Ada Bimtek Homestay dan Desa Wisata di Simeulue Aceh, Simak yuk
A
A
A
SIMEULUE - Jurus Bimtek Homestay dan Desa Wisata kembali dikeluarkan Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Kali ini, yang disasar adalah Simeulue, Aceh. Agenda ini siap digelar Selasa, (9/7/2019), di Wisma Harti Simeulue, Aceh.
Asdep Pengembangan Destinasi Regional I Kemenpar ikut turun gunung mengawal agenda ini. Bersama Ketua Tim Percepatan Homestay, Anneke Prasyanti dan Ketua Tim Percepatan Wisata Perdesaan dan Perkotaan Vitria Ariani, Kemenpar akan meningkatkan wawasan homestay desa wisata.
“Untuk mengembangkan wisata perdesaan di desa-desa wisata diperlukan konsep low-cost tourism (LCT). Harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana caranya? Caranya, kita harus menciptakan attraction, access, dan accomodation (3A) yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas (excess capacity) yang ada. Homestay desa wisata salah satunya,” tutur Deputi Pengembangan Destinasi Kemenpar Dadang Rizki Ratman, Jumat (5/7/2019).
Untuk mewujudkan akomodasi yang murah dan mudah Kemenpar akan melakukan terobosan dengan membangun sebanyak mungkin homestay (rumah wisata) di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air.
Bakal murah, karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau. Dan semuanya dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Juga dibuat mudah. Nantinya, semua wisatawan dari seluruh dunia bisa mengakses informasinya melalui digital. “Ini yang ingin kita bangun. Kita ingin memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia,” timpal Asdep Pengembangan Destinasi Regional I Lokot Ahmad Enda.
Aksi nyata langsung dilakukan. Kasubid Bidang Pengembangan Destinasi Area I Kemenpar, Andhy Marpaung langsung ditugaskan terbang ke Simauelue, Aceh. Misinya, menebarkan ‘virus’ homestay desa wisata di Simauelue, Aceh, kepada 40 stakeholder pariwisata di Simaulue, Aceh.
“Pengusaha homestay, surfing, restoran dan rumah makan, kepala desa, Ketua ASITA Simaleue, PHRI Simaleue, semua kami undang. Kami akan ajak berdiskusi seputar homestay desa wisata,” tutur Kasubid Bidang Pengembangan Destinasi Area I Kemenpar, Andhy Marpaung.
Menpar Arief Yahya langsung melayangkan emoji tiga jempol. Baginya, Indonesia butuh solusi cepat untuk menyelesaikan problem keterbatasan amenitas. Dan solusi itu bisa didapat di homestay desa wisata.
“Ingat, hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak biasa. Terobosan yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun homestay di desa wisata. Karena skalanya kecil, membangun homestay akan lebih mudah dan lebih fleksibel dibandingkan membangun hotel. Pembangunan homestay juga bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air karena nantinya homestay tersebut akan dimiliki oleh masyarakat di sekitar destinasi wisata,” tutur Arief Yahya, Menpar RI.
Contoh riilnya ada. Ende Flores misalnya. Letaknya jauh dan sangat terpencil. Tapi, atraksi wisata di sana luar biasa. “Di lokasi seperti ini pasti akan relatif sulit menarik investor untuk membangun hotel dengan 100 kamar. Namun tidak demikian halnya dengan homestay. Membangun 100 homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Konsepnya low-cost tourism supaya pariwisata bisa dijadikan basic needs,” tambah mantan Dirut Telkom itu.
Asdep Pengembangan Destinasi Regional I Kemenpar ikut turun gunung mengawal agenda ini. Bersama Ketua Tim Percepatan Homestay, Anneke Prasyanti dan Ketua Tim Percepatan Wisata Perdesaan dan Perkotaan Vitria Ariani, Kemenpar akan meningkatkan wawasan homestay desa wisata.
“Untuk mengembangkan wisata perdesaan di desa-desa wisata diperlukan konsep low-cost tourism (LCT). Harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana caranya? Caranya, kita harus menciptakan attraction, access, dan accomodation (3A) yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas (excess capacity) yang ada. Homestay desa wisata salah satunya,” tutur Deputi Pengembangan Destinasi Kemenpar Dadang Rizki Ratman, Jumat (5/7/2019).
Untuk mewujudkan akomodasi yang murah dan mudah Kemenpar akan melakukan terobosan dengan membangun sebanyak mungkin homestay (rumah wisata) di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air.
Bakal murah, karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau. Dan semuanya dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Juga dibuat mudah. Nantinya, semua wisatawan dari seluruh dunia bisa mengakses informasinya melalui digital. “Ini yang ingin kita bangun. Kita ingin memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia,” timpal Asdep Pengembangan Destinasi Regional I Lokot Ahmad Enda.
Aksi nyata langsung dilakukan. Kasubid Bidang Pengembangan Destinasi Area I Kemenpar, Andhy Marpaung langsung ditugaskan terbang ke Simauelue, Aceh. Misinya, menebarkan ‘virus’ homestay desa wisata di Simauelue, Aceh, kepada 40 stakeholder pariwisata di Simaulue, Aceh.
“Pengusaha homestay, surfing, restoran dan rumah makan, kepala desa, Ketua ASITA Simaleue, PHRI Simaleue, semua kami undang. Kami akan ajak berdiskusi seputar homestay desa wisata,” tutur Kasubid Bidang Pengembangan Destinasi Area I Kemenpar, Andhy Marpaung.
Menpar Arief Yahya langsung melayangkan emoji tiga jempol. Baginya, Indonesia butuh solusi cepat untuk menyelesaikan problem keterbatasan amenitas. Dan solusi itu bisa didapat di homestay desa wisata.
“Ingat, hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak biasa. Terobosan yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun homestay di desa wisata. Karena skalanya kecil, membangun homestay akan lebih mudah dan lebih fleksibel dibandingkan membangun hotel. Pembangunan homestay juga bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air karena nantinya homestay tersebut akan dimiliki oleh masyarakat di sekitar destinasi wisata,” tutur Arief Yahya, Menpar RI.
Contoh riilnya ada. Ende Flores misalnya. Letaknya jauh dan sangat terpencil. Tapi, atraksi wisata di sana luar biasa. “Di lokasi seperti ini pasti akan relatif sulit menarik investor untuk membangun hotel dengan 100 kamar. Namun tidak demikian halnya dengan homestay. Membangun 100 homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Konsepnya low-cost tourism supaya pariwisata bisa dijadikan basic needs,” tambah mantan Dirut Telkom itu.
(alf)