tetap melibatkan pokmas setempat, dan menjadi pantai yang halal friendly tourism, atau family friendly.
Sebelum sempat dikembangkan, Bramuda menambahkan, kawasan tersebut relatif kumuh. Akses jembatan menuju ke sana juga belum bagus. Kemudian Pemkab Banyuwangi melakukan penataan, termasuk melatih kelompok masyarakat setempat. Kemudian perlahan mulai ramai dikunjungi orang.
“Tapi, sekali lagi, kita bicara mekanisme pasar. Bahwa kemudian sekarang pasar kurang meminati, itu adalah mekanisme pasar. Jadi sekali lagi, ini urusan segmentasi pasar, bukan soal ideologi yang dipelintir sampai akan melakukan Arabisasi,” ujarnya.
Banyuwangi, sambung Bramuda, sebagai destinasi wisata selama ini dikenal dengan berbagai atraksi seni-budaya berbasis kearifan lokal khas Suku Osing yang merupakan kelompok masyarakat asli setempat. Dari 99 festival wisata setiap tahun di Banyuwangi, sekitar 75 persen mengangkat kebudayaan, mulai Tari Gandrung, ritual adat kebo-keboan, hingga ritual adat Tari Seblang, Barong Ider Bumi.
“Bahkan, setiap hari ada event budaya di alun-alun Banyuwangi yang dimainkan para seniman cilik sebagai peristiwa pariwisata sekaligus regenerasi para pelaku seni,” papar Bramuda.
Bramuda ingat kata-kata Menpar Arief Yahya, bahwa produk pariwisata itu adalah destinasi. Customer pariwisata itu namanya originasi, atau travelers, atau wisatawannya sendiri. Strateginya DOT, destination, origination, timeline. “Manajemen pemasaran pariwisata pun harus melihat DOT,” ungkap Bram.
Dia belajar banyak tentang manajemen, baik soal pemasaran, destinasi maupun sumber daya manusia. Dia juga menjadikan tema-tema budaya sebagai daya tarik atraksi di Banyuwangi, karena 60% wisman itu tertarik karena budayanya, 35% karena alam dan 5% karena man made atau buatan.
Karena itu, pihaknya terus menggali dan melestarikan budaya lokal sebagai kekuatan destinasi. “Kita selalu diajarkan oleh Pak Menpar Arief Yahya, prinsip penting agar tetap sustainable, yakni budaya dan alam itu Semakin dilestarikan semakin mensejahterakan!” kata Bram.
Apakah Banyuwangi hanya mengejar pasar wisata halal? “Tidak! Semua segmen yang cocok dengan potensi destinasi, alam, budaya, buatan, ya dikembangkan! Kalau tidak dikembangkan, malah aneh. Semua ada pasarnya, semua menemukan destinasi yang cocok,” jelasnya.
Lalu di mana “Arabisasi” yang dijadikan simpulan tulisan itu. “Terlalu jauh dan tidak mendasar sama sekali.”
(akn)