Akhlis Suryapati Tegaskan Sinematek Tak Pernah Terancam Bangkrut
A
A
A
JAKARTA - Ketua Sinematek Indonesia yang baru saja dilantik, Akhlis Suryapati menegaskan bahwa Pusat Arsip dan Data Film Sinematek Indonesia tidak pernah terancam bangkrut. Pasalnya, memiliki sumber dana untuk membiayai kelangsungannya.
Hal tersebut ditegaskan Akhlis selepas dilantik sebagai Ketua Sinematek yang baru di Kantor Sinematek di Gedung Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.
"Di awal berdirinya, Sinematek yang dirintis oleh Asrul Sani dan Misbah Yusa Biran mengandalkan modal dari dua tokoh itu, dengan para sukarelawan yang dihonor seadanya. Kini karyawan Sinematek bisa mendapatkan gaji layak, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, juga jaminan pensiun," papar Akhlis Suryapati saat dijumpai SINDO di Jakarta, belum lama ini.
"Tentu saja para karyawan itu selama ini, dari dulu sampai sekarang, terus melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pengarsipan film dan data perfilman," imbuhnya.
Akhlis, yang juga wartawan dan sutradara film, mengatakan jika saat ini Sinematek Indonesia tak lagi terbesar di Asia Tenggara, itu karena negara lain, seperti Thailand, membangun pusat arsip dan data perfilman dengan dibiayai uang negara. Sedangkan Sinematek Indonesia dikelola swasta, Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail (YPPHUI). "Saya kira YPPHUI mempunyai sumber dana yang membuat Sinematek tidak pernah terancam bangkrut," tandas Akhlis.
Lebih lanjut, Akhlis mengutarakan bahwa adanya kadang-kadang semacam keluhan bahwa Sinematek kekurangan biaya atau tidak terkelola maksimal, itu lantaran orang mempunyai harapan yang besar dan tinggi kepada Sinematek Indonesia sebagai pusat arsip dan data perfilman satu-satunya di Indonesia, serta yang pertama di Asia Tenggara.
Menurutnya, orang sependapat bahwa Sinematek keberadaannya sangat penting dan dibutuhkan masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional untuk riset, penelitian, referensi, pembelajaran, dan lain sebagainya.
"Lantas orang membayangkan seharusnya Sinematek itu keren dengan gedung artistik megah berlantai marmer, ruangan-ruangannya adem dan tenang untuk membaca, sinemanya menggelegar kalau dipakai menonton film, gudang penyimpannya memiliki temperatur stabil sesuai standar pengarsipan film, dan fasilitas pengarsipan serta penyimpanan data tersusun dalam filing-filing yang rapi, terjaga baik materi aslinya maupun content filmnya terdigitalisasi dalam server, dan lain sebagainya. Mungkin seperti Perpustakaan Nasional yang baru itu," papar Akhlis.
"Lha, kalau tuntutannya seperti itu, yang Sinematek belum mampu mewujudkan. Duit dari Hong Kong??? Tetapi sejauh saya dekat dengan Sinematek sejak zaman dipimpin Pak Misbah, Sinematek belum pernah terancam bangkrut. Kalau pernah mengalami masa-masa miskin, barangkali iya," pungkasnya.
Hal tersebut ditegaskan Akhlis selepas dilantik sebagai Ketua Sinematek yang baru di Kantor Sinematek di Gedung Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.
"Di awal berdirinya, Sinematek yang dirintis oleh Asrul Sani dan Misbah Yusa Biran mengandalkan modal dari dua tokoh itu, dengan para sukarelawan yang dihonor seadanya. Kini karyawan Sinematek bisa mendapatkan gaji layak, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, juga jaminan pensiun," papar Akhlis Suryapati saat dijumpai SINDO di Jakarta, belum lama ini.
"Tentu saja para karyawan itu selama ini, dari dulu sampai sekarang, terus melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pengarsipan film dan data perfilman," imbuhnya.
Akhlis, yang juga wartawan dan sutradara film, mengatakan jika saat ini Sinematek Indonesia tak lagi terbesar di Asia Tenggara, itu karena negara lain, seperti Thailand, membangun pusat arsip dan data perfilman dengan dibiayai uang negara. Sedangkan Sinematek Indonesia dikelola swasta, Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail (YPPHUI). "Saya kira YPPHUI mempunyai sumber dana yang membuat Sinematek tidak pernah terancam bangkrut," tandas Akhlis.
Lebih lanjut, Akhlis mengutarakan bahwa adanya kadang-kadang semacam keluhan bahwa Sinematek kekurangan biaya atau tidak terkelola maksimal, itu lantaran orang mempunyai harapan yang besar dan tinggi kepada Sinematek Indonesia sebagai pusat arsip dan data perfilman satu-satunya di Indonesia, serta yang pertama di Asia Tenggara.
Menurutnya, orang sependapat bahwa Sinematek keberadaannya sangat penting dan dibutuhkan masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional untuk riset, penelitian, referensi, pembelajaran, dan lain sebagainya.
"Lantas orang membayangkan seharusnya Sinematek itu keren dengan gedung artistik megah berlantai marmer, ruangan-ruangannya adem dan tenang untuk membaca, sinemanya menggelegar kalau dipakai menonton film, gudang penyimpannya memiliki temperatur stabil sesuai standar pengarsipan film, dan fasilitas pengarsipan serta penyimpanan data tersusun dalam filing-filing yang rapi, terjaga baik materi aslinya maupun content filmnya terdigitalisasi dalam server, dan lain sebagainya. Mungkin seperti Perpustakaan Nasional yang baru itu," papar Akhlis.
"Lha, kalau tuntutannya seperti itu, yang Sinematek belum mampu mewujudkan. Duit dari Hong Kong??? Tetapi sejauh saya dekat dengan Sinematek sejak zaman dipimpin Pak Misbah, Sinematek belum pernah terancam bangkrut. Kalau pernah mengalami masa-masa miskin, barangkali iya," pungkasnya.
(nug)